Akhir-akhir ini bisnis-bisnis yang menggandeng istilah agama sepertinya semakin gencar dilakukan oleh para pelaku bisnis. Pandangan mereka terhadap agama tidaklah sesempit dahulu, bahkan menjadi ajang untuk menarik simpati para pelanggannya. Bagi yang muslim, berapa banyak bisnis yang memiliki embel-embel syar’i atau syariah sebagai jargon usaha mereka?
Namun untuk setiap pengusaha muslim yang ‘berani’ memiliki label syari di dalam lingkup bisnisnya, diharapkan untuk benar-benar menerapkan syariat dalam seluruh aspek bisnis. Masalahnya tidak main-main, karena ini juga berkaitan dengan persepsi masyarakat, terkhusus non muslim terhadap model bisnis yang ‘relijius’ ini.
Benar, pelaku bisnis syari ini harus memiliki komitmen yang mantap untuk menjaga nama baik agama di hadapan seluruh pelanggan atau calon pelanggan. Jadi bisnis syari tidak semata-mata hanya diperuntukkan sebagai ajang marketing bagi setiap pengusaha.
Sangat tidak lucu jika ada pengusaha, saya ambil contoh, seorang pemilik hotel syari yang fitur syariahnya hanya tidak mengizinkan laki-laki dan perempuan non-mahram untuk menginap bersama, namun di satu sisi justru hotel syari tersebut memiliki kualitas pelayanan yang buruk, customer serviceΒ yang tidak ramah, tidak memiliki standar, fasilitas tidak lengkap, tidak dapat berkompetisi dengan hotel lainnya, dan lain sebagainya.
Dikhawatirkan, hal itu dapat mengubah persepsi beberapa masyarakat tentang bisnis syari hanya karena dijalankan oleh para amatir. Beberapa dari para pelanggan yang mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan di bisnis syari tersebut bisa jadi akan mempertanyakan apakah di Islam tidak diajarkan untuk melayani pelanggan yang baik, atau tidak gharar (melakukan penipuan seperti memberikan harga yang lebih tinggi saat pembayaran dan tidak sesuai dengan perjanjian/markup), atau sebab lainnya.
Para pebisnis syari tersebut dikhawatirkan telah memenuhi syarat sebagai orang yang ‘menistakan’ agama karena turut menjadikan beberapa orang dalam memberikan persepsi miring kepada model bisnis syari, apalagi hingga mereka pada akhirnya lebih memilih yang konvensional di atas yang syariah karena dirasa lebih nyaman dan lebih dipercaya.
Maka dari itu, para pengusaha sebelum menggunakan label syariah di dalam merk bisnisnya, mereka seharusnya atau bahkan diwajibkan untuk mempelajari bagaimana cara membangun bisnis yang syari, benar-benar menerapkan perintah agama dari awal hingga akhirnya, membaca literatur-literatur tentang bisnis syari dan mengaplikasikannya secara menyeluruh.
Jika seorang pebisnis benar-benar menerapkan syariat agama secara totalitas di segala aspek dalam bisnisnya, bukan hanya akan menjaring banyak pelanggan, namun juga berpartisipasi dalam mengharumkan agamanya, terkhusus di hadapan mereka yang non muslim.