Rawa Gede

Waktu duluuuu banget (ahelah sedulu apa sih?), saya pernah melihat artikel mengenai beberapa air terjun yang indah di Bogor, salah satunya adalah Curug Cidulang. Dari produk mapsnya simbah keliatan tinggi, bagus, katanya ada di dekat danau Rawa Gede. Wah, setali dua uang! Iya, dua uang doang, bukan tiga. ‘Kan cuma danau sama air terjun doang ya hehe…

Saya kayaknya udah capek kalau cerita gimana sengitnya pergulatan saya dengan kasur setiap ingin berangkat. Apalagi masih di daerah Bogor tempat wisatanya, makin kuat deh kasurnya. Zzzzzzz…

Setelah rapi saya berangkat, saya lihat jam tangan, pukul 11.00, di atas si Pirikidil, nyawa belum kumpul semua, dan masih ada di jalanan sekitaran Jakarta.


Sudah bisa sendiri

Saya ingat dulu ketika saya sama sekali tidak bisa mengendarai sepeda motor dan melihat Curug Ciherang di internet tuh serasa nyengat full. Apalagi ternyata memang sama sekali tidak ada angkot ke sana.

Yaampun ternyata di sanalah pertama kali saya menyadari bahwa ternyata banyak wisata di Indonesia -yang katanya indah ini- yang aksesnya masih sangat tidak ramah angkutan umum.

DiriQuh yang belum punya sepeda motor dan tidak bisa mengendarainya itu cuma bisa terangin-angin oleh kipas angin yang bahkan hampir tidak keluar anginnya di indekos yang sumpek bin berantakan itu. Hingga akhirnya saya alhamdulillah disuruh pindah ke tempat yang lebih baik dan di sanalah kemudian saya bertemu dengan Pirikidil.

Nah kini dengan si Pirikidil saya merasakan sendiri bagaimana trek turun naik di daerah Sukamakmur dengan piu (asal: view, Sundanese edition) yang memukau. Tuh, baru saja beberapa kilometer masuk jalan Tajurnya dari Citeureup, setelah saya melewati pemukiman penduduk, saya kembali disapa oleh sesuatu dari kejauhan.

Sontak saya mengerem si Pirikidil dan memutar balik sedikit untuk ‘parkir’ di tempat yang tidak mengganggu sama sekali.

Memang siapa yang menyapa? Ini, si doi…

Rawa Gede

Eh betewe itu puncak tebingnya bisa diakses nggak sih? Maksudnya apa bisa dinaiki atau didaki gitu? Pasti bakal banyak anak-anak alay bin kecombrang yang bakal pengen eksis di dunia maya membanjiri medsosnya dengan foto-foto selfie mereka sampai memori server Facebook meledak dan membuat om Mark Jungkirbalik menangis sesenggukan.

Yah tapi kan lumayan kalau misalnya dibuat tiket masuk seharga goceng plus warung-warung mangkal ditambah dengan bensin ecerannya di puncak bukit itu kan seenggaknya bisa menghidupi ekonomi penduduk sekitar yengga yengga?

Ah sudahlah, pariwara cekrak cekrek tebingnya sudah habis dan perjalanan saya lanjutkan kembali. Saya (agak tidak) menikmati jalanan pedesaan dengan hiasan gunung-gunung kecil yang mengelilingi pemandangan sepanjang jalan dan tentu saja bertabur dengan lobang-lobang cantik sepanjang aspal jalan. Mampus deh Pirikidil gueh!

Saya akhirnya shalat zhuhur di masjid yang dulu juga pernah saya singgahi untuk… shalat zhuhur juga. Oh masjidnya ada toilet jadi sekalian saya gunakan untuk buang hajat juga hahah, kejadian waktu di Curug Undak Dua terulang lagi, yakni mencari masjid sebagai tempat melepas ‘itu’.

Tapi ya di sanalah sekali lagi rasa syukur saya ucapkan, orang yang mampir untuk menggunakan toilet masjid, semoga diberi hidayah untuk mampir shalat di depannya hehe.

Pukul 13.30. Akhirnya saya sampai di pertigaan Jonggol – Sukamakmur. Intinya setiap ada pertigaan, pilih jalan yang ada tulisan “Curug Ciherang”nya. Ya memang ke sana sih rutenya. Oh iya, ini gunung apa sih? Lumayan tinggi lho 1400 mdpl.

