Kapan Punyanya

Ketika itu saya dan teman saya sedang melakukan rekreasi ke daerah Puncak, Bogor, di mana waktu itu kami sedang membahas mengenai kartu kredit. Kami berbincang masalah kaitan antara kredit dan riba, di mana kemudian teman saya menyanggah bahwa dosennya pernah berkata,

Kalo gak kredit kapan punyanya?

Saya sedikit tidak nyaman dengan perkataan tersebut. Ternyata memang bukan hanya satu atau dua orang saja, teman saya yang lain juga pernah melontarkan hal serupa, bahkan dengan ‘berani’nya ia akan ‘mendebat’ Allah nanti ketika hari pengadilan mengenai masalah bunga kredit.

Saya mungkin tidak akan bahas ini sepanjang artikel saya yang lain mengingat temanya terlalu spesifik.


  • Standar argumen dan penghasilan

Mungkin karena gaji dan upah standar minimum yang diterima oleh para pekerja bangsa ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan pangsa pasar barang-barang sekunder seperti elektronik dan otomotif, maka mereka dengan terpaksa atau semi-terpaksa melegalkan kredit dengan mengabaikan dosa yang berasal dari bunganya.

Saya pribadi agak kaget ketika melihat, para penerima zakat fitrah dan daging kurban ternyata memiliki kendaraan-kendaraan yang klimis meskipun hanya sepeda motor. Atau ketika saya lewat perkampungan di sebuah desa yang agak terpencil di mana dinding rumahnya masih terbuat dari batubata kasar, ternyata memiliki kendaraan roda dua yang agak sulit dihitung jari. Saya tidak tahu itu milik siapa saja.

Bahkan orang-orang yang termasuk kategori ‘miskin’ hari ini mungkin setidaknya memiliki satu kendaraan bermotor yang nominalnya di atas 3 juta.

Padahal, dahulu semiskin-miskinnya keluarga saya setelah kepergian almarhum ayah saya dan waktu itu saya belum bekerja, keluarga kami benar-benar sulit hanya untuk mencari sesuap nasi dan kami sama sekali tidak memiliki kendaraan bermotor, apapun.

Makanya saya ingin tahu, apa standar kemiskinan yang telah ditetapkan oleh BPS hari ini? Padahal yang terakhir saya baca, seseorang disebut miskin jika tidak memiliki harta yang bernilai Rp500.000. Jelas hal ini menjadi rancu mengingat saya pernah melihat rumah-rumah reyot di pinggir rel kereta yang di dalamnya ada sepeda motor besar (moge). Saya berpikir, apa kendaraannya justru lebih mahal dari rumahnya? Hehe…


  • Sekelumit contoh teraktual

Ada teman saya yang mengeluh gajinya kurang. Waktu itu karena dia masih lulusan SMA, gaji yang diterimanya masih belum memenuhi standar UMR. Saya bertanya kepadanya mengenai bagaimana pengelolaan uangnya setiap bulan. Barulah saya tahu setelah itu dia memiliki kredit sepeda motor yang membuat gajinya bahkan tidak dapat menutupi kebutuhannya selama sebulan.

Saya bertanya kepadanya, apa jenis sepeda motornya, Apakah matik atau gigi? Dia menjawab, “Kopling“. What! Saya bahkan langsung tidak dapat berbuat apa-apa mendengar jawabannya itu.

Hal senada diucapkan oleh seseorang yang waktu itu menjabat sebagai petugas pintu Transjakarta, yang selalu mengeluh gajinya kurang dan sepertinya dia menderita. Kami waktu itu berhubungan lewat jejaring sosial Facebook, yang kemudian saya penasaran bagaimana keadaan orangnya dan saya kunjungi profilnya.

Kalian tahu? Dia memasang foto profil yang memperlihatkan gaya dia dengan ‘moge’nya. Saya tebak cicilannya belum lunas, atau terserah.

Ketika saya tanya, mengapa langsung membeli sepeda motor kopling? Mengapa tidak yang matik dulu yang jauh lebih murah tanpa harus mengorbankan gaji sebulan dalam lima hari karena cicilan yang mencekik. Dia jawabnya, “Butuh, mas.”

