“Kamu orang IT ya? Bisa hack Facebook saya nggak?”
Berapa kali saya mendengar orang-orang meminta tolong saya untuk mengembalikan kembali akun mereka yang tidak dapat mereka buka karena kesalahan mereka sendiri tidak menjaga baik-baik password mereka.
Bahkan saya agak terganggu ketika orang-orang yang tidak paham dengan entengnya menyuruh saya untuk melakukan peretasan atau hacking akun media sosial mereka.
Saya sebagai programer sangat tidak senang jika disamakan dengan hacker.
Perlu diketahui, meski hacker mungkin adalah bagian dari programer, namun sebagian besar programer tidak menyukai jika dirinya disamakan dengan hacker. Mengapa?
Meretas atau hacking, berarti menjebol. Dan tidak ada yang suka jika rumahnya dijebol tanpa izin.
Begitu pun dengan penyedia akun seperti media sosial. Para pengembang pastinya sudah memasang link “Lupa Password” yang dapat kita klik dan kita lakukan proses pengaturan ulang password kita. Itu adalah jalur “halal” untuk ‘menjebol’ akun kita. Mengapa kita masih ingin memakai jasa hacker untuk itu?
Bahkan sebagian besar hacker dapat disebut dengan “maling”. Siapa programer baik-baik yang ingin disebut sebagai “maling”? Maka dari itu sebutan hacker kepada programer agak merendahkan mereka.
Banyak hacker yang menggasak uang dan merugikan para layanan pengembang. Tentu saja programer baik-baik tidak ingin disejajarkan dengan orang-orang yang seperti itu.
Apalagi jika ada orang yang menganggap bahwa para hacker perlu dibina dan dipekerjakan. Itu anggapan yang mungkin agak, atau cukup keliru. Mengapa harus mempekerjakan satu atau dua hacker sedangkan banyak orang IT baik-baik bertebaran di luar sana?
Dan lagi pertanyaannya, perusahaan mana yang ingin mengambil resiko mempekerjakan “maling”?
Mungkin ada satu atau dua perusahaan yang bersedia merekrut hacker jika mereka memiliki fitur ‘rehab’ untuk para hacker demi meluruskan perilakunya, namun sisanya? Resikonya sangat besar sebab ini berkaitan erat dengan watak, bukan skill.
Tidak ingin ada perusahaan yang ingin secara tiba-tiba pada suatu waktu layanannya terkunci dan si hacker tersebut mengambil alih aset kritikal perusahaan tempat ia bekerja.
Adapun lawan dari para hacker ini adalah para petugas sekuriti IT. Staff keamanan IT inilah yang ditugaskan untuk melawan para hacker, dan tidak jarang disebut dengan “ethical hacker” atau hacker yang beretika.
Beberapa perusahaan bahkan ada yang memasang sayembara untuk para ethical hacker tersebut untuk menjebol sistem mereka dengan perjanjian-perjanjian. Uang yang dikeluarkan puluhan juta bagi yang berhasil tidaklah sebanding dengan resiko data bocor yang dapat dituntut milyaran karena ulah hacker.
Jadi, bagi yang tidak paham biarlah terjadi, setelah itu mohon agar tidak menganggap programer memiliki skill untuk meretas atau hacking akun sosial media. Mereka tidak senang dengan itu dan tidak pernah belajar untuk itu.