Pengalaman Rawat Inap
urban legend by : anandastoon
Sebut saja namaku Desi, dan ini adalah ceritaku masuk rumah sakit dan harus menjalani rawat inap. Aku tidak ingin menyebutkan aku sedang menderita penyakit apa karena bukan itu yang jadi inti cerita.
Ini bukanlah cerita yang menyenangkan. Ya, ya, ya… cerita horor rumah sakit. Bangsal yang gelap, ruang mayat, dan klise-klise menakutkan lainnya.
Jika kalian berharap cerita horor rumah sakit di luar itu, maka kalian akan kecewa sebab ceritaku adalah cerita horor rumah sakit yang klasik dan tidak ada yang spesial.
Tetapi yang ingin kunyatakan ialah, aku mengalami kejadian menakutkan ini benar-benar secara langsung.
Aku datang bersama ibuku karena suatu penyakit akibat kecerobohanku sendiri dan menurut dokter aku harus menjalani rawat inap. Aku tidak keberatan dengan itu. Rumah sakitnya juga tidak terlihat tua atau menyeramkan.
…setidaknya dari tampilan luarnya.
Hanya menurutku, rumah sakit ini sepi dan memiliki atmosfer yang sangat tidak menyenangkan. Tidak tahu itu apa, di atas kursi roda yang didorong dokter, aku merasakan semuanya dingin.
Seakan manusia yang normal hanya diriku dan ibuku saja. Ah mungkin aku terlalu paranoid.
Akhirnya aku berbaring di sebuah kasur rawat yang bagiku ini cukup empuk. Sang dokter kemudian memeriksa sebentar dan memberikanku penawar tanpa infus.
Aku tidak merasa heran dengan dokter tersebut, dan sesekali ada suster yang berjalan bolak-balik terlihat dari pintu. Ibuku tidak merasakan yang aneh-aneh jadi kami bercengkrama hingga sore dan aku lelah tertidur.
Aku terbangun karena lapar dan mendengar ibuku sedang membuka sebuah bungkusan makanan. Kebetulan. Kulihat jam sudah pukul 8 malam.
Ibuku sempat cerita bahwa ia mendengar tukang nasi goreng membunyikan pentungannya. Maka dari itu ibuku langsung berniat membeli makan malam dan keluar.
Namun di luar rumah sakit ternyata tidak ada siapa pun, sepi dengan pemandangan kebun pisang yang gelap serta tidak menyenangkan jika semakin lama dilihat. Cahaya lampu rumah sakit hanya menjangkau radius 10 meter saja.
Padahal ibuku yakin tadi suaranya berasal tidak jauh dari jendela kamar rawatku.
Saat kembali ke gerbang rumah sakit, untung saja ada satpam yang bersiaga dan memberitahu warung nasi Padang yang masih buka hingga larut, jadi ibuku beli di sana.
Ibuku bilang, tadi ia sempat berbincang-bincang dengan dokter yang ada di sana. Kata mereka rumah sakit ini menjadi lebih sepi semenjak banyak rumor tentang kejadian horor di sini. Cuma, mereka tidak dapat mengorfirmasi apakah rumor itu benar atau tidak.
Kemudian salah satu dokter berkelakar, “Memang rumah sakit mana sih yang tidak angker?”
Tetapi para pasien banyak yang cenderung ke rumah sakit baru di beberapa blok dari sini karena memang katanya peralatan medisnya lebih lengkap. Jadi rumah sakit ini kebanyakan hanya memberikan rujukan saja.
Selesai makan malam, tak lama ada dokter yang datang memberikanku obat dan menyuruhku beristirahat agar besok dapat pulih dan aku dapat kembali pulang.
Aku menurut dan tidur, begitupun juga ibuku.
Sekitar tengah malam, aku terbangun, mulas. Sepertinya karena pedasnya nasi padang yang tadi. Aku ingin membangunkan ibuku yang tertidur di bawah untuk memapahku, namun aku tidak tega. Jadi aku mencoba turun saja dari tempat tidur dan berjalan agak tertatih-tatih mencari toilet.
Keluar ruangan, aku kini berhadapan dengan koridor yang panjang dan sempit. Sepanjang koridor gelap hanya ada penerangan di ujung koridor saja dengan lampu agak kebiru-biruan.
Aku sebenarnya takut, namun rasa mulasku tidak ingin tahu-menahu tentang itu jadi aku lanjutkan berjalan ke arah lampu di ujung koridor.
Berhasil sampai di persimpangan koridor, di atasku ada penunjuk arah dengan salah satunya ke toilet. Untunglah jaraknya tidak jauh dari sana.
Tak kusangka, toiletnya benar-benar memuaskan seperti di hotel. Mewah berdinding marmer dengan pencahayaan eksotis. Selama berhajat di sana, tidak terdengar apa pun selain dari suara yang kuhasilkan di bilik toilet.
Seselesainya, aku keluar dari toilet dan… kembali ke suasana mencekam dengan lampu kebiru-biruan tadi. Saat berjalan menuju koridor ruanganku, aku mendengar sesuatu.
Seperti suara kriet-kriet besi dengan cepat dan tidak beraturan.
Tak memiliki pikiran negatif, aku mencari asal suara tersebut. Aku pun tidak ingat pada saat itu jika aku berjalan masih tertatih-tatih.
Suara semakin keras yang artinya asal suara semakin dekat. Ada koridor lain yang kudekati. Dari sana seakan terhembus angin dengan aura yang membuat tidak nyaman, tetapi aku kagum dengan siapa pun yang berani malam-malam bertugas di sana.
Aku mengintip dari celah koridor, ternyata tidak ada siapa pun di sana. Hanya ada kasur rawat inap yang tinggi kepalanya dapat diatur, diterangi dengan sedikit cahaya lampu yang aku tidak tahu darimana asalnya.
Ternyata dari sanalah suara kriet-kriet tersebut berasal! Kasur tersebut bergoyang maju mundur dengan sandaran kepala yang turun naik dengan sendirinya. Seprai putihnya berbentuk orang yang sedang tidur dan “kepala”nya seakan ingin terpental setiap dudukan kepalanya naik.
Gerakan itu terjadi secara cepat seperti siapa pun dalam seprai itu berontak ingin lepas, di ujung koridor antah berantah.
Tentu saja menyaksikan itu membuatku diserang rasa takut yang tak terbayangkan. Aku berharap aku pingsan namun tidak bisa sehingga kembali ke ruanganku adalah satu-satunya cara aman.
Bagiku teriak bukanlah pilihan karena hanya akan menarik apa pun itu menuju ke arahku.
Aku berjalan dengan cepat meski agak terpincang. Bersamaan dengan itu, aku terdengar suara orang yang berbicara dengan bahasa yang tidak kumengerti dari koridor sialan itu.
Seperti suara laki-laki dewasa berkumur-kumur namun tanpa air, atau bagaimanalah mendeskripsikannya itu. Dan suara itu sepertinya bergerak maju ke simpang koridor. Sial, sial!
Aku hanya membayangkan diriku terjatuh di tengah-tengah itu dan apa pun yang sedang mengejarku menarikku ke arah sebaliknya seperti di film-film horor. Masalahnya, suara gumamannya itu memantul ke seluruh penjuru, dibarengi dengan suara kriet-kriet kasur rawat yang kini terdengar lebih cepat dan semakin tidak beraturan.
Ayo, tinggal beberapa meter lagi aku tiba di kamarku. Suara di belakangku sudah semakin mengkhawatirkan. Aku menyadari bahwa ada suara lain yang mengikutiku. Seperti suara gumpalan lendir yang menetes atau mirip itu lah.
Persetan dengan apa pun itu, aku tidak berani menoleh selain kepada pintu kamarku.
Kuraih pintu kamarku.
Terbuka!
Aku segera melompat dan menutup pintu kamarku dengan sedikit kudobrak. Ibuku terbangun kaget.
Aku hanya menjawab dari toilet dan kembali tidur, meminta maaf karena telah membangunkan beliau dan menyarankannya agar kembali tidur. Suara menyeramkan yang mengikutiku lenyap.
Lagi, malam itu aku kembali terbangun, terduduk. Kini dengan pemandangan pintu kamar yang terbuka lebar.
Beriringan dengan itu, terdengar suara anak kecil tertawa riang berlarian di koridor. Suara tawanya melengking dan menggema. Aku tahu itu bukan manusia.
Dan benar, kulihat beberapa anak kecil itu berlarian melewati depan pintu kamarku, yang sudah dapat kutebak bukan manusia. Apa pun itu hanya hitam legam berbentuk seperti anak manusia, meninggalkan jejak kaki hitam di lantai yang mereka injak.
Mereka kemudian berhenti berlari dan menatap dengan cepat ke arahku dengan mata merah mereka yang menyala, membuatku langsung terbaring kembali dalam sekejap dan menutup mataku bersimbah keringat dingin.
Namun aku sulit tidur tersiksa rasa takut. Aku hanya menunggu hingga rasa tenang hinggap dan menurunkan degup jantung.
Selang beberapa lama, semuanya hening, aku kembali membuka mataku perlahan.
Makhluk sialan itu di depan wajahku sekarang! Mata merahnya yang keluar dari tengkorak hitamnya yang kecil itu kini berada beberapa sentimeter saja dari mataku.
Sontak aku berteriak sekuat tenaga.
Mataku terbelalak lebar, bersambut sinar mentari dari jendela.
Ibuku bertanya ada apa, yang ternyata beliau sudah berkemas untuk kami pulang.
Oh untunglah hanya mimpi buruk. Aku langsung lega meskipun aku dapat merasakan kasur ini basah karena keringatku.
Saat kami melakukan pembayaran di kasir dan kami pulang, aku sempat menoleh ke arah rumah sakit itu. Terlihat rumah sakit normal seperti rumah sakit lain. Mungkin seluruh kejadian semalam itu hanya mimpi.
Kami pulang dan aku kembali berjumpa dengan kasurku yang empuk. Aku langsung merebahkan diri.
Ibuku menyarankanku untuk mencuci kaki namun aku sudah terlalu lelah jadi tidak menggubrisnya dahulu. Tak terasa aku tertidur.
Puas dari tidur siang, aku terbangun segar. Di atasku kini ada sebuah lampu.
Cahayanya kebiru-biruan.
Aku terduduk seketika. Sekelilingku gelap, kulihat di sepraiku ada beberapa jejak kaki hitam kecil.
Kasurku mulai bergerak-gerak sendiri, mengeluarkan suara kriet-kriet, aku masih kebingungan dengan apa yang terjadi. Aku berusaha membangunkan diriku, kuharap ini hanya mimpi.
Tidak berhasil.
Sesaat kemudian sayup-sayup terdengar sebuah suara gumaman yang sepertinya pernah kudengar, mendekatiku entah darimana asalnya.
Aku tiba-tiba langsung tersadar, berteriak…
“IIIBBUUUUUUUUU!!!!!!”
Menegangkan…
seram cok gila gila