Tim SAR
urban legend by: anandastoon
“Seekor kucing peliharaan telah hilang, lagi!”
Bapak kepala tim pencarian menjelaskan laporan warga kepada kami.
Beberapa minggu ini, kota tempat kami tinggal tiba-tiba bermunculan kasus hilangnya hewan peliharaan dari para warga sekitar.
Aku, bersama tim pencarian memecah rute masing-masing hingga ke pinggiran kota, termasuk ke dalam hutan yang begitu lebat hingga cahaya mentari hampir-hampir tidak dapat menerobosnya.
Gelapnya hutan cukup membuat kami agak gentar, apalagi kami khawatir karena tempat seperti ini jarang kami jamah. Risiko jurang, lubang, hingga binatang buas lumayan menghantui kami.
Ketika kami sudah hampir tidak bisa melihat apa-apa lagi, itu pertanda hari mulai gelap. Kami memutuskan pulang ke kantor.
Setibanya di kantor, semuanya menggeleng. Pencarian akan kembali dilakukan esok hari.
Ini merupakan kasus ke-empat hilangnya hewan peliharaan secara misterius di daerah kami.
Rekan kerjaku sudah mulai pulang ke rumah mereka masing-masing, meninggalkan aku yang sedang terbujur di kantor, sendirian, kelelahan.
Suara gemerisik daun pohon di samping jendela kantor sempat mengagetkanku malam itu. Suara yang sempat membuatku trauma, ku tatap sebuah pohon mengerikan di samping jendela dengan latar langit yang sudah begitu gelap.
Sebuah kilas balik muncul. Menyeretku ke masa kami baru saja menikah, tepatnya saat aku mengajak istriku berbulan madu dengan mengendarai mobil.
Ketika aku sadar, langit sudah begitu mendung dan kami berkendara di jalan yang membelah hutan.
CTERRR!!! Sebuah kilat menyambar sebuah pohon di depanku, merobohkan dahannya.
Mobil kami tertimpa dahan yang patah hingga ringsek.
Istriku meninggal dunia di tempat kejadian seketika.
Karena itulah, aku depresi selama berbulan-bulan, sulit menerima kepergian wanita yang paling kucintai.
Dari sana, untuk mengurangi rasa sedihku, aku bergabung menjadi tim penyelamat, atau tim SAR. Semoga bisa mengalihkanku dari peristiwa traumatik itu.
Pohon di depan jendela kantorku bergoyang kembali, terlihat bulan sabit kemerah-merahan di antara dedaunannya, seakan menyuruhku untuk segera pulang. Aku membereskan barangku dari kantor dan bergegas pulang.
Kasus hewan peliharaan tersebut hingga kini masih belum bisa terusut tuntas.
Beberapa hari kemudian, bapak kepala tim mengundang kami ke ruangannya, sebuah pertemuan mendadak digelar.
“Kali ini, seorang anak perempuan warga yang hilang…” desah si bapak kepala.
Aku melihat, rekan-rekanku di sekeliling seperti tampak putus asa karena kasus hilangnya hewan peliharaan kemarin pun tak kunjung selesai. Kini, ditambah dengan hilangnya anak manusia.
Apakah eksplorasi pencarian kami kurang jauh? Kami menatap satu sama lain. Tak kusangka akan seberat ini tugas tim SAR. Aku turut menyemangati mereka, saling memberikan pengertian seolah-olah yang hilang adalah anak mereka sendiri.
Pencarian kembali dilakukan hari itu, yang mana hasilnya masih tetap nihil. Namun tim terlihat tidak patah semangat dan tetap bertekad untuk meneruskan pencarian esok hari.
Sementara aku, yang sudah sangat kelelahan tiba di rumah dengan begitu payahnya. Belum lagi hidup di kesendirian ini ternyata membuatku lumayan kesepian.
Aku masih rindu istriku… aku rindu teman mengobrol… kerjaan ini sangat melelahkan.
Kemudian aku perlahan bangkit dari kursiku dengan pinggul yang begitu pegal.
Perlahan, aku berjalan ke sebuah dinding di salah satu sudut rumahku, kudorong hingga terbuka. Ada sebuah ruangan temaram di dalamnya.
Di sanalah aku dapat meluapkan kerinduanku kepada sang mendiang istriku, mengobrol dan berbincang sesuka hati. Ya, aku bisa bertahan dengan lelahnya pekerjaan ini.
Sayangnya, pertemuan dengan mendiang istriku ini tidak gratis, perlu ada pengorbanan dari sesuatu yang hidup.
Puas mengobrol, aku berikan sebuah karung hitam kepadanya dan tangan-tangannya langsung berubah menjadi banyak seperti akar pohon, menyergap karung itu, sembari mengeluarkanku dari ruangannya.
Dinding kembali tertutup sempurna.