Ulil Amri

Taat kepada Ulil Amri adalah bagian dari syariat yang telah jelas termaktub dalam Al-Quran, tepatnya surat AnNisa ayat 52. Menurut Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, Ulil Amri di sini maksudnya adalah pengatur urusan umat atau penguasa, yang dengan kebijakan-kebijakan mereka, masyarakat dapat menjalani kehidupan dunia dan akhirat mereka dengan mudah.

Uniknya, perintah taat kepada ulil amri di dalam AlQuran bersifat tidak secara langsung. Maksudnya meski secara jelas terdapat kata ulil amri di sana, namun tidak didahului dengan kata perintah untuk taat seperti taat kepada Allah dan taat kepada Rasulnya.

Teks terjemahan lengkapnya seperti ini:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Mengapa ulil amri tidak didahului dengan kata “taati”? Berdasarkan yang saya dengar dari sebuah kajian subuh, bahwa tidak semua kebijakan penguasa itu baik. Sudah ada jaminan bahwa perintah Allah dan RasulNya adalah hanya untuk kebenaran, namun tidak ada jaminan kebijakan penguasa itu seluruhnya baik.

Ada hadits yang mendukung pernyataan tersebut, yakni:

“Patuh dan taat pada pemimpin tetap ada selama bukan dalam maksiat. Jika diperintah dalam maksiat, maka tidak ada kepatuhan dan ketaatan.” (HR. Bukhari, no. 2955)

Namun intinya kita tetap diwajibkan untuk mentaati peraturan pemerintah selama itu baik. Yang sayangnya, syariat tersebut sepertinya telah memudar di masa kini.

Mengapa? Ada apa?


Fenomena yang miris

Seringkali di jalanan saya melihat banyak sekali pengendara sepeda motor yang bergamis, bersarung, berkopiah, atau memakai atribut agama lainnya seperti jaket yang melambangkan majlis tertentu, yang justru melanggar peraturan lalu lintas.

Dan kejadian itu tidak hanya terjadi sekali duakali, melainkan sangat sering.

Seseorang memakai putih-putih, berkopiah, terkadang bersorban dan berselempang sajadah, berkendara di jalan raya tidak memakai helm dan melanggar lampu merah.

Di lain kesempatan, banyak sekali orang-orang yang menyebrang langsung di jalan raya yang begitu lebar padahal tepat di atas mereka telah terbentang jembatan penyebrangan orang. Padahal saya lihat tangga JPOnya tidak begitu curam dan para penyebrang itu bukanlah lansia dan masih terlihat segar bugar.

Berapa kali saya harus menekan rem secara mendadak yang mungkin membahayakan kendaraan di belakang saya dengan kejadian yang tiba-tiba tersebut.

Oh dear, mengapa hal ini bisa terjadi? Kemanakah penerapan syariat patuh terhadap ulil amri tersebut? Padahal dengan mematuhi aturan lalu lintas, para pengguna jalan akan mendapatkan keamanan dan kenyamanan serta lalu lintas yang lebih dapat diatur.

Artinya, peraturan taat berlalu lintas adalah peraturan yang baik. Namun sayangnya, masih sedikit muslim terkhusus di negeri ini dengan mayoritas muslim terbanyak di dunia yang mau menjalankan ‘syariat’ ini. Ironis.

Yang lebih memprihatinkan, di masa pandemi dari pertengahan 2020, ternyata masih sangat banyak muslim yang enggan mentaati kebijakan pemerintah untuk shalat di rumah atau menjaga jarak antar shaf.

Dear, saya tipikal orang yang selalu memburu shaf kosong agar bisa shalat di barisan yang lebih depan. Namun di masa pandemi, saya lebih memilih mengikuti aturan pemerintah untuk tidak mengisi shaf yang diberi tanda silang.

Padahal aturan shaf itu sudah disetujui oleh Majelis Ulama Indonesia yang nyatanya mereka lebih berhak untuk ditaati sebagai ulil amri bagi muslim. Tetapi kenyataannya banyak muslim yang lebih senang untuk membuat ‘aliran’ tersendiri.


Dalih yang sangat lemah

Saya pernah menghadiri shalat jumat di sebuah masjid dekat kantor saya, yang mana bukan masjid yang biasanya saya lakukan jumatan. Saat memasuki masjid, protokol kesehatan di gerbang seperti pemeriksaan masker dan suhu berjalan dengan baik, artinya mereka sudah taat ulil amri untuk hal ini.

