“No Gadget, No Life”
Begitulah kira-kira ungkapan yang dapat mendeskripsikan kehidupan manusia modern hari ini.
Sifat adiktif akan gadget-gadget seperti smartphone, tablet, laptop, atau produk digital lainnya telah dimiliki hampir setiap masyarakat di era sekarang. Bahkan sifat adiktif itu telah dirasa lebih menyeramkan daripada sekedar kecanduan rokok atau bahkan narkoba.
Di jalan, restoran, kantor, bus, bahkan setiap langkah kita pun dihiasi dengan pancaran sinar-sinar menarik dari layar elektronik yang seharusnya membuat kita lebih produktif karena banyaknya tugas yang sebenarnya dapat diselesaikan lebih cepat karena kehidupan produk-produk digital tersebut.
Tapi nyatanya, sepertinya semuanya itu telah membuat kita semakin malas. Bahkan tidak sedikit dari kita yang sewaktu baru bangun tidur, yang pertama kali dicari adalah ponsel ‘pintar’ kita. Begitu pula ketika kita mau tidur, yang sebagian dari kita merasa sulit untuk mematikan ponsel untuk segera terpejam.
Geser sana-sini di depan layar, bahkan kadang kita sendiri tidak tahu apa yang kita lakukan pada saat itu. Tiba-tiba kita tersadar bahwa waktu sudah bergulir jauh dari yang kita duga. Sama, saya pun terkadang, atau mungkin sering demikian. Saya bahkan telah membuat artikel khusus yang membahas masalah hal ini.
Maka dari itu, saya berniat diet gadget.
Berikut tantangan yang telah saya buat dan harus saya jalankan sebagai bentuk dari pelawanan atas masifnya kecanduan saya akan gadget.
Tapi sebentar, saya mau cek notifikasi Facebook dulu. Eh, saya lupa belum cek Instagram saya dari 10 menit yang lalu, kemudian email saya mungkin ada pesan penawaran baru, setelah itu… saya main Candy Crush ~
Kidding, berikut yang harus saya lakukan selama puasa gadget:
Baiklah, saya ‘off’ melihat notifikasi dari setiap akun jejaring sosial saya. Facebook, Twitter, dan sebagainya. Tapi saya harus bagaimana? Karena yang namanya ‘godaan’ dari para gadget menyeramkan itu benar-benar susah untuk dilepas. Lihat? Layar hitamnya begitu menggoda!
Baiklah, saya mengobrol dengan tetangga indekos saya, jika ada. Atau jalan-jalan? Jika ingin. Atau menulis? Jika punya ide. Bahkan untuk meraih Al-Qur’an pun saya sudah lebih sering lewat HP, Al-Qur’an dalam bentuk buku hanya dibaca setelah selesai shalat wajib.
Ya, jadi bagaimana? Akhirnya saya meraih ponsel saya lagi dan kembali asyik blablabla.
Gagal.
Ternyata cara saya kurang tepat. Saya harus benar-benar menjadwalkan kapan saya harus lepas dari jejaring sosial saya. Benar, saya membuat jadwal khusus untuk mengecek email dan jejaring sosial, membuat postingan, serta berinteraksi dengan orang-orang di dunia maya. Tak lupa saya memberitahu mereka kapan saja saya bisa online, terutama kepada teman-teman saya di luar negeri.
Syukur jika kalian bukan pemain game-game digital. Saya, adalah termasuk pemain game akut, meski hanya Candy Crush. Beruntung, permainan tersebut memiliki batas nyawa sebesar lima buah dan baru dapat terisi kembali satu buah setelah 30 menit.
Namun, tetap saja, saya patuh pada jadwal. Saya hanya memainkan permainan ketika memang waktu saya sudah saya jadwalkan untuk itu. Tidak lama, mungkin hanya sekitar satu jam atau lebih, di mana saya tidak melanggar jadwal-jadwal saya yang lain.
Saya tidak memainkan game di kendaraan umum, di fasilitas publik, di kantor (kecuali jika menunggu), sedang berkumpul, di masjid, apalagi jika sedang berjalan.
Transfer sekian tinggal lep! Eh, tinggal klik! Bahagia banget ya hidup daku.
Saya semakin enggan untuk berjalan kaki menuju ATM terdekat untuk transfer uang. Memang melalui internet banking, segala sesuatunya menjadi lebih mudah dan berpotensi mendapatkan bonus lebih. Inilah yang membuat saya sangat sulit berjalan ke ATM terdekat yang nyatanya kanan-kirinya penuh polusi, kebisingan, dan lain sebagainya.
Sampai saat ini, saya masih mengandalkan internet banking. Tetapi bisakah saya belajar untuk menyusun target berjalan setiap harinya dan berjalan ke ATM meski hanya untuk mengecek saldo saya demi mencapai target berjalan harian saya?
Ingin kesana-kemari hari ini sudah sangat, sangat mudah. Saya hanya menyentuh beberapa tombol dan beberapa saat kemudian datanglah seseorang beserta kendaraannya seakan dikirim dari surga demi mempermudah mobilitas saya.
Ayolah, naik bus lebih murah! Tetapi jawaban saya adalah tidak, karena faktor kenyamanan dan kecepatan masih lebih dominan dimiliki oleh transportasi online.
Oke, fine! Bagaimana jika saya memilih-milih kendaraan umum? Saya hanya mencari alternatif non-online yang lebih nyaman jika ada? Ya, boleh juga. Hitung-hitung saya menjadi lebih sehat berjalan dan memang saya terlihat lebih ‘kurus’ setelah banyak berjalan ke halte atau stasiun terdekat.
Saya kembali mengatur waktu dan berandai-andai memiliki keunggulan finansial atau keuangan jika saya menggunakan angkutan umum. Oke, yang ini lumayan berhasil.
Tidak apa, saya pun kadang memesan tiket kereta via gadget. Tapi bukan itu yang ingin saya sorot. Saya benar-benar tidak menggunakan gadget ketika bepergian selain dari mengecek rute dan memeriksa notifikasi. Saya habiskan waktu saya untuk melihat yang hijau-hijau. Cat hijau, bus hijau, rok-rok hijau, eh… Tentu saja hijau di sini adalah pemandangan.
Saya mendengarkan musik yang bertemakan nuansa alam atau yang slow. Atau bahkan saya menonaktifkan HP saya sama sekali demi mendapatkan nuansa nyata alam yang saya kunjungi. Saya jarang berfoto jika tidak perlu, sehingga baterai gadget saya hemat dan tidak perlu mengeluarkan powerbank sering-sering.
Di bus atau kereta, saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku yang saya beli di toko buku. E-book hanya saya baca ketika menunggu, saya hanya ingin wajah saya terpapar sinar mentari pagi, dan berusaha untuk terlindung dari sinar UV-A dan UV-B… *nggaknyambung
Saya memiliki waktu untuk menggeser gadget saya sebenar dan kembali ke zaman primitif, yaitu menulis tangan. Semenjak terlalu sering pakai keyboard, saya merasa kualitas tulisan tangan saya semakin turun. Mungkin bisa dibilang sudah terjun ke tahap ‘tulisan dokter’ sepertinya.
Saya membeli ‘drawing pen’ di toko-toko ATK dan mulai menumbuhkan semangat menulis saya di mana dahulu tulisan saya pernah berada di atas langit.
Berapa banyak kemampuan teknis berkurang hanya karena kurang dilatih? Saya pun memanfaatkan sisa waktu saya untuk berolahraga. Terbukti, saya yang dulu biasanya sakit setiap dua bulan sekali, sekarang dua tahun sekali hehe… Alhamdulillah.
Sisanya? Saya berkreasi menyusun kamar saya agar terlihat indah. Caranya? Saya buka Google via gadget saya, browsing inspirasi-inspirasi penataan kamar tidur yang cantik dan ideal serta saya cocokkan dengan jadwal bersih-bersih saya.
Ibu, saksikanlah, anakmu yang super jorok ini juga bisa menyulap kamar yang sudah seperti tempat pembuangan sampah menjadi seperti kamar eksklusif di sebuah hotel bintang dua belas!
Rumahku surgaku, eh kamar kosku surgaku itu salah satu faktor yang menjadikannya demikian adalah kebersihan dan keindahannya bukan?
Saya benar-benar mengharamkan menyentuh gadget ketika di masjid, terkhusus ketika sedang mendengarkan khutbah shalat Jumat dan setelah shalat fardhu. Saya bahkan benar-benar memperbanyak shalat, atau rakaat shalat sunnah saya demi membuktikan bahwa cinta saya kepada Tuhan saya lebih dari apapun selainNya. (ciyyee, insyaAllah deh)
Bahkan di masjid saya tidak membuka Al-Qur’an dari HaPe, melainkan benar-benar mengambil mushafnya dari rak masjid. Seperti yang telah saya sebutkan, saya hanya membuka Al-Qur’an dari gadget hanya ketika mengisi waktu luang yang benar-benar telah saya jadwalkan dengan gadget saya.
Saya benar-benar telah banyak menghemat uang secara tidak langsung, belajar tidak boros listrik untuk charge sana charge sini, dan gadget saya pun ‘sehat’ karena tidak terlalu penuh dengan aplikasi-aplikasi yang saya tidak benar-benar butuh.
Waktu saya pun lebih banyak terpakai dengan hal-hal yang positif lagi produktif sehingga saya tidak begitu memikirkan masalah-masalah pribadi saya karena saya merasa lebih bahagia begitu mengetahui pekerjaan saya banyak yang selesai.
Saya pun lebih banyak bersosialisasi dengan sekitar, menimba banyak ilmu dan pengalaman yang lebih puas serta tidak terkendala dengan jumlah karakter karena saya bertemu banyak orang secara langsung. Tanpa ada ambigu, dan dapat bertanya secara jelas tepat di depan wajah lawan bicara saya.
Oh, listrik saya mungkin yang paling hemat, hehe…
Bagaimana dengan kalian? 🙂