Ya kalo butuh cari kendaraan yang harganya sesuai isi dompet dong! Emosi saya, maaf ya. Orang-orang pasti tidak akan percaya bahwa dibalik gayanya yang necis itu, ternyata dia adalah orang ‘susah’ yang hidupnya selalu dihiasi dengan keluhan yang tiada akhir.

Oh, ada lagi tetangga jauh saya yang kredit mobil menggunakan tabungan hajinya. Yang ini saya cukup beristighfar saya. Semoga kita dilindungi dari perihal mengambil tabungan haji kita baik sekarang atau nanti.


  • Legalisasi argumen

Dalih demi dalih terus keluar dari orang-orang yang kredit dengan menghancurkan isi dompet mereka sendiri. Dari mulai hak, kebutuhan, dan masa muda, serta dalih lainnya jika ada.

Terkadang orang-orang yang terlalu menyuarakan hak-hak mereka justru berakhir dengan menyusahkan orang lain. Mereka berlaku bak raja yang selalu menuntut kebutuhan nafsu mereka yang sepertinya tidak habis-habis. Ditambah, mereka sedikit pun tidak mau peduli apa itu dengan manajemen keuangan.

Kredit sana, kredit sini, demi pamor yang sebenarnya orang-orang tidak peduli dengan hal tersebut. Yang penting (nafsu) saya puas, begitu mungkin pikirnya.

Saya kenal orang yang tinggal di pedesaan, seorang pemecah batu yang upahnya antara 1,6 hingga 2 juta rupiah per bulan. Namun dia bilang, bahwa dia kredit sebuah sepeda motor matik, kredit sebuah sepeda motor gigi, dan pernah kredit sebuah sepeda motor kopling yang pada akhirnya yang kopling ditarik kembali karena tidak kuat bayar cicilannya.

Saya tanya pada orang tersebut, gaji sudah habis tanggal berapa? Dia jawab setiap tanggal lima gajinya sudah sirna semuanya. Dia bahkan mengeluhkan pembayaran pajak kendaraannya karena dibilang cukup mahal. Saya hanya tarik nafas yang begitu panjang.

Yang lain lagi, saya pernah punya customer yang memiliki usaha di bidang perbengkelan. Dia sendiri berkata kepada saya, bahwa banyak orang yang mengambil sepeda motor besar hanya untuk gaya-gayaan semata, yang kemudian ditarik lagi oleh pihak leasing atau kreditur.


  • Secuil fakta keras

Di sebuah kafe langganan saya nongkrong untuk nge-blog atau sekedar mengerjakan tugas kerja, pernah seseorang dari dealer mobil memberikan saya selebaran kredit mobil yang saya terima. Di sana terdapat daftar harga asli dan harga tenornya.

Iseng, saya buka kalkulator. Saya mengambil harga tenor termurah yakni tenor 60 bulan dan mulai mengalikan. Hasilnya sungguh luar biasa. Dari dua ratus juta harga asli mobil tersebut, dengan tenor 60 bulan uang yang harus dibayar justru memiliki total tiga ratus jutaan. Saya lupa berapa detailnya masing-masing, namun selisihnya ada di angka Rp147 juta.

Itulah ‘jahat’nya bunga kredit yang diistilahkan dengan riba dalam pandangan Islam.

Contoh lain adalah teman saya yang mencoba kredit laptop dengan harga 4 jutaan namun setelah dihitung-hitung cicilan per bulannya memiliki total hingga 11 juta. Rugi 7 juta teman saya yang pada akhirnya alhamdulillah (saya) batal(kan).

Seorang ustadz pernah saya tanya masalah hal ini, bahwa kelebihan uang cicilan itulah yang menyebabkan riba karena berbeda dari harga asli (di luar akad). Teman saya bahkan pernah bilang, “Jangan katakan Islammu kaffah jika masih melakukan kredit berbunga.”


  • Mengulik diri penulis

Alhamdulillah saya belum pernah terjerat kredit berbunga apapun. Dulu sempat ingin kredit laptop, namun entah kenapa semua jasa kredit sedang tidak bisa dihubungi ketika itu. Jadi terpaksa saya beli laptop mahal tersebut dengan cash. Tetapi hal ini entah mengapa membuat saya senang meski gaji sebulan saya benar-benar terkuras pada saat itu, ajaibnya saya tidak pernah merasakan penghasilan saya kurang meski dalam hitungan matematis, saya seharusnya sudah mengeluh tanggal sekian.