Rawa Gede

Cuma yang bener aja dong, itu lubang-lubang di jalan udah kayak ngajak perang saudara aja. Mana kontur jalan semakin tidak rata lagi. Ebuset ada lobang di turunan yang super curam, AAAA… bertahanlah kau Pirikidil! Aduh ampun deh dije, kasihan si Pirikidil, udah jeblas jeblos kesandung jalan jelek, belom lagi sering disiksa sama ownernya sendiri.

Akhirnya terlihat gunung yang saya nggak tahu namanya tapi saya tahu di sana berlokasi Curug Ciherang. Cuma beberapa ratus meter sebelumnya, saya dihadapkan kepada pertigaan yang memiliki tulisan Rawa Gede dan saya disuruh masuk ke dalamnya. Wisatanya sudah sepaket dengan air terjunnya, inilah mengapa saya ingin mengunjungi tempat ini.

Tapi bok, jalannya makin angker! Bukan, bukan jalannya dipenuhi mister Poci dan miss Key (you know, yang itu, dua setan terpopuler di Indo), tapi angkernya karena jalannya berubah jadi beton dan lobangnya tambah ekstrem! Aduh mamaksay, maaf ya Pirikidil dirimu tersiksa seperti ini. Nanti saya beliin permen deh buat si Pirikidil.

Sebenernya sih jalanannya nggak rusak-rusak banget, cuma ya nggak rata aja, jalannya banyak yang pecah dan lobangnya sering ngajak ribut. Belom lagi ditambah dengan bapak-bapak polisi yang pada bobok di sepanjang jalan, tanpa desain standar. Aduh setiap kena polisi tidur ban depan udah kayak mental, padahal kecepatan di bawah 20km/jam.

Ah, seenggaknya beberapa ratus meter kemudian saya sampai di pertigaan lagi yang jalan betonnya cukup mulus, dan berakhir di sebuah gapura. Yup, gerbang masuknya. Saya ditagih Rp25rb, 1 orang 1 sepeda motor. Ya… begitulah.


Pesona rupa-rupa

Saya melipir ke warung terdekat untuk makan, saya memesan mie dan air mineral botol. Padahal warung yang pas depan parkir itu jual macam-macam nasi tapi kayaknya udah kebiasaan pesen mie. Saya menikmati mie goreng hangat dengan piu (view, dengan kearifan Sunda) yang cukup ‘pecah membahana’.

Rawa Gede

Saya tadi nanya ke penjaga parkir katanya kalau mau ke Curug Cidulang itu harus naik lewat jalur trekking. Saya tanya berapa jauh, dia bilang 20 menit. Baiklah, tidak terhitung jauh lah ya. Yaudah setelah saya bayar mie sama air mineralnya up to Rp15K, saya melanjutkan susur danaunya sebelum saya daki gunungnya cuma buat liat air yang pada jatuh itu.

Well, danau Situ Rawa Gede ini not bad, maksud saya sama sekali not bad. Kalau aksesnya bagus saya yakin ini wisata bakal laku keras apalagi kalau ramah angkutan umum. Bahkan daripada capek-capek ke Situ Gunung, Situ Rawa Gede ini betul-betul sebuah pilihan yang sangat layak untuk dicoba untuk traveller dari Jabodetabek seperti saya. Cuma ya, bedanya kalau Situ Gunung itu ramah angkot, kalau yang ini minikitihi. 😋

Sebuah danau cantik yang dikelilingi oleh gunung-gunung yang tidak bernama (saya nggak bakalan nyebut itu bukit) dan memiliki fitur-fitur yang nggak cuma bebek-bebekan tok.

Rawa Gede

Wah udah hampir jam setengah tiga, saya coba melipir ke pinggir yang ternyata di pinggir danau itu juga tempat parkir.

Jadi bagi yang ingin ke air terjun, dari gapura alias gerbang masuk situ jangan langsung belok kiri untuk parkir, langsung saja bablas lurus menyisir pinggiran danau dan parkirnya di situ deh. Dengan catatan, parkir di samping danau itu khusus sepeda motor saja dan jalanannya pun nggak bagus juga.

