3 minggu setelah dari Singapura, saya tidak pernah lagi ke mana-mana setiap weekend selain dari berburu kafe yang gagal terus wahahah.
Akhirnya Google Maps kembali menjadi sasaran amukan saya karena rasa bete saya ingin melihat gunung-gunung tinggi. Ketemu lah tiga buah mangsa yang bisa saya jadikan santapan travel. Curug Ciputri, Goong, dan Padalarang. Tri-in-wan lho, dan semuanya di Bogor.
Saya kemudian iseng menghubungi salah satu pembaca blog saya yang kemarin pernah ke Curug Cipeuteuy bareng, barangkali dia mau ikut.
Eh, ternyata do’eui mau! Tapi dia maunya jangan ke Bogor lagi, terus ditambah rutenya 90 persen sama lagi waktu kemarin kami melecus. Do’eui maunya ke tempat ekstreman dikit kayak ngangkot ke Ujung Genteng (bujubile) karena memang libur panjang jadi seharusnya kami tidak terganggu kerjaan.
Namun saya akhirnya menolak karena alasan “tua di jalan” dan akan miss banget momen-momen penting di pantai semisal melihat matahari kelelep dan sebagainya. Pasalnya perjalanan mungkin akan memakan waktu 9 jam, jadi do’eui akhirnya mengerti dan kembali setuju ke Bogor dengan trayek yang itu-itu lagi.
Hari H, pukul 8.00 si do’eui dengan bijak memberi kabar saya bahwa do’eui ada urusan mendadak, jadinya dikensel sama do’eui. Baguslah, mata saya juga sedang tidak bersahabat, jadinya guling pun kembali saya jambret dan saya kembali bertravel ke nirwana. Zzzzz…
Pukul 10.00, eh enggak, 09.20, jam dinding saya percepat 40 menit.
Enggak, enggak boleh. Saya harus berangkat. Kelopak mata akhirnya saya paku agar tidak turun lagi. Semoga tidak mendung karena memang sedang musim hujan. Ketika saya buka pintu, saya langsung digampar-gampar sinar mentari pagi.
ALHAMDULILLAH TERANG!!! Byar byur byar byur diriku basah di pancuran dan cuss pakek promo ojeg online untuk mendarat mulus di stasiun Pasar Minggu. Dan tebak? Kereta Bogornya pas berhenti manis di depan mataqquh. H’reee!
Ah, welcome back Stesyen Bogor! Oiy, saya mau ambil uang dulu di ATM stasiun dan membeli perbekalan perang di minimarket sebelahnya. Kemudian seperti biasa, saya melenggang bebas ke Terminal Laladon, mencari angkot Tumaritis alias Tenjolaya dan turun pas titik terakhirnya. Rutenya benar-benar sama waktu saya ke Curug Luhur, Ciampea, dan Cipeuteuy kemarin kok.
Pukul 12.52, ta shalat Zhuhur dulu di masjid yang biasanya juga, yang cuma 30 meter dari Indomaret Tenjolaya terus belok kanan di gang yang ada plang Curug Ciampeanya.
Setelah itu? Dari masjid tinggal jalan menuju tanjakan horor yang bikin paru-paru saya jerit-jerit, tanjakan tersebut bahkan sudah terlihat dari sejak saya turun dari angkot Tumaritis, tepat di belakang Indomaretnya.
Saya sendiri lagi, yasudadeh memang jalannya sudah begini kali yakk? Sebuah sungai bening nan indah mengalir bebas dari bola mata mungil seorang jomblo ini.
Langit pun tiba-tiba memanggil awan-awannya untuk menaungi remaja malang di tengah kesendiriannya pada daerah yang bahkan ia masih asing padanya. Sinar matahari keluar dari celah-celahnya tepat mengarah kepada diriku, disertai angin lembut yang menghibur dan menyejukkan.
Enggak! Jangan didengarkan, saya masih tetap happy kok! Ini buktinya saya berhasil menangkap momen happy tepat sebelum betis saya diacak-acak oleh tanjakan horor yang sebentar lagi saya geluti.
Satu… duaa… leher saya mulai berkeringat.
Satuuu… duaaaaa… nafas saya mulai berat.
Saatttuuuu… duaaaaaaa…. emaaakkk…
Satttt… enggak ada tempat duduk ya?
Saaaa… ttttuuuu… hash hesh hosh… duuu…
Eh udah nyampe di atas alhamdulillah!
Dah, daku kembali melenggang karena jalanannya sudah mulai datar. Eh itu ada plang Curug Ciampea. Tapi saya sedang tidak ingin ke sana karena memang sudah. Jadi saya sekarang nggak belok kanan alias tinggal lurus cus…
Bai bai plang Ciampea…
Oke, saya sekarang benar-benar nggak tahu kalau di depan masih banyak tanjakan-tanjakan horor yang sepertinya sudah siap dengan kedatangan saya, meski tidak separah tanjakan pertama tadi. Tapi tetap saja, saya sudah babak belur di ronde pertama tadi. Ah! Mau tidak mau ya harus tetap menanjak.
Pada tanjakan yang ketiga, saya melihat ada wanawisata Bogor Tenjolaya Park. Di dalamnya ada selfie-selfie-an, camp, pemandangan alam, de es te. Tapi saya tidak ingin masuk ke sana dan memilih lurus. Ini benar-benar sudah setengah perjalanan.
Setelah saya selesai berjalan di samping tembok-tembok pembatas Bogor Tenjolaya Park, kini saya melihat pemukiman penduduk dengan pemandangan hutan pinus di belakangnya yang saya tebak di sanalah tujuan akhir saya. Namun jalannya tetap tidak mau kompromi, tanjakan demi tanjakan sepertinya sukses membuat saya K.O.
Akhirnya saya menyerah dan beristirahat di sebuah gubug yang dibangun warga, di mana di sampingnya ada warung. Sepertinya warga paham dengan hal ini jadi mungkin dibuatkan semacam rest area begitu. Saya akhirnya mengeluarkan minuman yang sudah saya beli di minimarket stasiun dan setelah minum, saya kembali jalan.
Ternyata dari sana memang sudah 100 meter lagi gerbang masuknya. Nice. Gerombolan manusia-manusia yang ingin nge-camp sudah terlihat di pinggir-pinggir hutan pinus. Saya hanya tinggal masuk ke gerbangnya yang ternyata di sana sudah ada beberapa dayang-dayang yang siap menyambut kedatangan saya dengan meriah dan pesta pora.
Ehm, cuma petugas kasir, yang bertanya kepada saya, “Kemping?”
Saya menggeleng, ditagihlah Rp20.000 dari dompet saya.
“Mbak, Curug Padalarang ke mana ya?” Saya tanya.
Oleh petugas perempuan yang satunya dibalas.
“Itu tinggal luluus kak, eh rullus, eh lulll… rruull… luuurrr”.
Saya dan kasir hanya sedikit mengangguk-angguk kepala dengan mata yang terbuka lebar untuk menyemangati petugas tersebut agar berhasil berkata “Lurus”.
“Rulluss… luullll.”
“LURUS!” Sang kasir kehilangan kesabarannya. Saya hanya tertawa. Akhirnya memang si petugas berhasil berkata “lurus”. Hore!
Saya kemudian masuk dan memang sesuai namanya, Camp Ciputri, yang artinya memang tempat kemping. Di sana sudah ada petunjuk ke Curug Goong dan Ciputri. Namun saya entah mengapa ingin ke Curug Padalarang. Saya mampir dahulu ke sebuah deretan warung untuk membeli sebotol air mineral sambil bertanya kembali mengenai Curug Padalarang.
Kata si ibu, “Curug Padalarang dari sini lurus, kalau Curug Ciputri belok kanan, turun.”
Jadilah saya berangkat lurus mengikuti arahan si ibu pemilik warung melewati perkemahan anak-anak pramuka yang sedang baris-berbaris beradu yel-yel. Aduh, kapan ya saya terakhir ikut persami atau perjusami? Tapi sekarang kan hari Selasa? Hehe…
Saya kemudian memasuki hutan-hutan pinus sendirian seperti adegan putri-putri Disney. Kali ini saya benar-benar menari dan bernyanyi seperti pasien rumah sakit jiwa. “Tralala… Trililili…” Saya berputar-putar dari depan ke belakang yang ternyata… beberapa rombongan bocah di belakang saya sedang terpaku melihat kelakuan dari jenis manusia yang satu ini.
ADUH, MALU-METER SAYA MENYENTUH ANGKA MAKSIMUM!
Setelah itu muncul adegan saya ditertawakan rombongan bocah tersebut yang ingin ke Curug Padalarang juga. Saya pikir tadi saya benar-benar sendirian dalam memasuki hutan. Aduh, harga diri jadi seperti lagi ada promo nih, untung nggak ada cashbacknya.
Keluar sesi hutan, saya dihadapkan pemandangan dari benjolan-benjolan Gunung Salak yang sedang dikerubungi oleh awan-awan mendung.
Saya masih sepertiga perjalanan jika memang saya sudah tahu. Tapi karena saya baru pertama kali ke sini, jadinya saya pikir sudah dekat.
Nah, di depan ada pertigaan, pilih yang menanjak, alias belok kiri. Ini petunjuk arahnya benar-benar minim. Kemudian ikuti trek saja, itu sudah tinggal 400 meter. Celakanya, saya justru ketika sudah hampir sampai ujung justru balik lagi karena khawatir tersasar. Begitu saya bertemu rombongan lain, ternyata trek yang saya lalui itu sudah benar. Alamak! Sendirian doang sih!
Balik lagi deh, capek daku.
Oh, ini penting. Jika nanti kalian menemukan pertigaan lagi, ambil yang menurun alias ke kanan, itu sudah jalan menuju sungainya. Dan ketika tiba di sungai, belok kiri melawan arus sungai. Enggak kok, jalannya enggak di sungainya, tapi di bebatuan di sampingnya. Bebatuannya gede-gede dan banyak jadi memang sudah seperti jalanan.
Tapi kok ya enggak dikasih petunjuk meski cuma dari kayu kemudian dicat seadanya biar pengunjung enggak pada nyasar gitu… Pengunjung yang sendirian kek saya begini jadi pusing 7 keliling, 7 tanjakan, 7 turunan, 7 benua, dan 7 keajaiban dunia.
Setelah susur sungai yang tidak begitu lama, mungkin sekitar 200 meter, ada sesi berendamnya dikiitttt hehe… Maksudnya kalian harus berjalan di genangan sungai selutut untuk tiba di air terjunnya. Air terjunnya sudah terlihat kok dari sana.
Okay, langsung ke air terjun yang ternyata sudah banyak orang-orang nyebur dan bahkan memakai shampo! Aduh ini air terjun sudah seperti kontrakan sendiri ya? Tak lama kemudian rombongan tersebut bubar dan saya sendirian.
Asik! I’ll do whatever I want!
Tapi ngapain? Paling ya cuma foto-foto tok. Ih, airnya biru dan bening banget, jadi nyesel nggak bawa salin. 🙁
Saya kemudian disapa oleh pengunjung lain yang juga ingin berendam, mereka ada yang dari Cilegon, Karawang, dan seterusnya. Mereka ke sini ingin kemping dan melihat-lihat air terjun. Saya hanya “oh”.
Yang dari Cilegon berkata kepada saya, bahwa di daerah Lebak banyak air terjun yang bagus, namun saya katakan bahwa sayangnya akses ke sananya masih banyak yang diabaikan, jangankan pakai kendaraan umum, pakai kendaraan pribadi pun was-was. Dia mendukung pernyataan saya. Sayang ya, sektor pariwisatanya saja tidak mendapatkan sentuhan yang cukup dari uang pajak rakyatnya. 🙁
Ketika kami sedang asyik berbincang, ada air menetes dari langit.
Saya langsung berteriak panik, “Eh, Misbar! Misbar!”
GeriMIS buBAR kamsudnya. Namun mereka dengan santai mengeluarkan jas hujan dari dalam tasnya. Waduh, saya bagaimana? Mampus gueh!
Para pengunjung akhirnya mulai meninggalkan air terjun mengingat hujan semakin deras, saya kembali sendirian, pulang terhuyung-huyung dengan bantuan payung unyuk dari dalam tas. Aduh ini saya nggak bisa jalan di antara sela-sela tumbuh-tumbuhan, payung saya nabrak-nabrak daun dan ranting melulu. Basah semua deh!
Belum lagi saya terpeleset, terpental, dan terguling dari tanah yang licin itu, dengan payung yang berusaha melarikan diri. WAIT! Celana, tas, baju, coklat semuanya! Belum lagi dengan tali sepatu yang tiba-tiba lepas, membuat dakuh semakin terserimpet tak terhingga kalinya.
Hujan makin deras, payung malang ini sudah berusaha sekuat tenaga untuk melindungi tuannya yang ternyata menemui titik akhir perjuangannya juga. Air menetes dari sela-sela payung karena derasnya hujan, dan saya masih di tengah antah berantah! Masih jauh dari hutan pinusnya! Mamakkk tolong oguttt!
Mana sendirian lagi. 🙁
Ya sudadeh, maaf ya sepatu, saya hancurkan dirimu di tengah-tengah kubangan lumpur demi menyelamatkan entitas dirikuh (halah). Yang bagusnya dengan cara itu saya kembali ke hutan pinus. Alamat beli sepatu baru keknya. Padahal sepatu saya ini cukup mehong lohh. Huwwaaakkk!!!
Hujan semakin deras dan deras, tak terasa saya sudah hampir sampai di warung yang saya sambangi pertama kali. Saya lapar, kebetulan. Saya langsung memesan Pop Mie ~
Tapi ternyata setelah saya mulai makan, pengunjung lain ada yang pesan mi goreng dan bakso. Weleh! Kalo gitu mah mending pesen itu ajah! WAH! Tapi ya sudalah. Makan mie di tengah hujan dan di antara pepohonan pinus kapan lagi? Yengga, yengga?
JDEER!!! JELEGERRR! Geledeknya ganas boo! Anginnya juga! Air hujannya pada masuk ke warung, pengunjung semakin berlarian ke tengah warung. Saya sudah punya tameng payung, jadilah payungnya saya taruh di meja, menghalangi semburan air hujan yang disebabkan oleh angin-angin kejam. “Pinter!” Puji pengunjung lain. Iya dong wahahah (kepala saya membesar).
Hujan angin, tepatnya.
Di saat-saat itu saya melihat banyak anak-anak pramuka yang mandi di tengah hujan, saya jadi teringat masa lalu. Aduh saya sudah blangkotan begini, waktu cepat sekali ya berlalu?
Pukul 16.44, wah sudah setengah jam saya mengungsi di warung. Akhirnya saya bayar Rp15.000 untuk pop mie dan sebotol lagi air mineral. Saya menuju mushalla gubug yang terletak di sebelah gerbang masuk dengan tempat wudlu di luar.
Jadilah saya wudlu hujan-hujanan, namun airnya deras kok, dari mata air sungguhan kah? Yang itu bisa diminum langsung?
Saya menjadi imam shalat berjamaah, disambut dengan decitan-decitan lantai bambu mushalla, Allah Kariim, yang seperti ini tidak saya temui di tengah rutinitas aktivitas saya.
Kemudian saya melenggang pulang sendirian dengan payung yang masih di tangan, ditemani lagu sedih dan menyeramkan, pas sesuai dengan atmosfer pada saat itu.
Saya akhirnya menunggu angkot ke Laladon pukul 17.44, dan mendapatkan satu.
Tapi kata supirnya kalau jam segini angkot nggak sampai Laladon. What?! Hanya sampai Babakan katanya. Babakan mana? Kalau mau sambung bisa. Kalau enggak, saya disarankan untuk naik angkot Faten ke BTM yang lewat Curug Luhur.
Saya berpikir dua kali. Akhirnya saya naik angkot itu juga dan diturunkan di perempatan Cinangka (kalo di Trafi, titik stop Cinangka – 1) dengan tarif Rp5.000.
Tak lama setelah itu, muncul angkot yang sama dan ke Laladon. Sial! Kalau tahu begitu mending saya menunggu sedikit untuk dapat angkot yang rutenya benar-benar ke Laladon.
Masalahnya tadi supirnya bilang “kalau sudah jam segini…”, kan jadi nakut-nakutin. Awalnya saya pikir perkataan supir itu benar karena saya pernah mendapatkan pengalaman serupa sewaktu pulang dari Curug Cikoneng.
Bencik… bencik… bencik…!
Curug yg dkt dr bogor treknya mudah dkt jln raya ada gak soalny libur cuma sehari .sy dr sudirman
Hai Adam, untuk air terjun di kabupaten Bogor memang sangat banyak. Maksud abangnya apa abang Adam ini dari Sudirman Jakarta?
Dan ke air terjunnya ingin naik kendaraan umum atau pribadi?
Sebagai pilihan ada Curug Nangka dan Curug Luhur yang terhitung ramah angkutan umum. Untuk Curug Luhur aksesnya sangat mudah karena air terjunnya benar-benar sangat dekat dari pintu masuk namun tarifnya cukup mahal Rp45rb. Untuk Curug Nangka agak lebih jauh sedikit dari pemberhentian angkot terakhir namun lebih alami.
Terima kasih.
Pingback: Terbaik 6 Jadwal Buka Tempat Wisata Curug Orok Foto Yang Menakjubkan - Indonesia Bagoes
Pingback: Terbaik 6 Jadwal Buka Tempat Wisata Curug Orok Foto Yang Menakjubkan - Indonesia Bagus