Sekitar mungkin 3-4 tahun yang lalu ketika saya berziarah ke makam kakek bersama saudara dan ibu saya di daerah Kerta Jati, Majalengka di mana berlokasi Bandara Internasional Jawa Barat yang akan diluncurkan di dalamnya pesawat R80 terbaru milik Bapak B.J. Habibie, terdapat pemandangan tidak biasa yang hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari lokasi kuburan. Ada semacam pembangunan yang sedang dikerjakan di sana. Saya pikir pembangunan untuk keperluan desa biasa seperti irigasi atau semacamnya mengingat di sana hanya terhampar sawah dan ladang. Ibu saya kemudian bertanya dalam bahasa Sunda,
“Ada apa itu?”
“Pembangunan jalan tol ke arah Palimanan, Bi. (Saudara saya memanggil ibu saya ‘bibi’)”.
Saya berpikir mungkin akan menjadi jalan tol yang sangat panjang jika memang dirampungkan, dan pastinya akan menjadi sesuatu yang sangat bermanfaat jika suatu saat saya berpulang kampung dari Jakarta karena tidak perlu repot-repot memutar lewat jalur pantura sebab pintu tolnya tepat ‘di samping’ kawasan rumah saudara saya.
Kebetulan makam kakek saya berada di paling pinggir dari kompleks kuburan tersebut, sehingga terlihat jelas apa yang terjadi dengan pembangunan tersebut meskipun saya tidak terlalu memperhatikannya, apalagi mengambil gambarnya.
Tepat beberapa hari sebelum ditulisnya tulisan ini, kami kembali berziarah ke makam kakek. Namun alangkah kagetnya saya ketika melihat pemandangan yang berubah total ke arah makam kakek. Jalan tol yang telah dirampungkan benar-benar membuat gersang. Sepuluh meter ke arah jalan tol tidak ada pohon sama sekali melainkan hanya tetumbuhan kecil. Kemana pepohonan yang dulu? Termasuk komplek pemakaman yang juga menjadi sedikit gersang. Namun yang di kompleks pemakaman katanya ditebang untuk keperluan lain dan ditanami baru karena yang lama akarnya dapat membahayakan kuburan.
Saya takjub, dari ujung timur dan barat pemandangan hanya jalan tol tanpa ada yang menghalanginya. Dengan volume kendaraan seimbang dan jaraknya hanya sepuluh meter dari makam kakek saya, saya bebas melihat biru langit beserta gersangnya jalan tol dengan sebuah terowongan kecil di bawahnya untuk keperluan lalu lalang. Suara yang terdengar hanya deruman ‘manis’ dari kendaraan-kendaraan yang melintas, tanpa klakson. Sayang, tidak ada yang membawa kamera pada saat itu.
Namun anehnya, mungkin masih baru, Guardrail dan PJU (Penerangan Jalan Umum) masih sedikit terpasang, bahkan di atas terowongan justru tidak ada guardrail sehingga kendaraan yang oleng dapat terjun bebas ke arah ladang di samping makam. Bahkan katanya lokasi kecelakaan yang merenggut sekitar enam hingga tiga belas nyawa itu juga terjadi di sana.
Ibu saya sempat cerita, sewaktu perjalanan beliau kadang melambai-lambaikan tangan atau mengucap salam ke arah ahli kubur di pemakaman. Pada saat itu ketika lewat tol tersebut beliau melakukan hal yang sama ke sebuah kompleks pemakaman yang nyatanya itu adalah makam ayahnya sendiri.
Mereka juga cerita, dulunya pembangunan jalan tol itu menggunakan tanah dan pasir yang diangkut dari desa yang saya tempati. Sehingga teman saya berkelakar, bahwa saya tidak perlu membayar tol itu dikarenakan tanahnya punya nenek moyang saya. Dasar.
Kemudian jalan tol tersebut diberi nama : Tol Cipali, Cikopo – Palimanan.