Akhirnya saya terbang langsung ke tujuan lewat jalur yang sudah disediakan via pinggiran danau. Ada plangnya kok, saya lihat air terjunnya banyak ada Curug Cibeureum, Curug Cidulang, dan Curug Berkah apa gitu. Saya tapi cuma pengen ke yang Cidulang, soalnya kalau saya lihat via gambar-gambar koleksinya simbah Google itu bagus-bagus sih.

Curug Cidulang

Saya akhirnya ke atas menanjak. Yaampun baru berapa langkah aja sudah capek betul. Mamak semenjak keseringan naik sepeda motor dan nggak pernah lagi pakek busway ogut jadi lemah begini. Duh, betis kayak lagi main drum di kaki.

Ayo semangat, dirikuh berjuang hingga titik darah penghabisan, terseok, terguling, penuh dengan tanah, panjat tebing, meniti jurang, berteriak demi menggapai titian selanjutnya, berupaya bak militer, kamera dari drone zoom in dan zoom out, saya terus bertahan sekuat tenaga, melompati tebing-tebing, wash wish wosh.

Eh, saya diduluin sama anak kecil yang sama bapaknya kejar-kejaran di tangga pendakian. Oh, saya ternyata baru meniti beberapa buah anak tangga. Yaampun.

Di atas sudah terlihat pondokan. Asikk mungkin di situ air terjunnya, wah nggak jauh ya. Pemandangan danau pun terlihat begitu wah dari atas sini.

Rawa Gede

DAN DI ATAS ITU TERNYATA CUMA GERBANG TIKET AIR TERJUN DOANG! HITUNGAN 20 MENIT TREKKING ITU TERNYATA MULAI DARI SINI!!! 🥹😫

Saya ditagih Rp15K, ya ampun wisata yang satu ini agak boros juga ya. Kita lihat tiket Rp15K ini apakah memiliki fasilitas dan fitur lebih dibandingkan dengan wisata air terjun yang biaya masuknya cuma Rp5-10K.

Kata mamang penjaga loketnya, kalau mau ke Cidulang nanti pertigaan belok kiri (pertigaan mana? Emang nggak ada petunjuk arahnya?), kalau mau ke Cibeureum bisa nggak usah bayar lagi tapi lagi seret airnya. Lagipula memang saya mau ke Cidulang aja sih.

Daaannnn… ternyata treknya hancur minang bah! Bukan, jalanan tangganya sih bagus, tapi… saya daki tuh nggak selesai-selesai. Tukang bohong, katanya 20 menit, ini udah lewat 30 menit sampe azan ashar kedengeran lagi saya masih belum ada di tengah-tengah.

Saya cari bebatuan tinggi dan duduk, membantai air mineral saya dan termenung. Kegiatan mendaki ini membuat badan saya jadi penuh daki. Tapi sendirian di sini dengan piu yang menawan seakan menjadi sensasi tersendiri. Subhanallahi wa bihamdih.

Curug Cidulang

Ayo semangat daki lagi! Semoga sudah semakin dekat air terjunnya. Masalahnya jarak antar anak tangga itu tinggi-tinggi dan saya cuma bisa naik beberapa langkah, kemudian berhenti untuk ngos-ngosan, sebagian masa lalu saya terputar di otak selagi saya kelelahan itu. Kemudian ulangi.

Dan saya menemukan titik di mana saya yakin saya melihat air terjun Cibeureum di sela-sela badan gunung, aliran airnya terlihat turun dari atas. Di saat itu pula saya kehausan.

Alamak air mineralnya habis!

Jadi anak-anak, kalau mau naik gunung itu pastikan perbekalan terutama air minum harus cukup ya, jangan kayak om-om yang satu ini. Mana tidak ada yang tahu lagi saya sudah ada di mana.

Curug Cidulang

Ngeliat tangga makin nggak nafsu. Tapi ini adalah satu-satunya jalan menuju pelaminan, eh penantian, EH, air terjun maksudnya! Yowis, dengan musik pembakar semangat (padahal cuma musik ABBA) dirikuh sekuat tenaga bangkit dan mulai meniti tangganya kembali satu persatu.

Aaaahhh! Saya berteriak. Saya kembali menjalankan latihan militer. Saaatttuuuu… duuuwwwaaaaa… AWAS GRANATTT!!! DUUUAAARRRRR!!!

