Well, sebenarnya minggu itu saya sedang terlalu malas untuk berjalan-jalan (kayaknya emang selalu males deh sampe bosen dengernya). Serius, saya hanya ingin berlama-lama di atas kasur empuk, mengelus-elus guling yang begitu pas di dada, temperaturnya maksudnya.
Tapi… saya kangen juga jewer-jewer si Pirikidil untuk kembali melalangbuana lagi. Saya hanya memutar gas, sisanya merupakan job descnya si Pirikidil dalam memindahkan tubuh saya ke mana pun sesuai keinginan saya. Mirip Jin Tomang gitu ya yang bisa berpindah sesuka hati. Cuma Jin Tomang yang ini ganteng sekelas Lee Min Ho lho…
*Lee Min Ho tiba-tiba bersin-bersin, kata dia, “kayaknya ada seseorang yang nggak ngenakin lagi ngomongin gue neh!”
Yasudadeh, saya ingat ada beberapa air terjun lagi di Bogor yang memang belum saya jamah karena begitu bencinya doi sama angkot. Akhirnya mau nggak mau saya harus ke sana pakai kendaraan pribadi. Cuss lah.
Well, jam 11 lewat. Kayaknya sih cuma 2 jam perjalanan, saya nggak tahu.
Rutenya familiar, saya sudah hafal jalannya, bahkan sambil merem pun saya bisa sampai… sampai liang kubur maksudnya. Ya iyalah, siapa juga yang mau nyetir sambil merem? Emangnya Lambat? Eh, Limbat? Btw itu orang kemana sekarang ya?
Tentu saja saya mengambil rute lewat jalan Raya Bogor, terus lurusss aja sampe bosen. Betul, arahnya ke Sentul yang saya pernah belajar sepeda motor itu, di sanalah saya pertama kali menjinakkan si Pirikidil yang masih asing dengan tuannya, hingga pernah mengalami tabrakan parah hahahah! Majikan yang ja’at!
Eh, betewe itu Gunung Pancar lagi! Hai gunung yang tidak pernah masuk peta wahahah. Bener loh, selama ini kita cuma tahu kalo gunung di Jawa Barat itu Gunung Salak, Gunung Gede-Pangrango, Gunung Ceremai, Gunung Galunggung, dan gunung-gunung yang bertempat tinggal di Garut itu.
Kita tidak pernah tahu apa itu Gunung Wayang, Gunung Gagak, Gunung Dahu, Gunung Halimun, bahkan kemarin di Subang saya nemu gunung yang bernama Gunung Canggah. Hayo, siapa yang baru denger gunung-gunung itu cungg! Katanya pecinta alam, tapi nama gunung belakang rumah sendiri masih nggak tau hehe…
Kembali ke Gunung Pancar yang terlihat membahana sepanjang jalan Sentul yang dikelola swasta itu, tapi… something is not right. Astaghfirullah gunungnya terluka! Sama seperti hati diriQuhh! (Nggak nanyaaa!!!)
Tapi serius, gunungnya benar-benar ‘terluka’. Aduh… saya lihat Gunung Pancar sudah memiliki jalur botak, seperti habis longsor. Sepertinya banyak orang-orang yang menjadikan gunungnya sebuah pertambangan. Nyari apaan sih ya orang-orang yang pakai alat berat itu menggali-gali gunung begitu? Gunungnya kan jadi kesakitan.
Yaudalah, saya lanjut shalat zhuhur di masjid mangkok (nggak tahu, saya nyebutnya begitu, kubahnya mirip mangkok sih) di Sentul yang kalau nggak salah namanya masjid Munawaroh ya.
Setelah itu, saya masuk ke jalan Bojong Koneng! Asik…
Saya betul-betul kaget ketika jalan raya Bojong Koneng itu nggak seluas yang saya kira, ternyata cuma muat dua mobil rapet. Tentu saja, jalanan seringnya jadi macet hanya karena dua mobil saling berpapasan. Di sepanjang jalan itu ternyata banyak juga mobil plat B. Yaiyadong, yang namanya pengen liburan gimana sih? Apalagi Curug Bidadari udah dikelola swasta, anggapannya udah worth it dari segi fasilitas dan pelayanan gitu loh.
Sampai akhirnya saya masuk ke jalan yang menurut plang yang ukurannya mini betul kek kecoa di belakang lemari itu tertulis Curug Bidadari dan Curug Cibingbin. Nah ini dia, baiklah saya cus masuk.
Well, ternyata jalanannya lebih sempit dari yang tadi. Ini mobil mana pada lalu lalang juga. Elah, kenapa nggak dilebarin sih kawasan wisata begini?
Yah, seenggaknya jalannya beton. Eh, beton atau aspal ya? Saya yakinnya sih beton. Tapi yasudalah, waktu saya liat via produk street viewnya simbah, jalanannya masih cukup jelek dan nggak terawat. Ternyata sudah banyak berubah sampai si Pirikidil dibuat happi sepanjang jalan.
Saya terus melaju menikmati setiap pemandangan yang mungkin, hingga akhirnya saya disambut heboh oleh sebuah spanduk.
Yeey! Dan di depan saya persis sudah tersedia lapangan untuk parkir mobil. Jadi untuk yang bawa mobil, dianjurkan dengan sangat untuk melipir parkir di lapangan itu ya. Sedangkan pengguna sepeda motor seperti saya ini dengan melenggang halus bisa berjalan lebih memasuki kawasannya.
Terlihat juga di sepanjang jalan ada beberapa keluarga berpakaian apik sedang berjalan menuju lapangan. Pasti habis dari air terjun saya yakin seratus persen. Saya hanya terus menggas si Pirikidil dan EBUSET JALANANNYA BERUBAH TOTAL 180 DERAJAT! Ini serius saya males banget lewat jalan beginian.
“Aduh, aduh…”
Itu bukan suara saya, tapi suaranya si Pirikidil yang kembali berhadapan dengan jalan model begitu. Saya juga betul-betul harus mengatur keseimbangan selama roda-roda si Pirikidil ditolak-tolak oleh para batu ganas.
Ah! Kelamaan! Saya akhirnya menggas dengan bantuan kaki saja kayak anak bocah baru belajar sepeda roda dua. 600 meter kira-kira saya begitu, saya kemudian dihadapkan dengan sebuah halaman lapang yang cukup luas di mana ada beberapa warung yang tersedia.
Saya parkir di situ saja. Bodo amat.
“Air terjun masih jauh ya Bu?” Saya tanya kepada pemilik warung sambil mengambil sebotol air mineral.
“Jauh kang…” Jawab si ibu simpel dan realistis.
Tapi saya sudah kebal sih sama jawaban seperti itu hahah. Saya lihat beberapa sepeda motor memberanikan diri lewat jalanan yang tidak bersahabat itu. Saya… hanya tidak ingin ambil resiko dan lebih memilih melanjutkan berjalan kaki biar saya jadi lebih slim ~
Oke, sebelumnya saya katakan bahwa rute sebelum gerbang masuknya ada tiga tanjakan. Tanjakan pertama itu di depan mata saya. Duh, duh, tanjakannya sebenernya gampang sih. Tapi mungkin karena saya udah jarang naik busway lagi semenjak wabah jadinya saya jarang jalan kaki, kecapean parah deh.
Okey, saya kembali berjalan dan bertemu dengan belokan yang setelahnya terdapat tanjakan fase ke dua.
Byuurrr… sebelum saya tiba ke air terjunnya pun, keringat di tubuh saya sudah buat air terjunnya sendiri. Untung di atas ada pondok jadi saya bisa melonjor di sana dengan baju yang sudah lepek ini. Di tengah-tengah itu saya lihat beberapa orang dengan santainya berkendara di jalan yang tidak bisa disebut jalan itu. Sudah biasa mungkin, jadi nggak ada yang spesial.
Jam berapa ini? Oh, pukul dua lewat.
What? Pukul dua lewat? Saya kembali bergegas lagi menuju tanjakan terakhir. Jarak dari satu tanjakan ke tanjakan yang lainnya nggak terlalu jauh sih, paling cuma 200 meteran.
Dan pada akhirnya setelah saya berjalan sedikit di atas tanjakan terakhir itu…
Tara…
Wah saya dicegat oleh beberapa pemuda. Dia menegur saya dengan nada yang saya nggak tahu, antara lembut atau seperti ketakutan melihat saya. Aduh jeng, jangan-jangan diriQuh memang jelmaan Jin Tomang lagi hahah. Padahal ganteng begini kok! *muntahJamaah
“Mo… mohon maaf kang… ini… ada biaya masuknya.”
“Berapa?” Saya bertanya dengan mantap.
“A… i… itu… lima belas ribu kang.”
Ahelah gugup banget sih, nggak bakal saya mangsa kok. Tapi bagus juga sih, mungkin bisa saya anggap sebagai rasa hormat sama pelanggan hahah. Tapi Rp15.000? Agak sedikit lebih mahal untuk wisata air terjun yang masih dikelola mandiri oleh warga jika dibandingkan dengan air-air terjun lain yang saya sering sambangi.
Nggak masalah sih bagi saya, kantong saya rogoh dan saya bisa kembali melala-melili sepanjang jalan. Katanya jalanannya sudah rata sih, jarak ke air terjunnya setengah dari jarak yang tadi. Okai mokai!
Sesampainya di air terjun, saya betul-betul bahagia ketika saya tahu kalau saya sendirian saja di tempat itu… sampai akhirnya saya sadari di air terjun tingkat duanya sudah ada seorang keluarga yang juga sedang bahagia selfie-selfie dengan latar air yang pada berjatuhan begitu. Saya akhirnya menunggu di bangku bambu dengan harapan mereka di atas nggak terlalu lama.
Lima belas menit berlalu, saya bete. Eh, ternyata ada pengunjung lain, wah banyak lagi! Alamak, bisa makin rame ini air terjun. Saya lebih memilih untuk kabur saja ke tingkat duanya dan memilih untuk duduk di salah satu batu yang ada di situ. Yah seenggaknya airnya bisa dicelup kaki.
Saya lihat pengunjung-pengunjung lain sudah merangkak ke tingkat dua. Hampir semua pengunjung yang saya lihat dari awal ternyata adalah keluarga dengan anak-anak mereka. Yah, saya akui akses berjalannya cukup ramah sih dari lapangan tempat parkir mobil mereka. Tanjakannya juga nggak terlalu ekstrem amat.
Akhirnya… tingkat dua air terjunnya berubah jadi pasar malam. Ingin deh saya membaur dengan mereka sambil berteriak, “Cangcimen, cangcimen! Kacang, kwaci, permen!”
Oh, iya, saya kan ingat saya pernah download ebook gratis di internet yang mungkin bisa saya baca sepanjang perjalanan. Sekaranglah saatnya mwahahahah!
Sampai saya baca habis satu buku, pasar malam masih berlangsung di area tingkat dua. Duh duh sudah jam 4 lewat. Eh tapi mereka terlihat bersiap-siap untuk turun dan saya pun pada akhirnya bisa menikmati lagi kesendirian saya ini.
Sebetulnya air terjunnya potensial banget meski nggak sebagus tetangganya, Curug Bidadari. Saya lihat beberapa fasilitas masih dalam tahap pembangunan seperti toilet, ruang ganti, dan musala. Yah, semoga fasilitasnya cepat jadi dan terawat. Saya kembali bersandar di bebatuan.
Wah iya, udah sore banget, belum shalat ashar lagi, yasudah saya cuma cekrek-cekrek seadanya dan say gutbai sama air terjunnya.
Akhirnya saya kembali menyendiri di jalan yang sepi. Bahkan loket kasirnya pun semuanya berubah menjadi sunyi, tanpa ada orang sama sekali. Saya hanya ditemani mentari senja, menyusuri bayang-bayang cantik lewat padang yang terhampar luas, menaungi seorang pemuda sebatang kara di antah berantah dengan semangat membara.
Yaampun puitis amat manusia yang satu ini.
Intinya saya kembali lagi ke warung yang tadi, memesan mie instan (secara saya belum makan dari siang hehe), dan membayar parkir Rp7.000. Sebenarnya sih bayar parkirnya terserah, tapi karena saya belanja di warung itu sampai Rp13.000 dan saya beri si teteh penjaga warungnya Rp20.000, ya sisanya buat parkir aja.
Dan halo kembali jalanan rusak yang tadi! Petak petuk bunyi suara kaki saya menolak batu-batu yang berserakan itu. Kawasan wisata kok ya begini amat, katanya Indonesia itu indah, ya urus dong! Komplain ah saya ke pemerintah setempat hahah.
Pada akhirnya kegusaran saya mereda saat saya keluar dari zona semi-offroad itu dan parkir di masjid terdekat untuk shalat ashar.
Eh, ada kucing saya panggil nyamperin. Oh iya, saya kan pernah beli makanan kucing satu saset dari minimarket, saya tebar isinya dan dia alhamdulillah mau makan.
Terimkasih mas sudah berkunjung, main lagi sekarang sudah mulai rapi sekarang sudah ada 6 air terjun. Saya kasih gratis.. hee
Terima kasih kembali abang Ali sudah berkomentar, saya mungkin tidak lagi mendatangi air terjunnya, namun mungkin kabar baik ini saya akan sampaikan kepada rekan-rekan saya yang barangkali tertarik mengunjungi air terjun yang berada di dekat Jakarta. Tidak gratis tidak mengapa. ^_^