Lagi, artikel berkategori akidah yang judulnya lumayan kontroversial setelah artikel yang kemarin itu.
Muslim sudah paham apabila pahala akan membawanya ke surga dan dosa akan membawanya ke neraka. Tetapi saya sendiri sudah tidak lagi memikirkan masalah dosa atau pahala.
Ada beberapa orang yang mungkin khawatir saat memasuki bulan puasa. Mereka khawatir atau bahkan takut apabila mereka berbuat sesuatu yang membatalkan pahala puasa, atau bahkan dosanya melebihi pencapaian puasa mereka.
Sejujurnya itu pun adalah suatu hal yang sangat baik. Semoga Allah Ta’ala telah memberikan mereka hidayah sehingga mereka dapat lebih berhati-hati. Dan tentu saja bukan hanya sebatas saat Ramadhan saja.
Saya juga dahulu sempat sering was-was dan khawatir masalah dosa atau tidak. Namun sesuai judul artikel, saya sudah tidak lagi memusingkan lagi masalah pahala atau dosa.
Mohon agar tidak ada yang salah paham di sini. Maksudnya bukan berarti kemudian saya bebas berbuat semau saya karena saya tidak lagi takut dosa. Itu prasangka yang sangat buruk dan bahkan melenceng jauh.
Saat seorang muslim benar-benar beribadah karena Allah Ta’ala, ia insyaAllah akan mendapatkan rasa aman dariNya. Bahkan insyaAllah jua ia akan senantiasa mendapatkan petunjuk.
Bagaimana tidak, minimal 17 kali seorang muslim membaca,
Tunjukilah kami jalan yang lurus.
(QS. 1: 6)
Apabila seorang muslim menghayati setiap untaian yang ia baca dalam shalatnya, ditambah dengan rakaat sunahnya, sudah berapa kali ia meminta petunjuk jalan yang lurus?
Tugas seorang muslim hanyalah berkomitmen ibadah kepada Sang Pencipta karena itulah tujuan manusia Allah ciptakan. Ibadah itu bukan hanya shalat, melainkan seluruh bentuk penghambaan sesuai dengan kata “Ibadah”, yang berarti “Ibad”, “Abdi”, yang memang berarti mengabdi sebab bahasa Indonesia telah menyerap langsung kata “Abdi”.
Jika seseorang mencintai pasangannya, ia pasti akan mencari-cari apa yang disukai pasangannya dan ingin mewujudkan atau membelikan apa yang pasangannya juga suka akannya.
Begitu pun dengan seorang hamba yang cinta kepada Tuhannya, pasti ia terus-menerus mencari tahu apa yang membuat Tuhannya cinta dengan ia dan perbuatannya.
Secara otomatis, seorang muslim yang mengaku cinta kepada Allah Ta’ala dan rasulNya, ia akan senantiasa mempelajari apa pun yang membuat Allah ridha kepadanya.
Setelah ia berusaha yang terbaik untuk menggapai cinta Tuhannya, yang ia lakukan hanyalah percaya dengan hal-hal baik yang akan Allah Ta’ala lakukan kepadanya. Bukankah Allah mencintai itu?
βAllah berfirman sebagai berikut: Aku selalu menuruti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Apabila ia berprasangka baik maka ia akan mendapatkan kebaikan. Adapun bila ia berprasangka buruk kepada-Ku maka dia akan mendapatkan keburukan.β
(H.R.Tabrani dan Ibnu Hibban)
Saat kita membuat orang yang kita cintai kesal atau bahkan hingga menangis, kita akan langsung meminta maaf dan berusaha menenangkannya.
Seharusnya hal yang sama terjadi kepada Tuhan yang katanya juga kita cintai. Saat kita melakukan sebuah kesalahan, tanpa perlu memikirkan dosa atau tidak, hatinya sudah otomatis terguncang dan langsung beristighfar. Tak tanggung-tanggung, saat istighfarnya belum ia rasa cukup, ia akan menebus dosanya yang istilahnya adalah “kafarat”.
Kita bahkan sering mendengar bagaimana orang terdahulu yang ‘menghukum’ diri mereka sendiri karena meninggalkan hal yang bahkan bukan dosa sama sekali, seperti luput dari shalat tahajud yang telah menjadi rutinitas mereka, dan lain sebagainya.
Umar bin Khaththab r.a, beliau pernah mengutarakan, “Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia.”
Biasanya, seorang muslim yang telah mencintai Tuhannya dengan sepenuh hati. Saat ia ingin melakukan hal yang berujung dosa, seperti ada sinyal dari ‘entah’ yang menahannya.
Saya pernah bermain mesin capit yang gratis. Kemudian token gratis saya telah habis, dan mesin capit itu berbayar untuk memainkannya. Ketika saya mencoba membayar beberapa koin, jari saya seakan sulit untuk menekan tombol konfirmasi.
Sampai akhirnya saya menyerah dan tidak jadi bermain itu. Penasaran, saya mencari apa hukum bermain mesin capit yang berbayar. Ternyata seluruh yang saya temukan, sepakat berkata ‘haram’ apabila berbayar karena itu sama saja dengan judi.
Mengapa sama saja dengan judi? Sebab permainan capit ada celah yang menjadikan kita kalah saat mengeluarkan uang, dan itu membuat kita ketagihan menghabiskan uang untuk permainan itu seperti halnya berjudi.
Apabila seorang muslim benar-benar cinta kepada Allah Ta’ala, secara otomatis ia juga akan mencintai apa-apa yang Allah cintai, dan bahkan berusaha sepenuh hati untuk mencintai ciptaanNya juga.
Contohnya, saat seseorang mengagumi keindahan ciptaanNya berupa alam yang memesona, ia sebisa mungkin melestarikan keindahan ciptaan Allah itu. Sebab alam yang indah juga akan membuat muslim lain ikut bersyukur dan memuji ciptaanNya.
Itu semua akan terjadi secara otomatis.
Rasa cinta itu memiliki pengaruh positif yang menyebar dan dapat orang lain rasakan juga. Saat ada orang lain merasakan manfaat bahkan ikut terinspirasi dari kebaikan dari dalam diri seorang muslim, insyaAllah itu tanda bahwa cintanya kepada Tuhannya benar-benar serius.
Seorang muslim akan menjadi harum dan indah kepada siapa pun yang ia lewati. Bahkan keindahan muslim tersebut akan terus bertambah dan lebih baik setiap harinya.
βSesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.β
(HR. Muslim)
Maka dari itu tidaklah heran jika Rasulullah Muhammad saw., menyatakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat. Bisa jadi karena itu adalah implementasi rasa cinta yang seorang muslim pancarkan kepada Allah Ta’ala dan apa yang Dia cintai.
Berbeda dengan muslim yang mempelajari agama namun landasannya hanyalah egonya semata. Ia menceramahi setiap orang yang cenderung mengganggu dan tidak menyenangkan. Ia berpakaian ala Nabi saw., namun hampir tidak ada sifat Beliau yang ia terapkan.
Mereka hanya membuat orang lain tidak nyaman dan bahkan berpotensi menjauhkan para manusia dari agama. Mereka ‘gagal’ membawa keindahan, jangankan prinsip Islam yang “rahmatan lil-alamin”.
Orang-orang seperti itu hanya menyebarkan satu ayat, namun melanggar ayat sisanya.
Saat ada orang yang khawatir setiap memasuki Ramadhan apakah puasanya akan Allah Ta’ala terima, sebaiknya tidak perlu lagi khawatir tentang itu. Melainkan agar ia mulai untuk menyibukkan diri menimba ilmu yang insyaAllah mengundang rasa cinta langsung dari Allah Ta’ala.
Cukup jalankan puasa Ramadhan seperti biasanya, berusaha sebaik mungkin, kemudian percaya bahwa Allah akan menjaganya. Sudah, itu saja.
Sama seperti muslim yang bimbang dengan khilafiyah. Contohnya, beberapa muslim bingung apakah ia harus meninggalkan musik atau tidak.
Jika seseorang telah mencintai Tuhannya, ia secara otomatis mengetahui apa yang ia lakukan, dan ia teguh akan itu.
Misalnya, saat ada muslim memilih untuk mendengarkan musik karena ada ulama yang memperbolehkannya, ia akan otomatis mengetahui musik apa yang harus ia dengar jika itu dapat menunjang kehidupan dunianya seperti memberikannya inspirasi dan semangat kerja tanpa meninggalkan syariat dan kewajiban-kewajiban yang telah Allah tetapkan.
Atau jika seorang muslim memilih untuk meninggalkan musik dan ikut ulama yang mengharamkannya. Itu menjadi pilihannya, dan ia seharusnya tidak mengganggu orang lain yang lebih memilih mendengarkan musik.
Karena jika orang yang memilih musik itu haram menjelaskan alasan mengapa musik itu diharamkan, kemungkinan besar orang yang memilih musik halal ikut setuju dengan mereka. Mereka hanya mendengarkan musik yang tidak termasuk kategori atau alasan yang para ulama tetapkan keharamannya.
Begitu pun dengan khilafiyah yang lain. Bukankah para muslim ingin memperkenalkan Islam dengan cara yang paling damai dan menyenangkan?
Wallahu A’lam Bishshawaab