Mamak tolong! Masih belom selesai juga tangganya. Eh, tapi di atas beneran ada pertigaan lho. Ada tulisannya kalau Curug Cibeureum tuh ke kanan, dan Curug Cidulang tuh ke kiri, eh, lurus terus ke kiri dan ke kanan lagi, ini gimana sih petunjuk jalannya? 😅

Curug Cidulang

Akhirnya ada pengunjung lewat dan saya bertanya tentang Curug Cidulang, katanya sebentar lagi sampai, saya harus belok kiri, lalu di depan ada pertigaan lagi saya harus ambil kanan.

Ookkeeeee…? Saya masih tidak paham sih hehe.

Ya sudah saya belok kiri dan benar beberapa puluh meter kemudian saya menemukan pertigaan yang saya katanya harus ambil kanan. Ahelah petunjuk jalannya kurang. Di pertigaan inilah saya harus ambil kanan:

Curug Cidulang

Setidaknya jalanannya sudah mulai rata dan sedikit sekali jalanan mendaki. Asikk ada gubuk dan saya bisa ngadem dulu di sana. Ada pijakan selfie juga cuma pemandangannya udah bosen sih hahah.

Nah, di gubuk ini terlihat dua buah jalan lagi, yang satu lurus, dan yang satu lagi belok kiri turun tangga, dua-duanya jalanannya sudah sama-sama ‘bagus’. Mampus deh gueh mana nggak ada yang bisa ditanya lagi.

Akhirnya saya memberanikan diri untuk ambil jalan kiri dan ternyata tangganya ada bekas longsor. Bismillah moga-moga bener ini jalannya.

Curug Cidulang

Dan saya kembali turun serta susur sungai dikittt… tapi yang ini jalanannya udah dibeton sih jadi saya bisa happi melenggang. Air terjunnya ternyata sudah di depan mata setelah sesi sebrang-menyebrang.

Air terjun Cidulang ini saya nggak tahu debit airnya lagi kempes atau gimana kok nggak sederas yang terlihat di koleksi gambar simbah ya? Yowis lah seenggaknya airnya bening dengan seger. Oh iya, di sini belum ada warung ya, pastiin bekal dari bawah cukup. Aduh mana air mineral abis lagi, jangan ditiru ya adek-adek si om-om blangkotan yang kekurangan bekal ini.

Seenggaknya di atas ada pondok dan di bawahnya ada hammock juga.

Curug Cidulang

Yang mau berenang, silakan nyebur. Saya cuma cipyak cipyuk kaki aja sampe bosen dan saya kemudian ngapain? Pulang lagi dong hahah.

Ternyata di air terjunnya ada jalan ke atas di sebelah pondok dan itulah jalan termudahnya. Oh iya ada pengunjung juga komplain ke saya katanya dibilangin sama penjaganya kalo nanjak ke air terjunnya itu cuma 15 menit, ya sudah dia santai dong, eh tahu-tahunya dia sampai satu jam juga.

Saya yang kehausan bertanya apa air ini bisa diminum, saya menunjuk ke kolam air terjun. Kata pengunjung itu sih harusnya bisa soalnya ini sudah termasuk bagian atas gunung, jadi sudah jadi mata air. Saya mau minum sih cuma khawatir mencret seharian gegara saya pernah melakukan hal serupa di Curug Cihear.

Ya sudah saya pulang lagi lewat atas.


Bebbeeeettt!!!

Sepanjang perjalanan turun tuh leher saya gatel banget plus sakit. Saya raba ternyata leher saya panas dan bengkak. Kenapa ya? Apa tadi leher saya kena dedaunan waktu jalan daki? Aduh sumpah nggak nyaman banget.

Sampai akhirnya di bawah saya melipir ke warung untuk memesan kopi luwak agar di jalanan saya nggak ngantuk. Tapi ini leher masih gatel, panas, dan sakit. Ya sudah setelah itu saya segera ke mushalla danau dan shalat ashar. Wudhunya langsung di pancuran.

Begitu saya lepas jaket untuk wudlu, pluk, ada yang jatuh dari jaket.

Curug Cidulang

AAAAAKKKK… ULAT BULUUUU!!!

Pantes gatel-gatel! Ya sudah setelah shalat saya pulang, sudah pukul 17 lewat.

Saya tidak pakai mapsnya simbah, cuma kuat-kuatan insting saja dan mengandalkan penunjuk jalan yang tersedia. Saya yakin saya lewat jalan yang berbeda daripada yang di awal tadi.