Jika ada yang bilang, “Tapi kan pastinya tabungan saya di kartu ATM pasti memiliki bunga meskipun bunga positif?”

Ya, benar, sesuai hadits,

Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya.
(HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari Abu Hurairah)

Tetapi dalam sanggahan ulama lainnya, bahwa debu ini insyaAllah dapat dibersihkan dan semoga Allah menilai usaha kita dalam menjauhi ribanya. Lagipula, saya tidak mengambil bunga tabugannya. Semoga kalkulasi saya tepat.

Alhamdulillah pula, apa yang saya inginkan yang harusnya saya dapatkan dari jalan kredit, tiba-tiba datang dengan sendirinya.

HP saya rusak waktu itu. Tidak rusak sebenarnya, hanya kaca layarnya retak dengan retakan yang mengganggu meskipun masih dapat saya gunakan dengan sempurna. Tiba-tiba di hari ulang tahun saya, teman saya memberi sebuah hadiah berupa HP Android keluaran terbaru pada saat itu.

Contoh lainnya? Laptop yang sekarang saya gunakan ini. Di mana laptop saya yang kemarin sudah sangat lusuh, rentan rusak, dan baterainya rusak sehingga kemana-mana saya harus cari colokan. Berharap pada Allah saya mendapatkan laptop yang lebih bagus, tiba-tiba teman saya memberi saya laptop gaming bagus, yang memang harganya sedang jatuh kepada saya secara cuma-cuma. Ram 16GB, Windows 10 original, Core-i7 dengan kekuatan 2.5 GHz di mana harga aslinya bisa mencapai 12 hingga 17 jutaan.

Bisa tanpa kredit? InsyaAllah bisa banget. Buktinya saya sudah ‘punya’ sekarang. Padahal, penghasilan saya sama seperti penghasilan kebanyakan kalian.

Tapi kan kamu beruntung punya teman-teman seperti itu.

Kata siapa? Kalian memang tidak ada teman yang begitu? Atau bahkan tidak ingin bergaul? Padahal jika kalian benar-benar punya keyakinan mantap, selalu rajin ibadah dan berdoa, menjadwalkan sedekah ‘rutin’, dan baik kepada orang lain, serta bertahan dengan sabarnya ujian dan terus melakukan kemajuan, insyaAllah dikasih apa yang kalian minta kok. Tuhan kalian Maha Kaya dan Maha Mengabulkan.


  • Penutup

Saya ingat betul seorang habib yang bermarga Alaydrus pernah berucap, “Dikasih (sama Allah) sebenarnya, sayang sabarnya Allah kelamaan.” dengan bahasa guyon beliau.

Kini saya yang belum punya adalah kendaraan dan rumah sendiri. Saya tetap berusaha menjauhi kredit berbunga meski saya iri kepada orang-orang yang dengan kendaraan pribadinya hilir mudik kesana-kemari. Saya? Alhamdulillah ada Transjakarta yang kemana-mana hanya 3.500 hehe…

Oh, mungkin hikmahnya adalah sebuah konten jalan-jalan yang sering saya lakukan dengan angkot. Dengan harapan orang-orang yang ingin berwisata tanpa ingin membawa kendaraan pribadinya, atau tidak punya, atau bahkan tidak dapat mengendarainya dapat terbantu dengan postingan-postingan jalan-jalan dengan angkot saya. Di sidebar ada tag “wisata dengan angkot“, silakan diklik.

Jika rasa sabar akan penantian kepemilikan kendaraan pribadi merupakan tantangan dari Allah untuk saya, saya katakan, “Ya Allah, challenge insyaAllah accepted!” Hehe…

Bisa kok, “punya” tanpa kredit berbunga…


—<(Wallaahu A’lam Bishshawaab)>—

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Kripikpasta 27 : Acara Radio Malam

    Berikutnya
    50 Status Facebook Saya Untuk Teman-Teman Saya


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas