Apakah masih ada orang-orang yang benar-benar ikhlas lillahi ta’ala pada hari ini?
Saya ingat guru saya pernah berkata bahwa jika ada orang ikhlas yang menyebut-nyebut keikhlasannya, maka dia tidak ikhlas.
Siapa di sini yang pernah menggigit bangku Sekolah Dasar, pasti pernah belajar pada mata pelajaran PMP atau PPKn perihal “Rela Berkorban”. Perlu diketahui, rela berkorban ini bukanlah hal yang sangat mudah. Amat banyak orang seakan pengorbanannya luar biasa, namun di balik itu semua mereka menyimpan rasa pamrih.
Maka pertanyaannya adalah, apakah hari ini ada orang yang benar-benar ikhlas?
Orang tua saya pernah mengalami kecelakaan hebat sehingga tulang-tulang mereka banyak yang patah dan dibantu oleh sebuah puskesmas daerah. Supir ambulannya dengan sangat baik menunggu saya yang di luar daerahnya agar mengunjungi orang tua saya tersebut. Bahkan, hingga rujuk pun supir ambulan tersebut sangat setia menemani.
Luar biasa bukan pengorbanan sang supir ambulan tersebut? Saya tidak tahu bagaimana saya berterima kasih kepadanya. Perlu diketahui kakak dan adik saya tidak bisa hadir pada saat itu karena lokasi yang sangat jauh dan diperkirakan hari-hari berikutnya baru dapat menemani orang tua saya yang akan dioperasi itu.
Kebetulan karena saya anak laki-laki satu-satunya dan memang sendirian saja yang dapat hadir menemani orang tua saya, dibuatlah saya repot mengenai pemindahan raga orang tua saya untuk dilakukan ronsen dan juga saya dikenakan beban untuk mengurus semua administrasi, menghubungi banyak handai tolan, serta mondar-mandir ke apotek.
Di tengah-tengah kesibukan saya yang super parah itu hingga belum sempat makan dan minum selama hampir 6 jam, tiba-tiba saya dipanggil oleh supir ambulan yang telah berkorban luar biasa tersebut. Kemudian kami berdiskusi, dan secara tiba-tiba dia meminta uang kepada saya sebesar 1,5 juta.
Saya agak menolak karena setahu saya itu sudah ditanggung pemerintah via BPJS/KIS. Ternyata dia berkata bahwa puskesmasnya tidak bekerja sama dengan itu, serta meminta uang tersebut dibayarkan sekarang juga.
Saya berargumen bahwa saya tidak memiliki uang di dompet dan harus ke ATM. Dia tidak mau tahu. Saya meminta kebijakan lain, dia bilang dia sudah memberikan banyak kebijakan. Hingga akhirnya dia bilang begini,
“Saya menyesal membantu bapak.”
Saya beristighfar dengan segera. Ternyata memang tidak ada keikhlasan sedari tadi membantu orang tua saya. Padahal saya berkata tidak dengan nada yang kasar serta masih menggoreskan senyuman. Saya bahkan berkata, bahwa perkataannya itu dapat membatalkan pahala berkorbannya, dan dengan enteng dia katakan, “Tidak mengapa.”
Alhamdulillah teman bapak saya ada yang menjabat di DPR, jadi akan menindaklanjuti oknum nakal yang tidak mau terkoneksi dengan BPJS, ditambah lagi, saya masih punya bukti kwitansi yang seakan dibuat-buat. Semoga orang-orang seperti itu ditindak karena perbuatan baiknya dengan mudahnya ia batalkan begitu saja.
Hanya saja saya tidak habis pikir, banyak orang yang terlihat tulus, bahkan sangat tulus, ternyata masih saja dapat dengan mudah menghancurkan tembok ketulusan mereka dengan sekali pukul, tanpa ada basa-basi. Kasus di atas tidak terjadi di ibukota, melainkan di daerah luar ibukota. Bagaimana pemimpin kita ingin memimpin kita dengan ikhlas sementara tingkat keihklasan kita masih jauh di bawah rendah?
-ooooo-
Esoknya, karena orang tua saya harus kembali dirujuk dan pelayanan rumah sakit dapat dikatakan kurang profesional, akhirnya saya menyarankan kepada keluarga dari pihak bapak saya untuk memesan ambulan dari luar. Jadilah ditolong tanpa menggunakan ambulan dari rumah sakit hingga sampai rumah sakit rujukan.
Setelah itu, tentu saja pihak ambulan meminta sejumlah uang. Saya katakan berapa, dia justru katakan “seikhlasnya saja”.
Mendengar hal itu, saya agak naik pitam. Sedikit tinggi lah nada bicara saya, namun senyuman saya masih saya jaga.
“Jangan katakan ‘seikhlasnya’, memang mau kau saya bayar Rp10.000,-?!”
Pihak ambulan menggeleng sambil tersenyum kecut. Saya melanjutkan,
“Patoklah harga agar ada kesepakatan.”
Dia akhirnya mematok harga Rp350.000,-
Sembari mengeluarkan uang yang diinginkan oleh pihak ambulan, saya kembali berkata, “Nah, jika seperti itu kan enak. Terima kasih ya.”
Benar, fenomena ‘seikhlasnya’ sangat banyak sekali bertebaran di masyarakat kita yang masih belum mengerti manajemen. Banyak orang yang ingin sekali bayaran dengan berkata “seikhlasnya” namun diberi uang yang menurut kita ikhlas justru ia cemberut. Katanya seikhlasnya? Ya seikhlasnya memang hanya sebanyak itu.
Atau kita memiliki patokan minimum “seikhlasnya” tersendiri? Jika memang demikian, patoklah harga agar tidak membuat bingung seseorang. Mengapa membuat sesuatu menjadi mudah saja begitu sulit? Bukankah hidup kita ingin dipermudah orang lain juga? Mengapa tidak transparan dan jujur mengenai harga yang diinginkan dan justru berlindung dibalik istilah “seikhlasnya”? Seikhlasnya siapa memangnya? Yang memberi atau yang diberi?
Ini hal-hal yang sering miss di kalangan masyarakat awam. Orang yang sudah pengalaman atau setidaknya dapat berpikir akan menghindari istilah “seikhlasnya” karena tidak jujur dan tidak terbuka. Jika kita beralasan karena ada rasa tidak enak jika mematok harga, maka sebenarnya jauh lebih buruk jika kita tidak senang dengan pemberian seikhlasnya dari orang lain bahkan tanpa berterima kasih dan diiringi dengan senyuman manis. Lagipula, jika orang lain keberatan dengan patokan harga kita, maka negoisasi dapat dilakukan. Mengapa membuat sulit sesuatu yang tidak sulit?
Apakah stok orang-orang ikhlas, yang benar-benar ikhlas, tanpa menyebut pemberian lagi menyimpan kedongkolan atau pemberian mereka meski mereka dizhalimi orang yang telah mereka tolong?
Semenjak kejadian itu, saya introspeksi diri saya. Saya banyak meminjamkan uang saya kepada teman-teman saya, apakah saya sering menyebut-nyebut utang saya kepada teman-teman saya sehingga membuat mereka tidak nyaman? Setelah saya konfirmasi, saya rasa saya tidak pernah berbuat itu.
Mungkin memang Allah hanya ingin menunjukkan saja kepada saya bahwa orang-orang yang terlihat ikhlas, ternyata masih menyimpan ribuan kedok. Ternyata kita bukan termasuk orang-orang yang seperti itu.
—<(Wallaahu A’lam)>—