Sebenarnya ini drama tahun lalu, “Curug yang Tertukar“. Di mana saya sebenarnya ingin mengunjungi Curug Cikaracak sejak tahun kemarin. Tapi ya sudahlah setidaknya rezeki saya bisa mengunjungi air terjun ini. Wheheh.
Ya, ya, ya… ogut paham. Ke Curug Cikaracak tidak ada angkutan umum pendukung. Jadinya ogut harus memanfaatkan teman ogut untuk mengunjungi air terjun yang katanya tersembunyi ini. Saya lihat di Google Maps aksesnya masih beton dan lebarnya hanya beberapa jengkal, jadi saya kasih ‘warning’ teman saya di awal.
Eeee… teman saya baru bisa datang ba’da Zhuhur, jam satu lewat itu pun. Alasannya karena dia ada diundang temannya nikah. Sebentar, kalimatnya ambigu. Saya ulangi, dia diundang ke pernikahan temannya. Akhirnya? Ya berangkatnya siang sumpah. Mana tumben hari Sabtu macetnya minta ampret!
Baru sampai Bogor sudah jam 3 lewat. Masih lebih dari 20km lagi, saya dan teman saya pun berharap-harap cemas jika masih diizinkan masuk ke kawasan air terjun. Saya akhirnya minggir dahulu untuk istirahat dan shalat Ashar.
Jam 4, semakin pasrah. Dilanjutin? Ya iya dong! Sudah 3/4 perjalanan nih.
Di Ciawi juga macet parah, terjebak di antara gerombolan mobil yang pada ingin pewe di Puncak. Broh, ini ngelangkahnya gimana? Di sana mobil di sini mobil, di tengah-tengah orang ngupil. Sampai akhirnya beberapa lama baru mobil pada bisa bergerak lagi, teman saya memanuver kendaraannya sebelum akhirnya para mobil istirahat di tempat lagi.
Kami lurus tidak belok ke atas alias ke Puncak, karena memang air terjunnya ada di arah Sukabumi. Btw ada banyak pintu masuk ke jalan tol yang baru, dengan pemandangan full Gunung Salak. MasyaAllah. Ini serius, gunungnya benar-benar memblok pemandangan seluruhnya. Saking terpananya saya lupa memberhentikan teman saya untuk mengabadikan pemandangan yang jarang saya lihat itu. Maklum, jarang ke Bogor yang terlalu selatannya sih…
Belum lagi di belakang gunung, mataharinya sedang main petak umpet yang gampang ketahuan. Pemandangannya jadi sekseh badai bang…! Pas nengok ke samping, sudah berdiri dengan gagah gunung Gede Pangrango.
Dulu OB di kantor saya menyarankan untuk ke Wonosobo, dimana di sana ada jalan yang diapit dua gunung, yaitu Sindoro dan Sumbing. Ehm, makasih deh, Bogor juga punya hehe…
Kami berbelok di jalan Cinagara, yang jalannya lebar bagus, aspal lagi. Semoga jalan aspalnya tetap berkesinambungan setidaknya sampai 500 meter sebelum gerbang masuk.
Jam setengah lima. Matahari semakin bersiap untuk say gutbai.
Semakin ke dalam, jalanan semakin menyempit dan menyempit, ya Allah semoga tidak benar-benar menjadi sempit yang cuma beberapa jengkal itu lebarnya. Namun saya cukup terpana juga melihat semuanya sudah aspal. Semoga tidak setiba-tiba berubah jadi beton.
Di sana banyak belokan, membuat teman saya banyak bertanya. Saya hanya jawab untuk mengikuti aspal saja.
Dan memang benar, di ujung aspal kami dicegat beberapa kawanan beg… eh bukan, sekawanan anak muda memberhentikan kami untuk menagih biaya park….
“Udah tutup kang.”
Yah… Saya dan teman saya hanya bisa berlempar pandang. Ya sudah jika harus balik lagi, namanya belum rezeki.
“Tutupnya jam berapa kang?” Saya bertanya.
“Jam 4 kang.” Kata mereka.
“Mas, di sana enggak ada apa-apa kan?” Teman saya sepertinya masih ingin di sana.
“Enggak ada kok, ini masih terhitung musim kemarau. Kalau musim hujan lebih baik jangan soalnya khawatir banjir. Cuma jalan kesananya jauh, paling maghrib bakalan baru sampai.” Kata salah satu dari para pemuda.