Jalanannya sempit, cuma muat satu mobil. Ini aja pas ada mobil mau lewat saya harus menjatuhkan si Pirikidil dulu ke tanah lumpur agar mobilnya bisa lewat, begitu pun dengan pengendara lain di depan saya.

Cuma ketika saya ingin menggas kembali si Pirikidil, ternyata dia nyangkut di tanah. Nah si pengendara di depan saya kebetulan penumpangnya sedang turun dan melihat saya. Yup, hanya melihat, tidak membantu.

Sampai akhirnya saya menggas full dan Pirikidil melompat dari tanah dan mengamuk menuju si penumpang. Si penumpang kaget dikejar-kejar Pirikidil hahah, untung berhasil saya jinakkan saat ia sudah terpojok.

“Maaf ya hahahah.” Saya sambil tertawa. Si penumpang yang masih remaja itu cuma bisa melihat saya dengan tatapan yang saya tidak bisa gambarkan bagaimana ekspresinya wahahah.

Tapi rute yang satu ini meskipun turunannya tajam dan berbelok, nuansanya betul-betul indah. Coba lihat ini,

Rawa Gede Curug Cidulang

Berharap ada stasiun LRT di sekitar sini. Yaampun masih terhitung dekat dari Jakarta saja jangankan pakai angkot, pakai kendaraan pribadi saja harus siap mental menghadapi kontur jalan ekstrem dan penuh lubang. Setelah saya berkendara tak tahu juntrungannya, tiba lagi saya di jalan besar menuju pertigaan Jonggol.

Tidak jauh dari sana, saya kembali salah jalan, diikuti dengan seorang pengendara moge yang juga salah jalan, jadilah kami berdua berputar balik.

NAH! Kan sepanjang perjalanan tuh minim penerangan, dan si moge ini nyetirnya kalem. Tapi begitu mau saya salip si doi, dia justru ngebut. Ya udah saya ikutin dia aja, kan lampu depannya pakai led putih yang terang tuh, jadi saya bisa tahu kapan ada tikungan dan kapan harus minggir karena lobang.

Saya sepanjang perjalanan memutar musik, mulut saya berisik bernyanyi dan setengah berteriak-teriak. Beberapa kali penumpang moge itu melihat ke arah belakang seakan-akan terusik hehe. Tapi si pengendara nyetirnya kalem, meski ada mobil di depannya dia nggak mau nyalip.

Mungkin ada saat di mana si pengendara ‘risih’ sama saya jadi dia nyalip tapi saya juga otomatis ikutan nyalip. Saya seakan memberitahunya supaya jangan ninggalin saya sendirian di belakang.

“BEBBEEEETTTT!!!” Begitu saya memanggilnya hahah.

Begitu seterusnya. Ketika dia mengendarai sepanjang jalan, saya bernyanyi-nyanyi dengan suara yang cukup keras sepertinya hingga penumpangnya sering melihat kebelakang. Dan begitu si pengendara moge tersebut mulai ngebut saya kembali teriak,

“BEBBBEEEETTTT!!!” Dan dia kembali saya ikuti wahahah.

Tapi serius, jalanan betul-betul gelap. Dan si moge ini jalannya cukup santai meski dia disalip oleh banyak sepeda motor lain. Dia seakan baru ngebut begitu mulai risih dengan pengendara di belakangnya. Saya, tentu saja hahah.

“BEEEBBEEEEETTTTT!!!”

Begitu hingga 50km ke depan wahahah. Sampai akhirnya mungkin dia nyerah dan mempersilakan saya untuk menyalipnya. Dia rela berpelan-pelan di belakang mobil menunggu saya salip dia, dan si Bebbettt tidak pernah salip saya balik. Tapi untunglah saya sudah hampir sampai ke pertigaan Tajur Citeureup.

Betewe, kok saya manggil si pengendara moge itu si “Bebbettt”?

Simak video ini hahahah.


Galeri

Curug Cidulang Rawa Gede Curug Cidulang Rawa Gede Curug Cidulang Curug Cidulang Rawa Gede Rawa Gede Rawa Gede Curug Cidulang

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Dekat Namun Asing: Bogor, Curug Cibingbin

    Berikutnya
    Berakit-Rakit ke Air Terjun: Bogor Pamijahan, Curug Saderi


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas