Kebetulan Senin kemarin tanggal 12 Desember (wah tanggal cantik) adalah tanggal merah. Jujur sebenarnya saya ada rencana mengunjungi Tambun (Taman Bunga Nusantara, bukan yang di Bekasi) pada hari Minggunya, namun karena perkiraan saya akan macet parah di sekitar Puncak Cisarua, maka saya tahan hingga esoknya.
Jika ditanya apa motifnya saya ke Tambun (lagi, Taman Bunga Nusantara, bukan yang di Bekasi), sebenarnya saya hanya menghilangkan rasa bosan (baca:BeTe) saya di indekos yang cukup membuat gerah. Maka inisiatif saya ingin sesekali pergi ke suatu daerah yang cukup jauh untuk menyegarkan pikiran kembali. Kemudian terpikirlah Tambun yang katanya indah.
Betewe, setiap saya sebut ‘Tambun’ di sini artinya Taman Bunga Nusantara, bukan yang ada di Bekasi. Ehm, tidak, tidak ada maksud lain, saya hanya menyingkatnya saja menjadi Tambun karena menulis “Taman Bunga Nusantara” cukup membuang energi dan menghabiskan waktu. (Lebay)
Iya, saya sendirian saja waktu itu. Dengan berbekal informasi dari internet, saya berangkat jam 07.00 setelah nyabu (nyarapan bubur) menuju ke lokasi stasiun KRL terdekat. Saya pilih Stasiun Pasar Minggu.
Yang membuat senang, pada saat itu KRL tujuan Bogor yang saya tumpangi benar-benar kosong. Wah, saat yang pas untuk melanjutkan tidur, tetapi ternyata tidak bisa karena pikiran saya maunya melihat pemandangan pagi dari luar, terutama terlihatnya Gunung Gede dan Gunung Salak dari kaca jendela KRL.
Sampai Bogor, saya melanjutkan dengan angkot 03 hijau ke Baranangsiang di Bogor untuk turun di pertigaan Botani Square yang ada Jembatan Penyebrangan Orang (JPO)nya. Kemudian berpindah ke ELF L300 menuju Cianjur, yaitu mobil putih yang cukup besar dari angkot.
Bahkan di tiang listrik pertigaan tertempel tulisan “Cianjur” dan tanda panah ke arah mobil tersebut, dengan dihiasi background music berupa suara merdu dari calo angkutan yang menggiring calon penumpang ke mobil ELF tersebut. Dan baru mau jalan setelah terisi 15 penumpang dengan formasi dari depan: 3-4-4-4. Sempitnya kagak nahan.
Seperti biasa, mobil dan supirnya sangat tidak ramah ibu hamil, naik itu seperti adegan Fast and Furious karena mengejar waktu dan menghindari macet kendaraan pribadi dari tol Cisarua.
Waktu itu ELFnya lewat gang kecil ekstrem yang bersebelahan dengan tolnya. Melihat bus dan kendaraan pribadi macet panjang bahkan beberapa orang turun dari mobil untuk beristirahat. Wah, kasihan sekali. Ternyata penyebabnya adalah penyempitan jalur dari 5 lajur menjadi 2 bahkan 1!
Ternyata mungkin karena hari libur, One Way atau pemberlakuan satu arah tetap dilaksanakan. Arah ke Jakarta benar-benar ditutup. Tetapi nyatanya jalan jauh lebih lengang daripada berangkat di hari Sabtu atau Minggu.
Menghemat 1 jam perjalanan, dan ternyata juga menghemat ongkos ELF yang biasanya Rp. 30.000 menjadi Rp. 25.000. Oh, nanti bilang saja kepada supir atau penumpang lain bahwa ingin turun di Pasar Cipanas atau Mariwati.
Biasanya dibantu diarahkan penumpang lain. Saya juga begitu. Atau jika mau lewat GPS Google Maps, search Pasar Cipanas dan turun di ‘Jl. Belakang’ atau ‘Jl. Balakang Tengah’ tepat sebelum pasar Cipanas.
Terakhir lanjut angkot Kuning Ungu (saya tidak tahu nomor angkotnya berapa, atau bahkan tidak ada nomornya) yang bertujuan ke Mariwati. Angkotnya cukup sering. And then, enjoy the trip karena angkot tersebut mengantarkan penumpang hingga tepat di depan gerbang taman bunganya.
Sip, langsung gerbang. Itu artinya, jalan sedikit ke loket dan selanjutnya tinggal berbahagia. Tiket masuknya Rp. 30.000, plus flyer. Ketika kalian memutar turnstile setelah karcis disobek petugas, kalian pada saat itu memasuki dunia lain dari apa yang kalian telah lihat selama ini. Foto yang kalian lihat di bagian paling awal postingan ini, adalah pemandangan pertama setelah kalian masuk.
Alhamdulillah, Yaa Kariim, cuacanya cerah, meski sebagian. Tak sia-sia saya berdoa agar dicerahkan. Penting untuk dicatat, tidak mengulangi kejadian sewaktu saya mengunjungi Kebun Raya Cibodas, yang mana pada saat itu breesss… hujan besar! Deras sangat.
Saya malamnya seperti orang Jepang (ca ila) mengecek cuaca besok melalui ramalan cuaca. Dan saya agak kecewa karena Cianjur berawan dengan tingkat tutupan awan mendekati 100%. Akhirnya saya berdoa kepada Allah swt. agar besok dicerahkan. Karena saya paling senang memotret dalam keadaan cerah, apalagi awan cerahnya dapat.
Yang tidak mau capek, agar langsung menuju ke kanan. Ada mobil wara-wiri dengan tiket Rp. 5.000 rupiah mengantarkan kalian ke penjuru Tambun. Saya pada saat itu langsung ambil lurus menuju kumpulan dinosaurus. Di sana juga ada lokasi piknik bagi yang ingin bersantai menggelar tikar dan melamun tafakkur.
Jika sekumpulan pengunjung-pengunjung yang selfie itu dihilangkan, saya tidak seperti berada di negara saya sendiri.
Di sana yang harus kalian lakukan hanya satu. Menikmati. Sudah. Decak kagum saya bertambah ketika melewati taman Perancis, Allah Karim. Masya Allah indahnya. Saya jadi ingat masa-masa kecil dulu di mana ibu saya sering menyetel CD lagu love song jadul yang latarnya mirip ini. Judulnya “Love is Blue”. Waaaa… jangan diingat-ingat lagi masa-masa indah itu… jadi kangen.
Ada yang jualan hotdog dan makanan ringan. Setelah dari taman Perancis saya menemukan air mancur joged yang diiringi musik tertentu. Memang tidak seheboh di Purwakarta atau lebih-lebih Dubai. Tetapi ini cukup menarik untuk direkam, apalagi dikelilingi dengan pagar putih nan memesona.
Kemudian saya menemukan kafe, jika tidak salah namanya ada dahlia-dahlianya, dengan harganya yang sangat murah. Nasi goreng saja hanya Rp. 12.000,-. Karena sudah siang makanya saya serbu untuk isi bahan bakar. Kafenya berbentuk rumah, dengan dikelilingi taman-taman bunga dan kali kecil. Ih, mau punya rumah begini.
Dalamnya cukup keren, dengan pot dan foto bunga di mana-mana. Bahkan ada perpustakaan mungil di atasnya. Di pojoknya ada colokan. Menunya ada yang memakai sistem prasmanan, artinya boleh ambil sendiri lauknya. Bahkan salah satu pengunjungnya ada orang India juga. Nehi, Nehi!
Setelah makan, saya ingat tadi saya menemukan bangunan tinggi yang berkerumun para pengunjung di atasnya. Apa itu ya? Awal saya pikir mushalla, karena di atas bangunannya ada yang mencuat dan sesuatu yang bulat kecil menancap di tengahnya. Oh, ternyata hanya penangkal petir biasa… Saya kemudian menyebutnya “Menara Selfie”.
Saya naik tangga yang berputar-putar, ternyata ada 3 lantai. Dari atas pemandangannya Masya Allah. Kamera mana kamera? Di sebelah timur laut terlihat taman labirin. Ok, setelah puas ‘menggantung di langit’, maksudnya menikmati taman dari Menara Selfie, langsung hajar itu!Pada saat itu gerimis, rasanya lucu melihat payung-payung yang bergerak dari taman labirin. Walaupun tertulis uang masuk Rp. 2.000,- tetapi tidak ada yang menagih. Mungkin karena gerimis jadi gratis? Karena memang loketnya tidak ada. Saya mencoba masuk dan langsung berbelok ke kiri.
Ternyata labirinnya membosankan, sedikit jalan mati, hanya berputar-putar tidak jelas mengikuti alur labirin. Di tengah-tengah blok pijakannya hilang, hanya tanah biasa. Mana gerimis semakin membesar, tanahnya jeblog lagi. Akhirnya sepatu saya blepotan tanah. Saya membayangkan jika hujan tiba-tiba deras, bagaimana keluarnya? Di sana tertulis “Dilarang menerobos tanaman.”
Ketika sampai di tengah, ternyata hanya tempat duduk biasa. Saya hanya mengabadikan angsa yang membentuk hati, kemudian keluar lagi. Lalu ketika agak sampai ujung, saya menemukan sebuah keluarga kesulitan menemukan jalan keluar. Ternyata kali ini banyak jalan matinya. Ujung-ujungnya saya keluar dari tempat masuk tadi jika saya berbelok kanan.
Ada taman Amrik di samping kafe Dahlia, hanya saya tidak begitu tertarik. Kemudian saya kearah selatan berlawanan dengan yang tadi. Hingga akhirnya bertemu dengan kolam besar dengan figur besar seorang dewi yang mengeluarkan air mancur dari telapak tangannya. Malam-malam hidup nggak ya? Terlihat sedikit menyeramkan. Siapa nama dewi itu? Atau kanjeng ratu?
Kemudian ke sana lagi ada toilet gratis dan mushalla, taman Cina yang banyak bonsai besarnya, dan rumah kaca dengan tiket masuk Rp. 2.000,-. Yang ini uangnya benar-benar ditagih. Di rumah kaca bahkan saya bertemu dengan karyawan klien saya yang menyapa saya duluan. Wah, mereka kaget begitu tahu saya ke sini sendiri dengan angkutan umum.
Catatan saya di sini satu. Banyak jasa prewedding bahkan benar-benar disediakan fasilitasnya.
Setelah Ashar saya pulang. Di gerbang sudah banyak angkot ngetime menunggu para calon penumpang yang ingin ke Pasar Cipanas kembali. Tarif angkotnya sama, Rp. 5.000,-. Nanti minta turun di Istana Cipanas, banyak orang-orang yang mau ke Jakarta menunggu bus ke Kampung Rambutan.
Bukan cuma PO. Marita dan Doa Ibu, buanyak! Jeda tunggu bus 15 hingga 30 menit sekali. Saya pada saat itu menaiki PO. Merdeka Garut – Kampung Rambutan. Ternyata tarifnya murah walaupun AC, hanya Rp. 20.000,-!
Setelah di Kampung Rambutan, saya melanjutkan dengan TJ Busway.
Pingback: Desain Taman Kelas Dari Bambu - Desain Rumah 36