“Gini kang, kami ada tugas kampus jadi harus melihat-lihat saja, di sana juga hanya foto-foto saja kok untuk dipajang di media sosial.” Teman saya dengan watadosnya menjelaskan.
“Pret!” Dalam hati saya.
Akhirnya kami diizinkan parkir dan membayar biaya parkir Rp10.000 untuk sepeda motor. Kalau mobil dikenakan Rp20.000. Pejalan kaki gratis I guess. Tapi saya berpikir siapa juga ya yang ingin berjalan kaki sampai sini? Memang jalanan sih aspal, namun dari mulut jalan Cinagara yang notabene sudah tidak ada angkot pun jaraknya sudah 8 km.
Jam 16.51. Wew. Saya mempercepat langkah. Jalannya benar-benar masih pesawahan. Namun insting saya mengatakan bahwa jarak masih 1km lebih untuk ke curugnya, sedangkan kami baru terbebas dari jalan beton perkampungan pukul 17.01.
Teman saya berkata, “Santai aja”.
“Pret!” Kali ini perkataan itu sudah tidak lagi bersemayam di hati saya.
Namun di tengah itu… jePret!
Samar-samar terlihat gunung Gede dari balik perbukitan sebelum akhirnya babak belur dihajar awan. Jalan tanah setapak sudah selesai digantikan dengan jalan semen yang hanya muat satu kaki saja mengingat itu sebenarnya hanyalah pembatas parit.
Setelah terus berjalan lurus sambil bengong hingga semennya habis, kini tiba masuk ke areal perkebunan yang jalannya full tanah. Saya seharusnya tahu jika kami masih 1/4 perjalanan. Padahal mungkin kami sudah berjalan sejauh 500m.
Hah! Ayo cumungdth! Kami berpapasan dengan pengunjung terakhir yang baru pulang dari areal curug.
“Air terjunnya enggak kering kan?” Saya membuka sesi percakapan.
“Enggak kok, air terjunnya bagus airnya.”
NICE!
Saya akhirnya setengah berlari di tengah pemandangan yang sebentar lagi diliputi oleh kegelapan malam. Kali ini pemandangan di depan saya berubah menjadi apitan tebing-tebing tinggi. Saya tebak air terjunnya ada di pojok sana.
Yup, setelah berjalan jauh di antara pematang sawah dan kebun-kebun. Kini jalan tanah berubah menjadi jalan batu kali, ada sesi nyebrang-nyebrangnya dikiittttt… hehe… Dikit kok, paling hanya selangkah dan dua langkah. Namun memang air terjunnya sudah semakin dekat.
Sepanjang jalan banyak petunjuk arahnya kok, jadi seharusnya jika mengikuti jalan yang ada, tidak akan tersasar.
Cumaa… sesi mengesankannya mungkin ketika rutenya sudah sepertiga akhir karena pengunjung dituntut untuk memilih jalannya masing-masing di antara bebatuan sungai. Sungainya bukan sungai besar kok, mungkin dapat dikatakan aliran air saja. Kami lupa waktu sudah menunjukkan 17.21. Alias sudah semakin gelap.
Pada akhirnya kami melihat atap-atap saung yang kami sudah dapat tebak di sanalah air terjunnya berada.
Berarti hanya tinggal menanjak beberapa lagi. Hash, hesh, hosh. Oh, sepanjang perjalanan jalurnya landai kok, sekali menanjak pun hanya 5 hingga 10 undakan tangga alami. Di tengah-tengah sudah ada saung untuk mereka yang kecapekan. Tengkyu deh siapa pun yang sudah membuatkan ini.
Yup, air terjunnya sudah terlihat, pukul 17.31. Tapi teman saya menyuruh saya untuk tidak berlama-lama. Saya cemberut. Saya sarankan untuk memberikan waktu 15 menit untuk tektek-bengek di areal air terjun. Gila aja baru dateng sudah pulang lagi. Teman saya akhirnya setuju.
Dapatlah beberapa jepretan kilat sekaligus menikmati air terjun secara ekspres. Air terjunnya tinggi juga broh…
Saya juga dapat kesempatan untuk difoto, di mana ini momen langka untuk orang yang senang solo travelling seperti saya (halah, bilang aja jombles).
Kami langsung buru-buru berkemas untuk kembali pulang sebab mentari sudah tidak lagi kuat untuk menopang hari. Yahhh, yahhhh… mataharinya jangan K.O. dulu dong… Di sini soalnya bakalan gelap banget!
Langit semakin memerah dan memerah. Ya ampun makin horor aja ya ini tempat. Saya dan teman saya semakin mempercepat langkah. Semoga tidak ada penampakan yang terjepret dari foto berikut,
Apalagi kabel headset saya kemudian di tarik oleh teman saya dan dibisikkan sesuatu ke telinga saya.
“Cepetan, kita diketawain kuntilanak.”
Wait, what? Oh, iya, saya baru sadar teman saya dapat melihat hal-hal astral. Dia bilang katanya di belakang saya sewaktu foto-foto ada miss Kunti merah, melayang mendekat.
17.58 dan kami masih berada di sekitar sungai.
“Kamu dengar tadi suara ‘ciak, ciak, ciak’?” Teman saya bertanya.
Oh, itu saya pikir tadinya suara anak soang, tapi saya juga baru sadar bahwa di sana tidak ada soang sama sekali. Saya menatap muka teman saya dan dia mengangguk. Hiii…
“Di sini juga ada macan kumbang jadi-jadian.”
Wah! kita nggak lagi syuting film naga-nagaan Ind*siar kan? Teman saya melihat tapaknya yang seperti kucing, namun yang ini ukurannya jumbo, tercetak di antara tanah-tanah pesawahan. Kemudian teman saya berkata agar sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara berisik ketika jalan, dia bilang bahwa ada yang memberitahunya ‘yang punya daerah itu’ akan datang sebentar lagi.
Seperti kerajaan hantu gitu ya? Saya sih sebenarnya tidak terlalu dianggap serius untuk hal yang seperti itu, justru saya memasang musik horor, hahah, di headset saya tapinya. Sama-sama makhluk Allah kok, kita gak ganggu. Atau mungkin para hantu risih karena ada manusia di jam mereka? Bisa jadi. Lokasi uji nyali di penghujung 2019 nih.
Langit semakin memerah, jauh lebih merah dibandingkan sebelumnya. Padahal kami baru setengah perjalanan.
Dunia semakin gelap ketika kami kembali memasuki perkebunan di mana pohon-pohonnya melengkung berhadapan satu sama lain. Kata teman saya, di sanalah gerbang pembatasnya. Wah!
Akhirnya 18.11 kami kembali ke areal pesawahan, dengan cahaya yang tidak lagi bersahabat. Duh, aduh, jadi tur horor begini ya? Sensasinya saya puas sih, kayaknya saya bakal dapet inspirasi bikin Kripikpasta nih. Good, good bhuahahahah!
Akhirnya setelah beberapa lama berjalan di daerah yang kami hampir tidak bisa lihat ini, kami melihat ada cahaya dari rumah penduduk, yang ternyata itu berasal dari lampu mushalla. Nice! Kami bisa shalat maghrib meskipun badan bauk karena serangan keringat yang tidak kenal kompromi. Di sana banyak anjing, sering menyalak kami, tapi begitu saya dekati, anjingnya kabur.
Ya sudah kami selesai shalat maghrib di mushalla yang ternyata milik seorang pengusaha yang membuka jasa penginapan (keren! Btw di mushallanya yang berbentuk gubug itu juga ada colokannya juga).
Kata sang Pengusaha, tempat air wudhunya belum dipasang filter karena kelupaan. Semoga tidak ada kotoran yang keluar lewat kran air wudlu bhehehehe…
Oh, dan inilah pula alasan mengapa banyak pengelola yang tidak mengizinkan pengunjung masuk dan menutup air terjun yang dikelolanya, di atas jam 4 sore.
Sepanjang perjalanan, masih banyak juga jalan yang masih belum tersentuh lampu jalan, jadi lampu depan sepeda motor teman saya membantu segala sesuatunya, sisanya dibantu oleh lampu pemukiman penduduk yang kebetulan sedang kami lewati. Sebenarnya ini jadi concern juga sih, tapi mengingat jalanan sudah diaspal mulus, jadinya saya hanya berharap semoga penerangan dapat menjadi tugas pemerintah berikutnya.
Selama perjalanan keluar menuju jalan raya Bogor – Sukabumi, pemandangan kami kembali diblok oleh gunung Salak yang berhiaskan lampu-lampu rumah penduduk, di mana para cahaya lampu itu seperti membentuk rute khusus ke atas gunung. Subhanallahi wa bihamdih.
Wakk! Macet di Bogor efek malem minggu kali yakk?!