Namun bencana terjadi saat khatib telah naik mimbar.

Telinga saya benar-benar tidak nyaman mendengarkan sang khatib pada saat itu. Pasalnya, beliau menyampaikan khutbah bahwa kita tidak perlu takut dengan makhluk Allah yang tidak terlihat (virus) dan menuntut jamaah agar lebih mematuhi protokol Allah dan RasulNya dengan merapatkan shaf.

Padahal, taat kepada ulil amri, dalam hal ini MUI, juga merupakan salah satu protokol Allah dan RasulNya, yang jelas-jelas termaktub dalam alQuran dan hadits.

Terlebih, banyak sekali ‘cacat’ argumen yang ditemukan dalam khutbah tersebut. Sang khatib berkata kita tidak perlu takut virus, kita hanya perlu perkuat iman saja. Sebenarnya mungkin para jamaah tidak takut dengan virusnya, para jamaah hanya mematuhi ulil amri.

Masih banyak orang yang menganggap enteng virus Covid19 mungkin karena efeknya masih ‘ringan’ dan tidak separah virus-virus seperti AIDS atau Ebola. Bahkan saudara-saudara kita yang sudah jelas wafat karena Covid di mana mereka tidak mencium bau dan merasakan makanan apa pun serta tidak lagi dapat bernapas, mereka masih dituduh oleh sebagian masyarakat bahwa mereka meninggal karena flu biasa.

Kemudian, sang khatib memerintahkan jamaah untuk tidak takut kepada makhluk apa pun selama berada di dalam masjid. Mungkin anggapan itu tidak akan terjadi jika fenomena yang terjadi adalah banyak sekali harimau yang lepas dan berkeliaran dengan bebas di jalan-jalan termasuk di masjid.

Terakhir, sang khatib berkata bahwa itu salah jika kita yang membawa virus dari luar ke masjid. Sekali lagi, sebuah argumen yang tidak masuk akal dan tidak layak dicerna. Saya sendiri heran mengapa orang seperti itu dapat dipilih menjadi khatib shalat jumat. Apakah muslim di Indonesia sudah kekurangan khatib yang berkualitas?


Efek buruk

Lalu memangnya apa saja efek negatif (baca: teguran/azab) yang akan terjadi jika kita tidak taat kepada pemimpin?

Seorang pemimpin pastinya dipilih atas pertimbangan warganya. Warga yang baik akan memilih pemimpin yang baik, begitu berlaku sebaliknya. Apalagi jika pemilihan pemimpin dipilih berdasarkan sistem vote/suara di negara demokrasi, maka semakin menguatkan pernyataan, “Pemimpin adalah cerminan bagi rakyatnya.”

Sekarang apakah muslim itu sendiri ingin memfitnah agamanya sendiri kepada non-muslim dengan menyangkal untuk mematuhi perintah ulil amri?

Banyak muslim yang merasa hukum Allah lebih berhak ditegakkan namun ironinya pengetahuan mereka tentang syariat tidak lebih dari hukum yang berhubungan dengan lawan jenis.

Sekarang agar lebih mudah, kita semasa sekolah pastinya sudah dilatih untuk belajar memilih pemimpin dari penentuan siapa yang akan menjadi ketua kelas.

Tetapi tentu saja, ketua kelas dipilih pasti karena ada tujuan. Sekarang bayangkan jika tidak ada ketua kelas, siapa yang akan menjadi perwakilan kelas dan penanggung jawab hubungan murid di kelas tersebut dengan dunia luar?

Artinya, ketua kelas mengemban amanah yang membuat murid di kelas tersebut tidak mendapatkan tanggung jawab lebih, biarlah hanya ketua kelas saja yang memikul tanggung jawab khusus tersebut. Inilah mengapa murid di kelas tersebut hanya cukup patuh kepada ketua kelas.

Atau yang lebih milenial, saat suatu rombongan pengendara sepeda motor melakukan touring ke daerah yang jauh, pastinya mereka akan menunjuk seorang ‘kepala suku’ untuk menjadi panutan sepanjang perjalanan. Setelah itu, anggota touring cukup menurut saja kepada sang ulil amri yang di sini maksudnya adalah pemimpin touring tersebut.

Lalu bagaimana jika para anggota touring tersebut ‘ribut’ sendiri dan mendahului pemimpin touring? Yang terjadi sudah dipastikan agenda akan kacau, anggota akan terpencar masing-masing yang ujung-ujungnya akan mengacaukan perjalanan yang seharusnya menyenangkan.

Itulah akibat apabila warga di suatu daerah tidak ingin mematuhi ulil amri. Padahal mereka memilih ulil amri karena punya suatu alasan dan keinginan.


Sebuah perbandingan

Mengapa seseorang masih tidak ingin menaati ulil amri padahal peraturannya adalah untuk kebaikan pribadi dan bersama? Simpel, ilmu yang rendah dan ego yang tinggi.

Kebanyakan orang yang tidak ingin menaati ulil amri adalah mereka yang ingin menjadi pahlawan dengan perbekalan yang sangat minim. Akhirnya saat salah satu dari para ‘pemberontak’ tersebut mendapatkan amanah sang ulil amri, mereka kewalahan.

Padahal tugas para anggota masyarakat hanya menurut, tidak lebih. Tetapi nyatanya masih banyak gagal untuk menjalankan tugas ‘simpel’ tersebut.

Lalu apakah muslim di negara maju taat kepada ulil amri?

Dear, jika kita berbicara negara maju, ingat yang dikedepankan adalah akhlak warganya, bukan teknologi. Justru teknologi hanyalah media untuk menyalurkan kebaikan warga negara maju untuk memudahkan urusan sesamanya.

Jika kita berbicara negara maju dengan tingkat kemajuan negara sudah di atas 80% seperti Jepang, atau Singapura, atau sebagian besar negara Eropa, maka tentu saja masyarakatnya sudah otomatis taat kepada ulil amri karena ingat, negara maju berarti akhlak yang lebih baik. Inilah mengapa negara maju cenderung bersih dan teratur.

Apakah muslimnya juga taat kepada ulil amri di negara maju? Tentu saja.

Di Makkah dan Madinah itu sendiri, protokol kesehatan sangat keras digalakkan kepada para jamaah padahal kedua daerah mulia tersebut adalah daerah yang paling taat syariat. Namun faktanya mereka masih berusaha taat kepada ulil amri tanpa adanya argumen hebat bahwa hukum Allah Ta’ala lebih berhak untuk ditaati.

Padahal tentu saja, taat kepada kebijakan pemimpin yang baik juga termasuk hukum Allah. Syariat yang sudah sangat jelas.

Bahkan di negara tetangga kita, Singapura, semua muslim di sana memiliki ulil amrinya sendiri yang disebut MUIS (Majelis Ugama Islam Singapura), yang mana dengan MUIS tersebut Singapura dapat memiliki kurikulum pendidikan Islam tersendiri (madrasah), hukum Islam yang terpisah dengan hukum utama, pengadilan syariah, dan kerenggangan waktu kerja karena shalat jumat, serta keistimewaan lainnya khusus muslim di Singapura.

Saat MUIS memerintahkan warga muslimnya untuk mematuhi protokol kesehatan dengan merenggangkan shaf, atau meregistrasi shaf dengan aplikasi sebelum shalat Jumat atau shalat Id, semuanya dilakukan dengan patuh tanpa adanya penentangan dari orang yang merasa lebih tahu.

Berikut khidmatnya shalat id di masa pandemi di Singapura (foto diambil dari The Straits Times):

Ulil Amri Ulil Amri

Tidak heran jika negara tetangga tersebut memiliki tingkat keharmonisan yang sangat tinggi antar warga yang berlainan ras dan kepercayaan.

Yang mereka lakukan hanya satu, law abiding, alias taat kepada ulil amri. Tidak berusaha untuk menjadi pedantic atau seseorang yang menjadi arogan dengan ilmunya yang masih sangat sedikit itu.

Kalian sudah tahu, bunyi tong kosong akan selalu nyaring.

Bagaimana kita sebagai muslim menanggapi fenomena ini? Apakah kita ingin menjadi lebih baik lagi dengan berusaha mematuhi ulil amri selama kebijakan tersebut memiliki kebaikan untuk sesama?


Wallaahu A’lam Bishshawaab.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Ingin Rezeki Lebih? Mengapa Masih Memusingkan Salat Hajat & Sedekah?

    Berikutnya
    Dear, Berhentilah Membandingkan Musik dengan AlQuran


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas