Iman Para Sahabat

Kita sudah sering mendengar kisah-kisah nabi dan rasul terdahulu yang begitu sangat bersabar dengan ujian mereka masing-masing.

Begitu pula dengan ujian yang didapatkan oleh para pengikut setia mereka, hingga kepada para sahabat Nabi saw.

Para sahabat yang hidup di zaman Nabi Muhammad saw., termasuk di dalamnya setiap mukmin yang hidup pada zaman Beliau, disebut-sebut sebagai generasi muslim terbaik.

Bahkan para sahabat Nabi pun ‘terciprat’ shalawat yang kita baca. Jadi ada shalawat yang tidak kita baca khusus untuk Rasulullah saw, tetapi juga kepada para keluarga dan sahabat Beliau.

Pertanyaannya, memang seberapa dahsyat keimanan mereka sehingga mereka mendapatkan keistimewaan seperti itu? Dapatkah kita meniru mereka meski hanya sedikit?

Apakah ujian yang dialami para Nabi dan Rasul terdahulu masih ada hingga hari ini?


Dua ujian para Rasul

Para Nabi dan Rasul bukanlah mereka yang memiliki keistimewaan fisik bak superhero yang sering kita dengar sewaktu kecil. Mereka hanyalah manusia biasa yang memiliki tanggung jawab khusus.

Beberapa permasalahan atau ujian yang menimpa para Nabi dan Rasul, justru hampir semuanya tentang manusia, dari setiap kalangan, dari setiap golongan.

Terlebih, ujian para Nabi dan Rasul bukan hanya meluruskan tradisi ibadah yang menyimpang, melainkan juga tradisi aktivitas yang merugikan.

Jadi tugas para utusan Allah bukan sekadar hanya mengembalikan ibadah kepada Allah Ta’ala, namun juga memperbaiki kebudayaan yang merugikan sesama umat manusia.

Contohnya Nabi Syuaib a.s, yang bukan seruan untuk menyembah Allah Ta’ala yang beliau sebut, namun juga melarang tindakan buruk kaumnya yang seringkali curang dalam berdagang dan membuat resah orang-orang yang lewat di jalanan.

Dan kepada penduduk Madyan, Kami utus saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan”.
QS. Hud: 84

Ujian terberatnya adalah, Nabi Syu’aib adalah orang-orang yang berasal dari tengah-tengah mereka juga.

Bayangkan jika kita tiba-tiba mendapatkan tanggung jawab tersebut dan harus turun ke tengah-tengah masyarakat yang menyeramkan untuk menyampaikan risalah tersebut.

Para Nabi dan Rasul pun menyampaikan itu dengan sentuhan psikologis, seperti menyebutkan dengan cara lemah lembut, serta beberapa alasan pendukung bahwa mereka tidak mendapatkan bayaran dari siapa pun dalam melakukan itu.

Dakwah para Nabi dengan lemah lembut itu dilakukan bertahun-tahun, bahkan sampai ratusan tahun seperti Nabi Nuh a.s.

Sedangkan kita, hanya karena tidak senang dan malas bertemu dengan bos atau atasan kita, bisa menghabiskan waktu bermenit-menit cuma untuk bangun dari tempat tidur saat ingin berangkat kerja.


Halus namun berat

Mungkin ada beberapa dari kita yang berani dan siap ‘menghajar’ para pelanggar yang meresahkan. Tetapi apakah yang terjadi jika salah satu yang melanggar adalah dari keluarga sendiri atau berasal dari orang yang paling kita sayang?

Saat kita berlelah-lelah melarang orang dari melakukan perjudian, ternyata kita justru mendapati anak kita sendiri yang menjadi bandarnya.

Itulah salah satu beratnya ujian para Nabi dan Rasul terdahulu, seringkali keluarganya yang terlibat dalam kemaksiatan yang mereka larang.

Padahal melarang orang atau menyuruh untuk berhenti saja sudah sangat berisiko. Melakukan amar maruf nahi mungkar bukan hanya berakibat kita dikucilkan namun juga mendapatkan serangan dan teror.

Kita seringkali mendengar bahwa ada orang yang melaporkan tindakan korupsi justru berakhir membuat si pelapor terpenjara.

Sejujurnya, tidak perlu jauh-jauh kepada tindakan korupsi, saat kita kedapatan bekerja dengan buruk dan ada orang yang melaporkan kita, maka sebagian kita pasti tidak senang dan mencari si pelapor.

Menyuruh beribadah kepada Allah (vertikal) saja dengan cara yang paling lembut saja sudah sangat berat, apalagi bebannya harus melarang kegiatan negatif secara horizontal.

Secara manusiawi, kita akan risih apabila ada orang yang tiba-tiba mengoreksi kegiatan kita yang telah kita lakukan secara aman bertahun-tahun, meski kegiatan itu kurang tepat.

Dan apabila dikatakan kepada mereka, β€œIkutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab, β€œKami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami.” Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk.
QS. Al-Baqarah: 170

Para umat dahulu pun ada yang berkilah bahwa mereka menyembah Allah juga, namun lewat perantara seperti patung-patung.

Jangankan untuk hal berat seperti itu, hal yang paling sepele pun terkadang perlu usaha lebih untuk memberitahu meski dengan baik.

Dulu, saya pernah dengan senyum memberi saran kepada teman sekampus agar merapikan presentasi powerpointnya supaya tulisannya tidak menumpuk seperti koran. Saya pun siap membantunya untuk saya buatkan intisiarinya saja.

Tapi apa yang saya dapatkan? Sebuah jawaban, “Ah bapak saya juga kalau buat presentasi kayak gini kok!”

Terbayangkah bagaimana beratnya para Nabi dan Rasul dalam menyampaikan risalah? Risalahnya bukan hanya untuk satu dan dua orang, melainkan satu golongan manusia.


Iman para sahabat Nabi

Sekarang beralih kepada para sahabat Nabi, atau umat Rasulullah saw., saat Beliau masih hidup.

Seberapa tinggi iman mereka? Apakah keimanan kita bisa mendekati keimanan mereka?

Kita mungkin telah mengetahui bahwa minuman memabukkan (khamar) bertahap pelarangannya. Jadi khamar tidak langsung Allah haramkan melainkan perlahan-lahan.

Tetapi bagaimana saat para penduduk Madinah yang sudah siap berbisnis khamar karena terbayang-bayangi keuntungan duniawi yang menakjubkan, tiba-tiba ayat pengharaman khamar turun?

Saya yakin kita akan kecewa saat sudah berlelah-lelah memproduksi sesuatu yang potensial akan mendulang keuntungan besar, namun larangan menjual barang tersebut justru keluar saat kita sudah siap memasarkannya.

Apa respon penduduk Madinah pada saat ayat larangan khamar itu turun? Mereka justru kompak menumpahkan seluruh khamar yang telah mereka produksi dengan susah payah dan gagal mendapatkan keuntungan yang potensial.

Tidak terdengar protes apa pun sejauh yang saya dengar dari kisah-kisah itu.

Sahabat Umar ibn Khatthab r.a sampai menjual kebun beliau hanya karena beliau terlewat shalat berjamaah akibat sibuk menghitung-hitung keuntungan duniawi di kebun beliau itu.

Dan kisah-kisah lain para sahabat atau pengikut di zaman Rasulullah saw., yang begitu bersegera dalam melakukan kebajikan tanpa harus adanya interupsi dari berbagai macam perhitungan.


Konklusi

Dengan keimanan para sahabat yang begitu tinggi, jangankan kita berharap untuk dapat meniru keimanan mereka, kita sendiri mungkin malu jika suatu saat Allah Ta’ala kumpulkan di hari kiamat bersama mereka.

Perlu kita ketahui, seluruh ujian tersebut tidak berhubungan dengan kekuatan superpower mereka. Justru kebanyakannya adalah ujian-ujian psikologis yang relate dengan kita.

Mungkin kita berkecil hati karena kita tidak mungkin mendekati tingkat keimanan para sahabat, separuh dari ujian mereka pun tak akan sanggup kita jalani.

Yang kita bisa lakukan sekarang adalah mengambil bagian kita sendiri semampunya. Ketika kita melihat orang yang melakukan nahi munkar, setidaknya jangan kita hentikan perbuatannya dengan berkilah, “Udah biarin aja, yang penting kita gak kayak mereka”.

Meski kita belum mampu berani sepertinya, minimal kita dukung secara tidak langsung.

Kebanyakan orang hanya berkeluh kesah lewat sosial media, tetapi mereka tidak mengambil bagian apa pun dalam hidup mereka, walaupun hanya untuk diri mereka sendiri.

Teruslah lakukan perbaikan, catat progres kita, dan usahakanlah agar ada peningkatan setiap hari atau setiap minggu, baik dalam ibadah vertikal, atau pun ibadah horizontal.

Membuat orang lain berbahagia hanya dengan mendengarkan keluh kesah mereka tanpa harus kita hakimi sepihak, itu adalah hal dasar yang paling mudah namun sayangnya sedikit orang yang dapat melakukannya.

Melakukan kebaikan dengan objektif (tanpa ego) memang berat. Tetapi meski kita mungkin tidak dapat selevel para sahabat Nabi, kita dapat selevel dengan orang-orang hebat di dunia yang sekarang kita tinggali.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
πŸ€— Selesai! πŸ€—

  • Sebelumnya
    Agama Mengabaikan Kondisi Mental Manusia? Islam & Psikologi

    Berikutnya
    Pengalaman 5 Kali Allah Taala Mengabulkan Doa Saya


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. πŸ˜‰

    Kembali
    Ke Atas