Harapan Allah

Setiap akan memasuki bulan Ramadan, kita pastinya familiar dengan ayat alQuran pada surat alBaqarah yang berhubungan dengan wajibnya ibadah puasa.

Bahkan banyak dari kita yang hafal ayat tersebut.

Ada sesuatu yang menarik pada ayat tentang wajibnya puasa itu, terutama pada bagian akhirnya, “la’allakum tattaquun.”

Di sana tertera lafal “La’alla (لَعَلَّ)” yang maknanya seperti melayangkan sebuah harapan.

Dalam konteks ini, “La’allakum tattaqun” bisa kita artikan dengan “mudah-mudahan (dengan ibadah puasa itu) kalian bertakwa”.

Jadi bukan dengan puasa itu kita “pasti” menjadi orang bertakwa, melainkan “harapannya” kita menjadi orang yang bertakwa. Sebab tentu saja, predikat orang yang bertakwa insyaAllah bisa kita raih apabila kita menjalankan ibadah puasa dengan benar.

Ada beberapa ayat alQuran lainnya yang memuat kata “La’alla”.

Bicara tentang berharap, banyak sekali anjuran bagi para manusia, khususnya kaum muslim itu sendiri agar terus melakukan pengharapan, terutama kepada Tuhannya sendiri.

Harapan itu sendiri memiliki kekuatan yang luar biasa bagi kesehatan mental.


The power of hope

Berputus asa adalah sebuah perbuatan yang mendapatkan cap negatif dan seharusnya kita hindari. Putus asa itu sendiri bermakna kehilangan harapan.

Seorang manusia rawan terjangkit rasa putus asa saat berhadapan dengan ketidakpastian (uncertainty) di tengah kegelapan yang ia sedang alami.

Misalnya, saat seseorang terkena depresi, ia tidak akan bisa melihat cahaya yang akan datang dari masa depan, belum lagi diperparah dengan orang-orang terdekatnya yang tidak dapat menjadi media untuk mengurangi rasa sesaknya akibat depresi.

Satu-satunya yang bisa membantu seseorang di tengah amukan gejala depresinya adalah dengan berharap.

Harapan ibarat sebuah cahaya yang menjaga seseorang di tengah gelapnya episode kehidupannya.

Apabila kemampuan berharap kita telah musnah, maka perasaan putus asa akan menghampiri diri kita.

Keputusasaan itu sendiri adalah sebuah tanda gagalnya kita mengarungi ujian hidup.

Dampak paling “ringan” dari putus asa adalah bunuh diri. Mengapa paling ringan? Padahal bukankah bunuh diri dosanya termasuk sangat besar dan akan mendapatkan siksa di neraka berdasarkan proses bunuh dirinya?

Kita sedang berbicara masalah sosial. Saat seseorang bunuh diri, maka mudaratnya hanya ia sendiri yang menanggungnya.

Putus asa dalam dampak yang besar akan merusak tatanan sosial dan tidak jarang akan menimbulkan kekacauan.

Orang yang sudah berputus asa namun ia lebih memilih untuk tetap hidup, hatinya akan begitu keras sebab trauma yang ia alami semasa depresi tak pernah mendapatkan perhatian dari dirinya dan sekelilingnya.

Karena hati seseorang telah menjadi keras, ia menanggap orang lain harus mengikuti dirinya atau harus mengalami penderitaan yang setara dengannya. Ini sangat mengerikan.

Bukankah kita sering melihat film-film yang mengisahkan para penjahat (villain) lahir dari orang-orang yang memiliki masa lalu yang begitu kelam?

Bahkan karena begitu kerasnya hati seseorang akibat luka yang telah terlalu dalam dan membeku, ia hampir tidak bisa lagi menerima hal-hal yang baik dan kebanyakannya akan berakhir mengenaskan. Masyarakat pun pada akhirnya sudah tidak bisa lagi menaruh rasa iba akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh orang-orang seperti itu.

Jika kita perhatikan, hal seperti ini banyak terjadi di tengah masyarakat kita, terutama dari orang-orang menengah ke bawah.


Melatih rasa peka

Sayangnya, masih sangat banyak orang yang abai dengan kondisi kesehatan mental bahkan banyak yang dengan tega menganggap bahwa depresi adalah bentuk dari sebuah azab.

Orang yang menyamakan depresi dengan azab atau kurangnya rasa syukur, menarik untuk kita pelajari mengapa bisa ia utarakan hal demikian itu. Apakah karena ia belum pernah merasakan depresi? Atau itu adalah produk nyata dari sebuah keputusasaan?

Di sinilah perlu adanya orang yang menjadi media penyalur dengan harapan orang yang depresi bisa mendapatkan sebuah titik terang. Inilah mengapa profesi seperti psikolog begitu diperlukan.

Padahal menanamkan harapan kepada seseorang yang membutuhkannya memiliki keutamaan yang tidak main-main.

Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya.
HR. Thabrani

Bahkan Allah Ta’ala, Dia sendiri “menawarkan” untuk menjadi tempat berharap para makhluknya yang sedang dilanda ketidakpastian.

Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
QS. Al-Ikhlas: 2

Begitulah dahsyatnya kekuatan harapan karena sangat berkaitan dengan kehidupan yang baik dari seseorang.

Jangan sampai saat segolongan masyarakat sudah kehilangan harapan akan masa depan bangsa mereka atau antar sesamanya, mereka jadi mudah mengganggu satu sama lain hingga terjadi pertumpahan darah.


Sebuah harapan Tuhan

Sekarang kembali ke judul artikel, yang mana sekarang justru Allah Ta’ala itu sendiri yang melayangkan sebuah harapan, namun harapan tersebut tidak pernah terjadi.

Bukankah itu sangat kontradiktif karena Allah Ta’ala Mahakuasa atas segala sesuatu? Mengapa justru harapanNya sendiri yang tidak terjadi? Memang apa harapanNya?

Tertuang dalam ayat berikut,

Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.
QS. Thaha: 44

Ini terjadi saat Nabi Musa a.s dan Nabi Harun a.s mendapatkan perintah untuk mendakwahi Firaun dengan lemah lembut. Harapan ini dilayangkan oleh Allah Ta’ala sendiri barangkali Firaun bisa mendapatkan hidayah.

Sayangnya harapan Allah itu tidak kunjung terjadi, bahkan Firaun justru tewas tenggelam di dalam kubangan azab.

Apa hikmah yang dapat kita petik di sini?

Tentu saja ini masih dalam radar skenarionya Allah Ta’ala, yang mana di dunia ini sunnahNya juga berlaku.

Ada sebab, ada akibat.

Kita lihat bagaimana paman Rasulullah saw, Abu Thalib yang senantiasa mendukung dakwah beliau justru meninggal dalam keadaan kafir, padahal Rasulullah saw berada di sampingnya?

Hikmahnya adalah agar kita terus berharap yang terbaik dan mengiringinya dengan usaha. Keduanya harus berjalan beriringan, tidak timpang satu dengan yang lainnya.

Mengenai hasilnya, itu adalah urusan nanti sebab itu adalah hal gaib. Namun harapan itulah yang tetap menuntun kita untuk mencapai hasil terbaik.

Dengan harapan, kita bisa menjadi optimis dan istiqamah, tidak meninggalkan hobi atau pekerjaan kita di pertengahan karena tiba-tiba kehilangan arah.

Manusia perlu mencapai kepada titik terbaiknya dengan memiliki progres atau kemajuan secara berkala. Motivasinya bisa mereka dapatkan lewat harapan dan angan-angan, serta berusaha mewujudkannya dengan kerja keras dan kerja cerdas.

Bahkan Rasulullah saw itu sendiri yang mendorong hal ini.

Jika kalian berangan-angan hendaknya kalian memperbanyak angan-angan karena kalian sebenarnya sedang memohon kepada Allah.
HR. Thabrani

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

Sssttt... Anandastoon punya journaling sebagai info di belakang layar blog ini.
Klik di mari untuk menuju halaman diarinya.

  • 0 Jejak Manis Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas