Malam itu, saya termenung, bosan. Sejujurnya salah satu yang menjadi hiburan saya adalah melihat berita-berita tentang kabar baik dan kemajuan. Baik kemajuan yang langsung terdampak dengan saya mau pun yang tidak.
Misalnya, ada berita mengenai pembangunan jalan umum atau rute rel kereta baru, atau penambahan fasilitas publik, atau meski hanya kabar tentang perbaikan layanan birokrasi, itu sudah sangat saya hargai.
Masalahnya, berita-berita seperti itu hanya mampir sesekali sebagai judul berita sorotan di situs-situs berita. Sisanya hanya kabar kriminal dan gosip.
Sekalinya ada berita baik, nilai manfaatnya tidak terlalu signifikan dan terlalu politik.
Kemudian saya membuka kembali postingan saya tentang hal-hal inovatif nan bermanfaat yang dilakukan oleh orang-orang di Jepang, termasuk beberapa hasil karya (bagi saya game dan musik gamenya) yang bagi saya kebanyakannya adalah masterpiece.
Saya sebagai muslim memiliki rasa penasaran dan malu mengenai produktivitas dan etika kerja orang-orang Jepang.
Saya bahkan merasa jika orang Jepang sepertinya jauh “lebih islami” dibandingkan dengan muslim itu sendiri.
Saya pernah membaca sebuah jawaban di Quora mengenai etika kerja orang Jepang.
Meski peraturan kerja di Jepang sangat ketat, namun kebanyakan manajer tidak menegur karyawan secara langsung saat seorang karyawan berbuat salah.
Para manajer hanya ingin menegur si karyawan tanpa menyakiti perasaannya.
Saat seseorang melakukan kesalahan, mereka meminta maaf dengan totalitas.
Di kereta, hampir setiap orang atau bahkan seluruh orang telah memiliki kesadaran untuk tidak mengganggu orang lain. Suasana di kereta begitu tenang tanpa ada suara gaduh yang mungkin dapat tidak menyenangkan untuk didengar.
Masing-masing saling memberikan rasa aman kepada sesama. Itulah sebabnya banyak sekali inspirasi orang Jepang yang dapat menghasilkan karya yang begitu murni sebab mereka tidak khawatir suasana hati mereka dirusak oleh sekitar.
Padahal, memberikan rasa aman dan tidak menyakiti atau mengganggu orang lain, minimal tetangga, adalah salah satu syariat muslim.
Rasulullah saw. bersabda,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan menyakiti tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah menghormati tamunya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam.”
(Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah)
Sayangnya, banyak muslim yang katanya cinta Rasul namun menganggap remeh suasana hati seseorang. Lebih parah lagi, beberapa muslim meyakini bahwa semakin keras mereka kepada orang lain, mereka akan semakin berwibawa.
Sebuah lelucon di dunia barat mengenai zona waktu.
Seperti yang kita ketahui, setiap negara memiliki zona waktunya sendiri, seperti Indonesia yang memiliki tiga zona waktu, yakni Waktu Indonesia Barat atau WIB, WITA, dan WIT.
Di Amerika Serikat, kebanyakan zona waktu mereka selalu diberi akhiran “Standard Time”, seperti Eastern Standard Time (EST), Alaska Standard Time (AST), dan lain sebagainya.
Kemudian di kalangan mereka muncul suatu zona waktu baru, Muslim Standard Time (MST). Mengapa ada zona waktu seperti itu?
Sebab orang-orang luar tahu, banyak muslim yang memiliki jam karet. Bahkan hingga dibuatkan zona waktu sendiri karena sebagian muslim yang sering memundur-mundurkan waktu.
Meski bertujuan hanya sebagai humor, namun kebiasaan para muslim yang kerap telat telah menjadi cap tersendiri bagi masyarakat sekitar, baik muslim maupun kafir.
Bandingkan dengan Jepang di mana petugas stasiun meminta maaf dengan sungguh-sungguh saat kereta terlambat tiba meski hanya beberapa menit saja.
Waktu sepertinya telah mereka jadikan hal yang begitu sakral. Orang yang terlambat benar-benar berpeluang mendapatkan stigma negatif di komunitasnya.
Padahal, Allah Ta’ala sendiri pernah bersumpah atas nama waktu (QS: Al-‘Asr: 1).
Benar bahwa mungkin datang terlambat tidaklah mendapatkan dosa, namun memiliki risiko yang tinggi mengenai buruknya citra Islam di mata para non-muslim.
Rasulullah saw., pernah bersabda,
“Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.”
(Al-Hadits)
Lagi, muslim yang seharusnya terbiasa shalat tepat pada waktunya, seharusnya tidak mengalami kesulitan saat mencoba memenuhi janji.
Dikhawatirkan, orang-orang yang terbiasa melanggar perjanjian, mereka sudah memiliki salah satu tanda dari tiga tanda-tanda kemunafikan.
Teman saya bercerita, saat ia berada dalam toilet umum di Jepang dan ia tidak melihat ada tisu toilet terpasang, ia tidak jadi ke kubikal toilet tersebut dan pindah ke kubikal sebelahnya.
Penjaga toilet melihat hal teman saya yang sempat terlintas pandangan kebingungan saat ia berganti kubikal. Penjaga toilet langsung menghampiri dan berkata dalam bahasa Jepang mengenai apa yang terjadi.
Istri teman saya yang tidak dapat berbahasa Jepang, ia hanya menunjuk gulungan tisu toilet yang kosong.
Si penjaga toilet dengan segera mengambil tisu toilet yang sebenarnya ada di sebelah gulungan (istri teman saya tidak melihatnya waktu itu), dan langsung memasangkan ke gulungan yang kosong.
Setelah itu, penjaga toilet langsung meminta maaf hingga membungkuk-bungkuk secara berulang kali seakan ia baru saja melakukan kesalahan fatal.
Istri teman saya begitu tertegun dengan kepekaan si penjaga toilet dan menenangkannya bahwa itu tidak mengapa.
Mungkin jika di Indonesia, negeri mayoritas muslim, kemungkinan penjaga toilet hanya menunjuk tisu yang belum terpasang di sebelah gulungan kemudian sudah. Itu pun jika petugas toiletnya peka.
Lalu istri teman saya bercerita, dimana pun ia menjadi customer, ia benar-benar diperlakukan bak raja.
Seperti saat ia ke minimarket, kasir benar-benar menghitung uang kembalian dengan teliti dan menyusunnya dengan rapi di atas sebuah nampan, lalu menunduk sambil mengucapkan terima kasih.
Seorang Jepang di Quora pernah menulis, “Modesty is our culture (kesopanan adalah budaya kami)”.
Sekali lagi, padahal akhlak yang baik menjadi sebuah syariat yang sangat tidak main-main. Bahkan Rasulullah Muhammad saw. bersabda.
Diriwayatkan dari Nuh ibnu Abbad, dari Sabit, dari Anas secara marfu’: “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar dapat mencapai tingkatan yang tinggi di akhirat dan kedudukan yang mulia berkat akhlaknya yang baik, padahal sesungguhnya ia lemah dalam hal ibadah. Dan sesungguhnya dia benar-benar dijerumuskan ke dalam dasar Jahanam karena keburukan akhlaknya, walaupun dia adalah seorang ahli ibadah.”
Salah satu yang melegenda tentang orang Jepang adalah etos kerjanya.
Orang-orang Jepang melihat dengan seksama setiap detail yang mereka dapat perbaiki. Bagi mereka, ada kepuasan sendiri saat mereka telah setingkat lebih baik dari pekerjaan mereka.
Mereka tidak mengerjakan sesuatu dengan tanggung kemudian berkilah, “Halah yang penting dikerjain.”, atau, “Kan yang penting ada, gak bersyukur banget sih!”
Padahal, dalam sebuah hadits, muslim juga dituntut untuk bekerja secara totalitas.
Dari Aisyah r.a., sesungguhnya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional”.
(HR. Thabrani, No: 891, Baihaqi, No: 334)
Ditambah lagi, orang Jepang sangat memegang teguh prinsip “Kaizen” atau senantiasa melakukan perbaikan/berimprovisasi.
Terdengar familiar? Benar, Al-Qur’an sudah menekankan itu kepada kaum muslimin.
“Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
(QS. Al-An’am: 48)
Sekarang bagaimana dengan kaum muslimin itu sendiri?
Banyak sekali inovasi orang Jepang yang terlihat remeh namun sebenarnya memiliki manfaat yang tinggi juga memudahkan urusan orang lain.
Misalnya, saat seseorang sedang menggendong bayi dan ia tiba-tiba memiliki hajat yang harus dikeluarkan, ia tidak khawatir karena di sebagian toilet memiliki tempat untuk menaruh bayi.
Bahkan di beberapa rumah sakit, manajemen bukan hanya menyediakan pena untuk mengisi formulir, melainkan juga beberapa kacamata berbagai tingkat kerabunan untuk mereka yang sudah sulit melihat.
Sedangkan yang membuat saya cukup sedih, masih banyak muslim yang didorong untuk menjadi bermanfaat dan memudahkan orang lain namun mereka enggan.
Alasannya, mereka tidak ingin orang lain menjadi manja karena kemudahan itu. Padahal mereka sendirilah yang manja sebab enggan berusaha lebih.
Sebagian muslim sepertinya lupa jika menjadi bermanfaat adalah termasuk sebaik-baiknya manusia. Haditsnya pun sepertinya sudah sangat familiar di kalangan muslim itu sendiri.
“Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”
(HR. Ahmad)
Sangat disayangkan, alih-alih para muslim mengambil pelajaran dari akhlak positif orang-orang Jepang, mereka lebih memilih untuk melihat yang negatifnya.
Seperti, beberapa muslim lebih memilih untuk memandang jika di Jepang banyak terjadi seks bebas, atau orang Jepang senang mabuk-mabukan setelah pulang kerja, dan lain sebagainya.
Orang baik, pastinya mereka akan selalu melihat yang baik-baik. Jika orang yang hanya pandai melihat kekurangan? Dan apakah kita salah satunya?
Wallahu A’lam Bishshawaab