Asal Mula Nama Daerah Di Jakarta

Encang encing nyak babe! Enggak usah pake bahasa Betawi deh hehe… saya juga meski orang Betawi tapi nggak jago-jago amat bahasa Betawi. Khawatir nantinya bukan artikel berbahasa Betawi yang muncul malah bahasa Alien.Di sini saya mau nyerocos ngalor ngidul tentang sejarah beberapa nama daerah di Jakarta. Enggak semuanya sih, lagipula ini juga nggak tau bener apa kagak. Moga-moga aja bener hehe… Namanya juga nyerocos yengga?


Jadi di Jakarta dulu emang masih pada kebon sama rawa-rawa semuanya. Yang namanya kebon itu kayaknya beda sama kebun berdasar persepsi orang-orang. “Kebun” itu yang ada dipikiran kita kebanyakan adalah taman dan pepohonan belakang rumah, rapi, tertata, diberi pernak-pernik, air terjun buatan, hewan peliharaan mahal, pokoknya udah kayak area sultan. Kalo “Kebon” kebalikannya. Keurus nggak keurus jatohnya, hutan bukan, taman bukan, sarang demit iya.

Nah, kebon di Jakarta bukan cuma kumpulan pohon-pohon tua yang banyak Kuntilanaknya itu. Tapi emang macam-macam tumbuhannya. Makanya area kebon itu jadi nama daerah kayak Kebon Kacang, Kebon Pala, Kebon Melati, Kebon Jeruk, Kebon-kebon lainnya dan… Kebon Kosong. Kebon kok kosong, mungkin nggak ada yang punya kali.

Kini, kebon-kebon itu tinggal sejarah karena semuanya udah pada jadi beton. Yang tinggal cuma orang-orangnya aja yang kadang suka pada berak sekebon. Kikikik…


Terus di Jakarta yang udah saya sebutin juga dulu banyak rawa-rawa. Makanya jangan kaget ala-ala sinetron yang kamera sampe ngezoom begitu kalau banyak nama daerah di Jakarta yang diawalin dengan kata “Rawa”.

Ada daerah rawa yang dipilih untuk dibangun pemukiman pada saat itu, disebutlah Rawamangun. Di sebelahnya ada nama Rawasari, kurang tau deh itu Sari muncul dari mana.

Ada daerah rawa yang dulunya dibikin banyak kolam alias empang alias balong. Jadilah nama tersebut Rawa Bolong, eh Rawa Belong. Kok jadi meleset dari Rawa Balong? Iya, gegara ada tentara bayaran Belanda yang nyebutnya Rawa Blong. Terus malah diikutin lagi sama penduduk lokalnya. Untung nama daerahnya nggak jadi Rem Blong.

Dan dulunya ada bunga bangke tumbuh di salah satu kawasan rawa tersebut. Iya, bunga yang baunya seamit-amit mirip bau gembel yang pada ngumpul pojokan bongkaran itu wkakakak. Eh, emang bau gembel tuh gimana ya? Intinya itu bunga baunya busuk aja. Disebutlah daerah itu Rawa Bangke. Eh, penduduknya protes, “Nggak enak banget bang didengernye! Dikire ini tempat pembuangan mayat ape?!” Nama daerah tersebut akhirnya diubah jadi Rawa Bunga. Sa ae.


Masih ngomongin rawa. Rawa itu disebut danau bukan, kolam juga bukan. Tapi ya isinya cuma kebon-kebon yang ada genangan doang. Dan di antara genangan-genangan itu banyak muncul pulau-pulau kecil. Makanya jangan heran lagi kalau di Jakarta banyak daerah yang ada embel-embel Pulonya.

Kampung Pulo (wih enak tinggal di kepuloan begitu), Pulogadung yang banyak pohon gadungnya (bukan pulaunya yang gadungan ya), Pulogebang yang banyak pohon gebangnya (sampe dibikin lagu sama Titi Kamal yang judulnya “Jablai”), Pulomas, pulo yang banyak mas-mas gantengnya (uhuk, uhuk) jangan didengerin yang itu, bohong hahah. Dan Pulo-pulo lainnya.

Oh iya, waktu pelajaran Geografi yang diajarin waktu SD… eh sebentar, keren banget anak SD udah belajar Geografi! Intinya yang namanya pulau itu biasanya ada teluk dan ada tanjung. Mungkin dulu ada pulau rawa di daerah selatan Jakarta yang tanjungnya ikonik banget bisa jadi ajang selfie yang sekali foto dimintain ceban sama abang-abangnya pengelolanya.

Akhirnya terjadilah pembagian wilayah di kawasan tanjung tersebut. Dibagi jadi dua, Tanjung Barat dan Tanjung Timur, tapi entah kenapa, Tanjung Barat jadi yang lebih dikenal. Kaciaaan de Tanjung Timur.

Di rawa juga banyak kolam, atau empang, atau balong, atau lebak. Tapi ada yang unik, ada kolam yang banyak kura-kuranya. Kura-kura itu bulus, tau dong daerah apa? Yup, daerah Pondok Indah. Eh, bukan, Lebak Bulus.


Masih seputar kebon dan rawa, yang kali ini kebonnya luas banget sampe bener-bener udah jadi hutan (utan). Enak kalo mau bangun rumah, kayunya tinggal tebang dari utan di sebelah. Jadi deh daerahnya disebut Utan Kayu. Pas banget nama daerah di sebelahnya itu Rawamangun. Bahagianya.

Di situ juga jadi basis markas tentara Mataram untuk nyerang penjajah, orang-orang kita waktu itu nyebutnya Mataraman, dengan lidah kepleset dikit jadiΒ Matraman.

Utan dimana-mana, utannya begitu lebat. Orang Betawi nyebutnya utan lebet. Saya nggak tau kenapa abis itu sebutannya berubah jadi Tebet. Tapi intinya, yang penting dulunya kawasan itu utannya lebet banget, eh tebet banget daunnya.

Di antara utan itu pastinya banyak pohon. Pastinya ada pohon yang ikonik banget. Dulu ada pohon mangga gede banget (saya yakin di itu pohon, miss kunkun pada ngekos di situ). Saya sering denger cerita tukang ojeg yang diputer-puter di pohon gede. Loh kok udah lurus malah ketemu pohon ini lagi ini lagi? Hii… kangen juga cerita horor jadul.

Pohon mangga gede ikonik itu jadi nama daerah itu, Mangga Besar. Terus di sebelahnya juga nggak mau kalah. Pohon sawo gede juga ikut-ikutan jadi ikonik (kubunya genderuwo sekarang, miss kunkun vs genderuwo), cuma sayang kubu genderuwo bukan pro player, alih-alih daerahnya disebut Sawo Besar, malah jadi Sawah Besar. Misleading, isn’t it?

Apa kita punya hutan jati? Punya dong. Tumbuhan kebangsaan itu eksis dimana-mana kek Youtuber pengen viral. Coba liat di daerah selatan dikit. Utan jati di mana-mana. Sampe dulu di bawahnya pepohonan jati ada warung viral orang Tionghoa yang namanya Buncit. Jadilah daerah itu disebutΒ Warung Buncit. Btw, orangnya buncit juga nggak ya perutnya? Menurut daku sih yes.

Saya kurang paham warungnya di mana, yang pasti warung yang ada di bawah pepohonan jati tersebut bener-bener viral sampe disebut dengan daerah Warung Jati. Ke selatan dikit, di hutan jati tersebut bermukim orang-orang Jawa. Kejawaan, yang dalam bahasa mereka menjadi Kejawen. Per-jati-an, yang dalam bahasa mereka jadi Pejaten.

Masih kawasan penduduk suku Jawa dan pejatian. Suatu malam mereka panik soalnya entah kenapa hutan jatinya terbakar. Pasti ada yang nabun (bakar sampah) sembarangan, saya yakin hehe. Yang namanya jaman doeloe, nggak ada listrik, nggak ada lampu, nggak ada sinyal WiFi juga, pasti daerahnya gelap gulita wong penerangannya cuma obor doang. Alhasil peristiwa kebakaran jati itu bikin terang malam itu. Terang, dalam bahasa mereka adalah “Padang” (onde mande bundooo). Tak heran nama daerah tersebut adalah Jatipadang.

Oh, jati-jati tersebut juga jadi komoditas utama pada saat itu. Mungkin. Alhasil pemerintahnya juga pengen dong ambil bagian jadi pengelola jati-jati itu. Dulu makanya ada daerah yang disebut Jatinegara. Tapi menurut sumber lain, itu julukan orang-orang Sunda dari kesultanan Banten sebagai slogan untuk perang sama belanda, Jatina nagara.

Banyak sebetulnya nama pohon ikonik yang jadi nama daerah di Jakarta. Dari mulai Serdang, Johor, Pinang Ranti, Bintaro (Bilang cinta separo-separo), Cempedak, Warakas, Bayur (Kebayoran) dan sebagainya. Pernah saya bahas di sini.

Oiyak, dulu sempet ada pohon kelapa yang cabangnya ada dua lho, nama daerahnya udah bisa ketebak, Kelapa Dua. Nggak tau deh kalo Mangga Dua apa sejarahnya sama juga. Pohon mangga cabangnya bukannya banyak ya? Apa maksudnya ada dua pohon mangga yang sama-sama gede atau pohonnya cuma ada dua mangga aja? Ya kali kalo pohon cuma bisa ngasilin dua buah aja, mungkin pohonnya imp*ten?

Terus lagi, apa Duren Tiga juga ikut-ikutan? Bukan, itu bukan pohon duren yang ada kaitannya sama angka tiga. Tapi itu nama perusahaan korek api Cap Duren Tiga yang emang pabriknya di situ. Oalah, plot twist banget.


Bicara komoditas seperti disinggung secuil di atas, pasti bicara profesi orang-orang jadul yang sebagian besar menghidupkan pasar karena jelas zaman dulu belom ada programmer, apalagi Youtuber. Uniknya, pasar-pasar itu cuma buka seminggu sekali. Kenapa ya? Misalnya sebuah pasar cuma buka hari Senin, eh ternyata ada penjualnya tiba-tiba sakit kena santet, atau lagi ada meeting sama investor di luar kota, yah gak bisa jualan dan nunggu seminggu lagi. Apes betul. Tapi ya rezeki gak kemana, tapi kapan hehe…

Ada Pasar Senen, Pasar Selasa, Pasar Rebo, Pasar Kamis, Pasar Jumat, Pasar Sabtu, dan Pasar Minggu. Tapi ya itukan dulu, sekarang mah pasar bukanya 24/7 udah kayak delivery MacDondald hahah.

Eh, tapi kemana ya Pasar Selasa, Pasar Kamis, sama Pasar Sabtu? Nggak kedengeran wilayahnya? Pasar Selasa itu jadi pasar Koja, Pasar Kamis itu pasar Jatinegara, dan pasar Sabtu itu pasar Tanah Abang.

Dulu, untuk nganterin hasil komoditi tuh belom ada jasa G*jek sama Gr*b, apalagi J*N*E. Semuanya pakai kuda yang bahan bakarnya bukan ngisi SPBU, tapi SPBR (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Rumput) yang mana retail rumput terbesarnya ada di Pasar Rumput.

Terus kalo kuda knalpotnya di mana? Ya nggak ada lah, mereka buang emisinya kalo nggak pipis ya berak. Biasanya para kusirnya ngadem dulu di sebuah pos yang instagrammable di mana kudanya bisa ikutan istirahat sambil minum sampe puas (kalo kata orang jawa Ngombe), daerah itu disebut Pos Pengumben. Abis minum kudanya pengen pipis, akhirnya kudanya pada pipis di jalan sampe ada daerah yang kanan kiri dihiasi dengan pipis kuda yang baunya Pesing.

Selain mereka jualan hasil alam, ternyata ada juga loh yang pada jualan Klender, eh Kalender.


Mulailah Belanda dateng ngegerecokin keharmonisan penduduk lokal. Etapi, Belanda udah bikin pembangunan ‘modern’ juga lho pada masa itu. Liat, Jakarta dulu punya tram, jauh sebelum ada MRT. Jadilah Belanda merasa Jakarta alias Sunda Kelapa ini perlu diatur-atur. Dibangunlah pusat pemerintahan salah satunya sang mayor ada di Kemayoran.

Yang jelas dari Kota Tua sampai Kemayoran mulailah dibangun ini dan itu sebagai proyek pembangunan kecil-kecilan sekeliling pusat pemerintahan Belanda. Pohon ditebang-tebangin, kebon dibabat habis, warga cuma bengong ngeliat warna langit yang baru keliatan. Mungkin selama ini di atas kepala mereka warnanya ijo daun semua kali ya ketutupan hutan. Setelah kebonnya hilang, pemandangan menembus jauh sampe Bogor sampe tampak Gunung Salak sama Gede Pangrango dari situ, seharian, warganya tambah bengong. Semenjak itu mereka menamai daerah mereka Gunung Sahari.

Nah, begitu Belanda sudah cukup puas sama game The SIMS City buatan mereka, dipanggillah rekan-rekan mereka supaya lihat hasil karya kota buatan mereka, dengan mempekerjakan entah paksa atau nggak para penduduk lokal. Para kapal Belanda yang disebut Fluit berlabuh di pelabuhan yang kini dikenal dengan daerah Pluit.

Kenapa mereka berlabuh di daerah Barat? Mungkin itu spot favorit mereka. Atau mungkin di daerah timur sudah ada yang punya, dan tokoh tersebut sangat dihormati warga sekitar. Konon, tokoh tersebut tinggal di semenanjung timur Jakarta dan dijuluki mbah Priok. Sampai-sampai nama daerahnya menjadi Tanjung Priok.

Dulu di perkampungan yang isinya orang-orang dari Bali, yang deket Jatinegara bukan yang deket Tanah Abang. Ada seorang Belanda bijak yang dihormati bernama mbah Cornelis. Tapi simbah disebut Meester yaealah orang Belanda, kalo orang Afrika disebutnya Wa Awung. Jadilah daerah tersebut dijuluki Balimester.

Orang kita nggak ketinggalan, seorang Melayu disegani pada zamannya karena menjadi tuan tanah. Abang, bagi aye dong tanahnyeee… begitu mungkin kata gadis-gadis desa pada zamannya di Tanah Abang. Kadang orang kita agak males nyebut nama daerah panjang-panjang begitu, disingkat aja jadi Tenabang.

Mulailah daerah barat ikut kebagian jatah pembangunan. Sampai akhirnya ada jalanan di suatu daerah yang setiap lewat sana suasananya aduhai, bikin ngantuk. So sleepy… Ahem. Slipi.


Di Jakarta banyak kali, nah yang di daerah utara pada bilang kalau kali yang lewat daerah mereka itu suaranya santer banget… jadilah daerah Sunter.

Jakarta punya dua buah pancuran air yang ikonik pada zamannya. Yang satu ada di Pancoran, yang satu lagi di Chinatown alias kampung Cina di Jakarta agak ke utara. Kita nyebut suara pancuran itu grucuk-grucuk. “Haiya, gimana? Gimana? Bisa replay nggak suaranya?” Kata orang Tionghoa pada saat itu.

Orang kita, “Suaranya grucuk-grucuk koh.”

Orang Tionghoa, “Haiya? Gololok? Golocok? golodok? Glodok?”

Orang kita, “Yaudah koh nggak usah dipaksain juga, nggak bakal keluar soal di ujian nasional juga kok. Oh iya, betewe kokoh kalo ibadah ke klenteng mana?”

Orang Tionghoa, “Banyak, seberang rumah owe juga ada. Tapi kalo lagi pengen ada klenteng bagus di situ. Agak jauh dari sini sih…”

Dimana tuh? Klenteng Agung.

Oh iya koh, makasih ya koh atas wawancaranya. Baik pemirsa, dengan demikian dapat kami akhiri acara Talk Show ini dengan bintang tamu kali ini yaitu si Kokoh Glodok. Sampai jumpa semuanya, babai!


—THE END—

Eh kok tiba-tiba selesai? Lanjuttt… tapi nggak ah, tangan saya capek hahah. Nyerocosnya pake jari sih… Maaf ya, postingan nggak jelas.

Oh iya, bonus alias tambahan.

Dulu, mungkin zaman almarhum pak Harto karena gencarnya pembangunan jalan, para pimpinan daerah feel free untuk menamai jalan-jalan di daerah mereka. Biasanya yang kurang kreatif namain jalannya dengan nama-nama burung atau bunga. Tapi yang nggak kreatif cuma ngasih nama kelurahan mereka ditambah angka-angka tok, yang lebih males lagi? Namain jalan pake nama huruf. Jalan A, Jalan B, seperti yang ada di Pulogebang, Kampung Baru, sama Petamburan.

Jalan Raya Pramuka, nggak ada sejarah apa pun yang berhubungan sama praja muda karana di situ. Cuma nama jalan tok yang berhubungan dengan kepramukaan. Kebetulan memang jalan besarnya kebagian nama umumnya yaitu Pramuka, sedangkan jalan yang lebih kecil diberi nama jalan Penggalang, Penegak, dan Pembina. Nama jalan tersebut masih ada sampe sekarang, coba berkunjung di pemukiman belakang Polsek Matraman sebagai pangkal dari Jalan Pramuka itu.

Kawasan Bisnis Kuningan, pun dengan yang ini. Siapa yang tidak kenal Kawasan Kuningan yang masih merupakan bagian dari segitiga emas Jakarta. Kasusnya sama dengan Jalan Raya Pramuka. Jadi dulunya sebelum diganti menjadi Jalan HJ. Rasuna Said, nama jalan ini adalah jalan Kuningan, lalu ada jalan Timah, sepaket sama jalan bertema logam lainnya. Cuma sekarang semua nama jalannya sudah punah, berganti dengan nama-nama daerah Bali seperti Jalan Denpasar, Jalan Gilimanuk, Jalan Besakih, dst.

Kelurahan Guntur. Nggak, nggak ada sejarahnya dulu orang-orang pada kesamber geledek di sini. Ini tuh cuma nama-nama Gunung. Iya, Gunung Guntur yang di Garut itu dipilih jadi nama kelurahannya. Semua nama jalannya pun. Jalan Semeru, Jalan Salak, Jalan Bromo, Jalan Halimun (sampe jadi nama Halte Busway), dan jalan bertema gunung lainnya.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
πŸ€— Selesai! πŸ€—
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Mengapa Harus Gunung Kembar dan Matahari?

    Berikutnya
    Kolom Nostalgia: "Tiny Planets" Acara Anak Favorit Saya


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. πŸ˜‰

    Kembali
    Ke Atas
    Pakai tema nostalgia