Curug Puncak Manik

Setelah puas menuju Curug Citambur kemarin, saya sebenernya memiliki sebuah ‘cita-cita’ lain yaitu ke Curug Cikaso yang ada di Sukabumi Selatan. Jadi, untuk yang senang berpetualang dengan angkutan umum saya ucapkan I’M SO SORRY, itulah mengapa saya mengajak teman saya dengan sepeda motornya agar saya dapat mengunjungi Curug Cikaso. Tetapi jangan khawatir, angkoters dapat mengklik tag “wisata dengan angkot” di sidebar.

“Bawa piso ya Nan?” Teman saya berwasiat sebelum kami berangkat.

Hah? Untuk apa? Mau masak atau bunuh orang? Ternyata oh ternyata, jalur yang akan dilalui adalah jalur super gelap yang memang sarat begal, terutama di daerah kebun kelapa sawit sebelum mengarah ke Palabuhan Ratu dan setelahnya.

Curug Cikaso

Yang saya beri kotak merah adalah lokasi rawan dan nihil pencahayaan (bukan minim lagi)

Dengan bermodal telan ludah, malam itu kami berangkat pukul 20.00 dengan jarak 189km dari Jakarta. Saya membawa laptop baru yang bernilai Rp12 juta, dengan baca bismillah, kami berangkat. Mengapa bawa laptop? Khawatir tiba-tiba customer saya ada yang mengalami kendala dan butuh bantuan saya dengan segera. Urgent, kira-kira bahasa Sundanya demikian.


Petualangan dua dunia

Melewati Bogor Cigombong dan belok kanan di pertigaan Cibadak, perjalanan horor kami dimulai. Mungkin beberapa kilo pertama masih dapat dikatakan banyak pencahayaan meski beberapa ratus meter sekali, namun setelah masuk ke perkebunan kelapa sawit…

“Nanda! Peluk saya!” Kata teman saya. Dunia berubah menjadi gelap seketika, segelap-gelapnya.

Ah, ini bukan saatnya untuk romantis (*uooeeekk). Karena badannya empuk, jadi saya dengan sangat senang hati memeluknya di tengah gelap (saya masih normal kok). Kadang begal mengikuti dari belakang, jadi saya harus ‘menempel’ dengan teman saya untuk meminimalisir tas yang berisi harta karun ini ditarik ke belakang. Mengapa tasnya tidak ditaruh di depan? Tasnya gede bok! Berikut video yang menggambarkan gelapnya perjalanan,

Tidak masalah dengan setan, yang masalah itu jika ada 4 orang bawa pisau terus *aaaakkkk. Oh, jadi ini toh maksud teman saya mengapa saya harus bawa pisau. Asikk main bunuh-bunuhan. Jiwa psikopat saya seketika langsung berkibar pada saat itu juga. Namun tentu saja, hanya berdua di tengah kegelapan itu benar-benar menguras hormon adrenalin. Bibir saya tidak ada hentinya dzikir. Ya Allah, lindungilah ~

Nyali saya benar-benar dicabik-cabik malam itu. Bukan hanya masalah begal, namun jalanan yang tidak bisa ditebak. Kadang jalan di depan benar-benar membuat kuis tersendiri yang harus ditebak secepat mungkin. Apakah setelah itu jalannya belok, turun, atau turun sambil berbelok tajam? Ditambah lagi, jam sudah menunjukkan lebih dari pukul 12 malam. Bahasa kasarnya, ditemenin mbak Kunti juga nggak papa deh yang penting biar ada temennya dari begal yang mungkin sedang mencari mangsa bhahah.


Suasana kelabu

Akhirnya jam satu malam lebih kami memutuskan untuk istirahat di warung apapun yang masih buka. Alhamdulillah dapat jam tidur lebih banyak dari kemarin saat perjalanan ke Citambur, tidak terlalu dingin juga. Jam 5 saya bangun, dan teman saya masih di awang-awang. Saya bangunkan dengan lembut pun, matanya masih banyak lemnya. Akhirnya saya beri waktu hingga setengah enam pagi untuk melanjutkan perjalanan.

Kami shalat Shubuh di masjid seketemunya.

Tapi, langitnya berawan. Yah… padahal saya maunya cerah. Ya Allah itu awan-awan usir dulu kek… Saya sudah jauh-jauh ingin saat yang benar-benar terang karena matahari pagi itu seksi. Ah…

Eh, ada angkot, ternyata di daerah kecil itu ada terminal angkot yang mengarah hingga Geopark Ciletuh. Namun sayangnya, tidak ada yang sampai Curug Cikaso. Atau ada, namun harus berjalan sekitar pas 1km terlebih dahulu. Tidak masalah sih ya sebenarnya. Yang masalah adalah, saya belum menemukan trayek angkot yang lengkap di kabupaten Sukabumi. Padahal ini selangkah lagi untuk menjadikan angkot travellers seperti saya dapat berbahagia.

Sampai Curug Cikaso, dikenakan biaya Rp3.000,-. Mampirlah di warung tempat parkir. Sepi. Dan warung belum sepenuhnya buka. Tetapi saya dapat tips dari penjaga warung, bahwa:

  1. Ada dua jalan menuju curug, pakai perahu Rp80ribu, atau jalan kaki 200 meter. Tentu saja kami pilih jalan kaki, kirain sampe 3 kilometer jauhnya.
  2. Jika ada yang mengikuti dan menawarkan jadi pemandu, tolak saja. Itu pungli. Jalannya sudah jelas kok, jadi cukup ikuti jalan saja.
  3. Nanti di bawah bayar lagi Rp15ribu untuk biaya swadaya, yang tadi Rp3ribu itu adalah biaya retribusi untuk pemerintah. (What? Dipisah begitu? Memang efisien ya untuk turis?)

Skap skip, dan langit masih mendung (yyahhhhh), sepanjang jalan menuju curug saya habiskan untuk foto-foto,

Curug Cikaso Curug Cikaso Curug Cikaso Curug Cikaso

Seleb gak jelas, jangan diperhatikan.

Akhirnya curug pun sampai di depan mata… ahhmmmm… yay? Apa perlu saya berkata yay?

Curug Cikaso

HARAPAN

Curug Cikaso

KENYATAAN

DAFUQ?!

Baiklah, ini Curug Cilember, episode ke-dua, di mana melihat keran netes di indekos saya sepertinya bisa jauh lebih baik. Mau nangis… beneran… mau nangis… WUUAAAAA!!!! Air mata saya sepertinya memiliki debit air lebih baik daripada curugnya. Iya, musim kemarau kali ya, jadi… ya sudahlah.

Teman saya bete juga, dan dia mengajak saya agar mencari curug yang lain. Oh, saya ada satu lagi! Ayok. Dan matahari tiba-tiba mengangguk dengan rencana kami keluar dari balik awan, breemmm!!!


Audisi Fear Factor

Sebelum itu, ada pemandangan ok dalam perjalanan kami ke curug Puncak Manik. Masih satu lokasi dengan Geopark Ciletuh,

Curug Cikaso

Beautiful, isn’t it? Subhanallah!

Jalan menuju curug, menanjak dan hancur habis. Yang parkir pun sedikit. Jadi pintu masuknya ada dua, via resmi pemerintah atau via Google Maps. Kalau yang resmi pemerintah sudah dibangun tangga dan lebih menyenangkan. Jika via swadaya warga yang juga ditunjukkan Google Maps, masih tanah. Ok tidak masalah.

Curug Puncak Manik

Saya sudah biasa. Kanan tebing dan kiri jurang, dengan kerikil-kerikil yang licin dan tanah yang tidak bersahabat ketika hujan. Maka treknya tidak masalah yang katanya hanya 500 meter. Namun… makin ke dalam itu ternyata…

Curug Puncak Manik

How this way is supposed to be passed?!

Enggak! Enggak! Apalagi kerikil-kerikil kurang ajar membuat saya terpeleset sepanjang perjalanan. Dengan mengandalkan batang-batang pohon yang ada, saya benar-benar antara hidup dan mati pada saat itu. Ya Allah, kasihan pengunjung yang lain! Jika itu belum menjadi sebuah siksaan tersendiri, saya tunjukkan yang lebih brutal,

Curug Puncak Manik

YUP, KALIAN HARUS LEWAT SINI!

Tidak ada batu di tengah sungai yang saling berdekatan, dan itu menjadi resiko kalian. Dan resikonya jauh lebih besar lagi jika musim hujan dan air sungai meluap. Saya stuck hingga beberapa lama, sedangkan teman saya sudah nekat dan berada di seberang. Bukan tak berani menyebrang, namun saya bawa kamera, HP, dan tentu saja, harta karun yang bernilai lebih dari 10 juta rupiah itu! Teman saya mengusulkan untuk pulang saja, namun saya bantah, “Tidak!”.

Akhirnya berpegangan pada batang pohon yang sengaja dijuntaikan (mungkin) yang terlihat pada foto di atas, saya sengaja membuat sepatu saya basah menginjak bebatuan licin yang ada di dalam sungai. Sampai akhirnya saya sampai di tempat yang saya tidak bisa berbuat apapun, dan saya menyuruh teman saya untuk menangkap tas saya.

Tas saya lempar ke arah teman saya dan…

PLUNGGG!!!

TIDDAAAKKKK!!!!!

Tas saya terjun bebas ke sungai dan mulai hanyut! Alhamdulillah kemudian tertangkap! CEPETAN KELUARIN! SELAMETIN SEMUA ISI TAS!!! Basah kuyup tasquuh. Alhamdulillah masih bisa diselamatkan isinya. Jantung saya hampir diletuskan dengan peristiwa tadi.

Akhirnya saya istirahat di warung seberang yang dekat tangga ribuan dari jalur resmi pemerintah bersama dengan barang-barang saya yang dijemur. Sambil menunggu kering, saya memesan mi rebus dan berfoto-foto sebentar dari tangga.

Curug Puncak Manik

Not bad. Akhirnya saya meminta teman saya agar pulang lewat tangga. Tetapi teman saya bersikeras ingin pulang lewat jalur yang tadi, hingga akhirnya dia menyerah dan pulang lewat tangga. Amazing sih pemandangan air terjunnya di tangga, tapi…

Siapa lagi yang sanggup untuk naik sekitar 2.000 anak tangga dalam waktu singkat?!

Otot diafragma saya sakit, saya tumben begitu parah ngos-ngosannya meskipun saya tahan banting dengan yang seperti ini. Mungkin karena sudah disiksa habis-habisan di trek sebelumnya ya? Teman saya pun banjir keringat. Semuanya mengeluh. Ketika sampai atas dan ditanya berapa jauh ke parkiran trek swadaya, maka jawabannya adalah 10 kilometer! Saya menyuruh teman saya agar naik ojeg mengambil sepeda motornya.

Namun tukang ojegnya menembak di harga 50 ribu! Saya tawar 25 dia menolak keras. Akhirnya deal di angka 40 ribu. Sambil menunggu teman saya itu, saya mengobrol dengan seorang bapak di warungnya. Intinya yang saya dengar dari si bapak, cukup banyak orang dari Tangerang dan Jakarta yang masuk lewat jalur Google Maps/Swadaya, namun pulang lewat tangga, bahkan ada yang hingga muntah-muntah, mereka pun melanjutkan dengan ojeg ke tempat mereka parkir pertama kali untuk mengambil mobil mereka.


Kesimpulan

AH! Menyebalkan. Indah sih indah! Namun jika orang-orang pada kapok, pada akhirnya pendapatan yang diterima dari tempat wisata tersebut tidak akan mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari meski hanya sebagai pelengkap.

Dan benar saja, tempat wisata tersebut dapat dikatakan cukup sepi. Biarlah tempat-tempat wisata seperti itu tetap sepi hingga aksesnya diperbaiki pemerintah dan swadaya setempat. Resiko jangan terlalu dibebankan pada customer, karena yang ingin untung sebenarnya adalah pengelola wisata. Customer/pengunjung dapat dengan mudah mencari alternatif wisata lain.

Please. Manajemen! Manajemen! Jangan menganggap remeh itu jika tidak ingin dianggap remeh oleh para profesional sebelum akhirnya diambil alih.

Ya sudah, 1 jam akhirnya teman saya kembali dan mengantar saya pulang. Yang pasti saya tidak akan kembali ke sini. Saya sendiri tidak memperhatikan dari mana akses masuk yang resminya dari pemerintah, yang saya ingat jalanan yang super berbatu beberapa puluh kilometer hingga saya sempat turun dari jok dan berjalan puluhan/ratusan meter karena teman saya merasa kesulitan sebelum kembali sampai ke aspal.

Dah, tidak ada galeri.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Ustadz Gaul dan Kiasan Gaul, Bagaimana Konteksnya?

    Berikutnya
    DIARI PROGRAMMER #1, Android: Google Maps Di Fragment


  • 1 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    1. Semoga ketemu curug yang sesuai ekspektasi ya… Jangan sampai bunuh-bunuhan… wkwkwk

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas