Tadinya judul artikel ini adalah “5 Hikmah Tidak Dapat Mengendarai Kendaraan Bermotor”. Namun karena terlalu panjang (dan mungkin terlalu formal), saya singkat menjadi “tidak dapat naik motor”.
Ini menyangkut kendaraan bermotor apa pun pada umumnya, baik sepeda motor atau mobil pribadi.
Saya sendiri baru dapat mengendarai sepeda motor pada usia 25, dan saya dokumentasikan di sini, sebanyak empat episode.
Tentu saya pernah merasakan bagaimana ‘pahit’nya masa-masa saya tidak dapat mengendarai kendaraan apa pun, terutama sepeda motor.
Banyak orang yang kerap memandang saya sebelah mata. Apalagi saya adalah seorang pria berusia 20-an yang hidup di negara yang masyarakatnya sangat banyak yang mengandalkan sepeda motor sebagai transportasi utama.
Yep, bukan sekali-dua kali ucapan “payah” mendarat mulus di batin saya dari beberapa orang sebab hal ini.
Setelah saya dapat mengendarai sepeda motor dan mungkin ke depannya saya juga akan memiliki mobil, ternyata saya memang merasakan bahwa dapat mengendarai kendaraan bermotor itu nikmat.
Namun saya terkadang mengalami kilas balik semasa saya masih belum dapat mengendarai kendaraan apa pun.
Sebagian orang yang tidak dapat mengendarai sepeda motor saya dengar pun mengalami cibiran dari orang lain pula. Saya hanya memandang mereka sebagai saya yang dahulu.
Sebagai hiburan, apakah nggak bisa naik motor itu memiliki hikmah? Pastinya. Saya sendiri telah merasakannya. Apa saja itu?
Sebelumnya, hikmah klise seperti mengurangi kemacetan, atau tidak perlu repot membayar pajak kendaraan, dst., tidak akan saya ikut sertakan.
Orang yang tidak dapat mengendarai kendaraan bermotor, sudah barang pasti mereka mengandalkan transportasi umum. Namun bukan berarti penumpang transportasi umum itu kebanyakan tidak dapat mengendarai kendaraan bermotor.
Tetapi tentu saja orang yang minimal tidak dapat mengendarai sepeda motor memiliki ‘dosis’ ketergantungan yang jauh lebih tinggi jika kita bandingkan dengan yang bisa.
Saya dulu pernah berada di posisi seperti itu.
Terkadang sisi yang kurang menyenangkannya adalah, ketika saya harus khawatir dengan kapan jam terakhir transportasi umum saat saya sedang dalam sebuah acara yang hingga larut malam.
Di luar itu, karena transportasi umum telah menjadi bagian dari keseharian saya, saya hingga menganggapnya seperti bagian dari rumah sendiri.
Yang mana kita tahu, bahwa rumah sangat berkaitan erat dengan kenyamanan.
Artinya, saya harus sebisa mungkin berusaha agar transportasi umum yang saya gunakan memiliki suasana senyaman rumah, meski dalam kondisi berdesakan (terutama pada jam sibuk).
Saya bertukar informasi dengan para penumpang, menggunakan layanan pengaduan apabila saya menemukan ketidaknyamanan ekstrem, dan membantu memberikan kontribusi berupa info dan tips-tips.
Saya ingat waktu di Singapura, yang mana saya sedang sendirian pada saat itu, pulang hampir tengah malam menggunakan MRT di negara asing yang baru pertama kali saya kunjungi. Saat saya berada di area concourse stasiun, saya terdiam, mematung.
Saya hanya merasa bahwa saya tidak sedang berada di tempat asing, saya hanya merasa bahwa saya sedang berada di rumah saya sendiri. Ada rasa nyaman yang saya temukan di stasiun tersebut yang belum pernah saya rasakan sebelumnya.
Saat seseorang menggunakan transportasi umum, itu sebenarnya dapat menjadi sebuah peluang agar membuatnya lebih peka terhadap orang lain.
Jadi seharusnya bukan hanya ‘sekadar’ naik umum terus sudah.
Contohnya, saat kita di atas bus, melihat seorang lansia yang lemah, ibu hamil, atau orang sakit, kita dapat berpikir bagaimana seandainya itu adalah ibu kita sendiri.
Dan bahkan seharusnya kepedulian itu tidak hanya ‘mentok’ di memberikan kursi bagi yang membutuhkan semata. Banyak sekali peluang-peluang agar kita lebih peka dengan orang lain.
Misalnya, dahulu ada seorang penumpang Transjakarta yang bercerita bahwa ia menaruh rasa prihatin dengan seorang nenek yang harus berjuang menaiki tangga di jembatan penyebrangan yang tinggi.
Saya pun terkadang melihat beberapa akses halte Transjakarta dan mencoba mengukurnya jaraknya ke ‘gang’ pemukiman penduduk terdekat. Karena tentu saja sumber penumpang pasti dari sana.
Pemerintah yang membangun transportasi masal hanya demi gengsi, pasti tidak akan peka di mana letak halte atau stasiun yang terbaik. Masalahnya, saya pernah menemukan halte bus BRT (di luar Jakarta), yang sekelilingnya hanyalah kebun kosong.
Padahal, hasil dari kepekaan bukanlah dapat memperhatikan seluruh aspek kenyamanan dan akses ke pemukiman atau perkantoran semata, namun juga memudahkan para penumpang yang mengalami keterbatasan fisik/disabilitas.
Dengan banyaknya bibit-bibit rakyat yang peka akan hal-hal seperti ini, tentu memiliki berpeluang besar untuk lahir pemimpin yang juga peka dari tengah-tengah mereka.
Bagi kalian yang tidak dapat mengendarai sepeda motor, atau yang mengandalkan transportasi umum, kesempatan seperti ini sebaiknya jangan sampai terlewatkan.
Sudah hampir 80 tahun bangsa kita merdeka, tidak ada lagi penjajah yang mendekam di atas negeri tercinta ini.
Namun apakah berarti pahlawan nasional telah tidak kita temukan lagi?
Nyatanya, setiap orang berpeluang menjadi seorang pahlawan, tak terkecuali kalian yang tidak dapat mengendarai sepeda motor.
Meski memang tidak sampai kepada tingkat pahlawan nasional, atau saya tidak tahu, tetapi menjadi pahlawan itu adalah suatu hal yang banyak dinantikan oleh masyarakat.
Contoh paling ringan, pada tahun 2017 atau 2018 saya lupa, beberapa orang yang tidak memiliki kendaraan pribadi mengeluhkan sulitnya berwisata menggunakan angkutan umum.
Sekalipun ada sebagian kecilnya yang dapat terjangkau angkutan umum, pilihannya sangat terbatas dan sisanya memiliki jarak yang masih cukup jauh untuk ditempuh.
Saya akhirnya menantang diri saya sendiri untuk dapat menggunakan menggapai tempat-tempat wisata yang ‘ramah’ angkutan umum. Dan alhamdulillah berhasil. Kalian bahkan dapat melihat kumpulan artikel wisata dengan angkot di sini.
Saya ingat bagaimana bahagianya saya saat saya mendapatkan banyak follower di Instagram dan situs Anandastoon ini mendapatkan lebih banyak viewer karena ‘wisata dengan angkot’ ini.
Saya mendapatkan banyak pertanyaan masuk, dan saya senang dapat memberikan informasi-informasi tambahan dengan detail.
Dan saya pun juga mendapat tambahan-tambahan informasi dari orang-orang yang menggemari hal yang sama juga. Bukankah itu sebuah hal yang menyenangkan dan patut kita syukuri?
Kita sudah tahu bahwa di kendaraan umum, di jalan sepanjang kita berjalan menuju stasiun terdekat, kita kadang bercengkrama dengan orang lain dan menyaksikan banyak hal.
Kepedulian dan kepekaan yang terus terlatih, bukan hanya membuat seseorang lebih bijak, namun juga membuat seseorang menjadi jenius.
Saya adalah programmer, tepatnya kini menjadi CTO atau direktur utama IT di perusahaan yang saya bangun bersama tim.
Tugas seorang programmer sebenarnya bukan hanya ngoding di depan layar terus menerus. Apalagi seorang IT, memiliki tuntutan untuk terus mengembangkan aplikasi dengan fitur-fitur yang dapat menarik pelanggan.
Programmer yang peka akan terus mencari masalah yang terjadi di sekelilingnya dan mencoba memecahkannya dalam bentuk algoritma. Baru setelah itu algoritma penyelesaiannya diterjemahkan programmer dalam bentuk kodingan.
Bahkan solusi yang programmer tawarkan bukan hanya dapat mengganti tugas-tugas pengguna dengan produk ITnya, namun juga wajib menjadikan solusinya mudah dan memudahkan.
Kalau kita lihat di negara-negara maju, para pemerintahnya begitu peduli dengan kebutuhan masyarakat dan menyediakan penyelesaian out of the box.
Pemecahan masalah yang luar biasa hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memang sudah terbiasa untuk peka dan peduli dengan masalah orang lain, dan mereka melatih diri mereka untuk itu.
Seseorang yang kerap mendapatkan cibiran yang tidak menyenangkan dari orang lain, seharusnya memacu dirinya agar ia menjadi lebih baik daripada yang mencibirnya.
Saya belajar untuk mengabaikan cibiran sebab saya tidak dapat mengendarai sepeda motor. Saya hanya fokus dengan apa-apa yang membuat saya lebih baik seperti banyak belajar hal baru, dan lain sebagainya.
Alhamdulillah setelah itu saya mendapatkan partner dan lingkaran komunitas yang juga lebih baik. Saya bahkan sudah tidak pernah lagi mendengar cibiran-cibiran tidak penting tersebut.
Dengan mendapatkan rekan-rekan yang lebih baik, saya menjadi ikut terbawa menjadi semakin baik. Saya lebih banyak belajar sesuatu yang elegan, mereka bahkan tidak mempermasalahkan saya dapat mengendarai kendaraan atau tidak.
Jabatan CTO yang saya emban adalah hasil dari pengaruh besar yang saya terima dari komunitas-komunitas positif tersebut.
Bahkan saya menjadi lebih sabar dengan keinginan saya untuk memiliki kendaraan, sebab fokus saya sudah tidak lagi di sana.
Menjadi lebih baik memberikan pengaruh positif kepada sekeliling, sama seperti minyak wangi yang menyenangkan hidung banyak orang.
Belum lagi, dengan seringnya seseorang tahan dengan sesuatu yang tidak menyenangkan yang menghujani dirinya terus menerus, itu dapat membuatnya terbiasa.
Jadi jika seseorang telah terlatih untuk problem solving dan giving comfort, yang mana kedua itu adalah skill termahal yang sangat bermanfaat dan sangat jarang dimiliki manusia, orang lain dapat menghargainya dengan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Jadi bagi kalian yang memang sedang mendapatkan cibiran hanya karena nggak bisa naik motor, sebenarnya saya dan mungkin sebagian masyarakat menantikan apa bunga yang dapat mekar dari dalam diri kalian di tengah badai cemoohan yang kalian terima.
Saya kenal situs mas Ananda juga karena wisata naik angkotnya. Senasib gak bisa naik motor juga padahal umur udah 30. Pas Mas Ananda akhirnya bisa naik motor & beli si prikidil ada rasa terharu juga. Saya juga akhirnya belajar naik motor & sampai beli motor juga cuma progress saya gak sebagus itu + jatuh jadi bikin trauma, hihihi
Wah saya lebih terharu ada yang ngikutin perjalanan hidup saya dari ngangkot sampe dapet si Kidil. 🥲
Thank you deh udah let me know hehe.