Dari kemarin dataran tinggi melulu ya temanya, saya ingin sekali-kali yang benar-benar nuansa dataran rendah. Geser-geser Google Maps di sekitar Merak, terlihat sebuah penanda yang bertuliskan Pulo Merak Kecil dan Pulo Merak Besar. What’s zha? Saya searching itu sebuah pulau yang terlihat bening airnya.
NAIS! Mengingat di pulau Jawa sekitaran Jakarta jarang saya menemukan pantai yang bening airnya (kecuali Pulau Seribu, dan itu repot), maka saya langsung tancap gazzz! Eh enggak deng, saya sedang ingin sendiri menikmat empuknya jok bus yang telah saya rindukan lagi. Dan kalian bisa naik bus apapun dari terminal apapun di Jakarta menuju Merak.
Di Google Images terlihat Pulo Merak Kecil ini banyak sampah. Sedangkan Pulo Merak Besar jarang disinggahi. Tapi saya coba sekali-kali ah, ke Pulo Merak Besar.
Rencana molor 2 jam dari yang telah saya tentukan. Entah kenapa yang seharusnya jalan bada shubuh ternyata mata saya ‘ngajak ribut’ di atas tempat tidur. Jadi ya sudah, habis shalat shubuh saya bobok lagi. Tiba-tiba bangun sudah jam setengah 8. Dengan malas-malasan akhirnya saya mandi dan berangkat.
Seperti biasa saya menunggu bus di Pasar Rebo yang samping halte busway Flyover Raya Bogor itu. Namun tumben 10 menit lebih bus jurusan Merak satupun belum nongol juga. Saya berharap sih Primajasa, namun ya sudahlah karena sudah jam setengah 9 akhirnya saya tunggu bus manapun.
“Merak! Merak!” Terdengar suara tidak merdu dari seseorang. Bus jurusan Merak sudah mendarat. Laju Prima POnya, ya sudah saya naik saja. Ada toilet, seat 2-2, dan interior lumayan mewah. ‘Pasti mahal’ pikir saya. Semoga tidak lebih dari Rp50.000,- tarifnya. Ternyata pas ditagih, uang gocapan saya masih dapat kembalian ceban. Alhamdulillah cuma Rp40.000,-.
Namun saya agak kaget ketika bus keluar tol dan masuk ke Terminal Serang dan ada yang bilang, “abis… abis…!” dibarengi dengan beberapa penumpang yang turun. Aduh gaswat! Namun ternyata cuma mampir saja kemudian balik lagi ke tol. Begitu pun di Terminal Cilegon, cuma numpang lewat aja bus-busnya hehe… Terus pada balik lagi ke tol.
Ketika sudah laut sudah terlihat dari bus, saya beranikan diri untuk siap-siap turun di Polsek Pulomerak atau Polsek Merak. Saya sendiri pantau Google Maps untuk tahu di mana Polseknya. Jadi saya tinggal bilang polsek ketika tujuan sudah sangat dekat seakan saya sudah tahu hehe…
Masalahnya, di samping polsek ada 2 gang masuk, yaitu gang masuk ke Pantai Mabak dan gang masuk yang ada plang JL. RE MARTADINATA, dan seharusnya saya masuk ke Plang Pantai Mabak, bukan yang satunya. Mengapa? Karena yang saya masuki dikelola oleh swadaya yang tidak saya kenal, tidak ramah, dan untuk ke Pulo besar dikenakan tarif Rp200.000,-! Akhirnya saya ke Pulo Kecil saja dan you know what? Saya ditagih Rp100.000! What?! Mungkin karena saya sendirian kali ya?
Turun dengan agak sulit melewati ban-ban ini dari kapal, saya diminta untuk menghubunginya lagi ketika sudah mau pulang. Saya simpanlah nomornya. Dari awal saya sendiri sudah memerintahkan otak saya untuk kucek-kucek mata saya. Apa ini? Bukan di Belitung kan? Pasir putih, anak-anak berlarian, dan yang paling penting, airnya bening! Suatu hal yang langka di pinggiran Jawa, terlebih dekat Jakarta.
Alhamdulillah saya bawa sendal, jadi weee ~! NTAP!!!
Pulo besar dari sini terlihat menyeramkan dan konon kabarnya banyak hewan buas yang masih berkeliaran, makanya jarang yang mampir. Oh. Pulo kecil ini sudah banyak fiturnya, ada mushalla, warung, dan kamar mandi. Baju renang pun disewakan. Ya sudah, akhirnya saya menjadi elegan dengan berjalan seksi di bibir pantai.
Eh, banyak batu koral di sini. Saya cari bentuknya yang paling unik dan unik, namun tidak begitu saya temukan. Akhirnya yang mendekati unik juga boleh. Bebatuan itu saya tanam, walaupun cuma dua biji, untuk kemudian saya foto seperti ini.
It’s magic. MasyaAllah!
Kemudian tentu saja, merendam kaki saya di tengah kebeningan pantai! Kapan lagi begini coba? Bening boo pantainya, BEENIIINGGG!!! Whahahah… kasihan yang baru lihat pantai bening seperti saya ini.
Saya coba ke dalam pulaunya untuk shalat Zhuhur. Di dalam pulaunya pun dihiasi lampion-lampion yang cantik, beberapa ayunan, dan beberapa hiasan gantung sederhana, seperti ini,
Not bad, namun ternyata air wudlunya lagi tidak tersedia karena baik dirigen maupun gentongnya lagi kosong. Ketika ditanya, alasannya bahwa airnya sedang dalam perjalanan. Oh ya sudah. Di dalam ada hutan kecil yang tidak spesial mengarah ke pantai lain yang tidak spesial juga. Mengapa? Karena pasirnya hitam.
Namun yang paling menyebalkan adalah banyaknya anak-anak yang mengemis minta Rp2.000,- ke saya.
“Kakak tidak punya receh sayang…”
“Goceng juga nggak apa-apa deh kak!”
Lho kok malah tambah ngajak ribut? Bukannya saya nggak mau kasih, ini kok anak-anak udah diajarin minta-minta? Bukan hanya satu anak, teman-temannya ikut-ikutan. Makanya tidak saya hiraukan.
“Sebentar ya sayang, kakak mau ambil foto dulu, kamu udah shalat belum? Shalat dulu sana, nanti main lagi.”
Finally, anak-anak tersebut menurut.
Kembali lega.
Karena air wudlunya lama tiba, akhirnya saya memutuskan untuk pulang. Saya teleponlah orang tadi untuk menjemput saya. Dengan jeda yang sangat lama sebelum dia datang, saya berusaha untuk menikmati sisa-sisa momen saya di pantai yang dihiasi dengan banyak kapal nelayan dan kapal muatan.
Kembali lagi ke mode marah-marah:
Alasannya kenapa saya dipinta Rp100.000 adalah karena ingin beliin rokok untuk teman-temannya! Ketika saya katakan pungli dia menolak! Benci saya!
“Ya sudah, saya cari tempat lain yang bebas punglinya.” Kata saya kepada orang-orang menyebalkan itu. Setelah itu tanpa berterima kasih saya pulang dengan dongkolnya dan…
Kembalikan uang saya…!
Ya sudahlah, semoga ini juga peringatan untuk yang lain. Harga normalnya untuk pulang pergi adalah Rp25.000/orang. Jika dipinta lebih dari itu, jangan mau. Itu kata orang sananya juga. Kita harus tegas dengan pungli, saya mungkin terlalu bodoh di awal karena main mengangguk saja yang penting saya bisa ke pulaunya. Ya ampun.
Ya sudah, setelah shalat zhuhur di mushalla polsek (saya sudah terlalu lelah untuk melaporkannya ke Polisi), pulanglah saya dengan menunggu bus di seberang polsek dan setelah bus ke sekian, datanglah bus Primajasa ke Kampung Rambutan. Sebenarnya jurusan Merak memiliki banyak Bus, bahkan dari Garut dan Tasik pun ada. Apalagi dari terminal Jakarta seperti Kalideres, Kampung Rambutan, dan Pulogebang.
Tarifnya tertulis di kertas 30 ribu rupiah. Namun uang gocapan saya hanya dikembalikan 15 ribu rupiah. Yang benar yang mana? Saya lupa untuk mencatat nomor bus dan menghubungi pihak Primajasa jikalau memang ada oknum perubahan tarif. Namun jika ternyata benar, maka tidak masalah.
Alam yang indah ini, masih dikotori sampah dan tidak memiliki standarisasi harga.
Hei anandastoon,,, uang yg kamu bayar utk 100rbu kata kamu itu wajar, karena kamu sendirian mengunjungi pulau merak kecil, mungkin klw ad teman yg bersama kamu uang jasa tak sampai segitu, memangny ga pakai bahan bakar? Sy inget wajah kamu, sy bolak balik nanya sama orang boat apa kamu sudh pulang atw blum, sy khawatir klo kmu bunuh diri dsana, ga ada pungli, itu 100% hak orang boat!!!
Terima kasih atas komentarnya ibu Fatimah. 🙂
Tenang, tenang. Namun justru salah satu bapak yang mengantar saya katanya untuk mengunjungi pulau kecil hanya Rp25.000 saja meskipun sendirian dan bolak-balik. Saya masih pegang kontaknya. Saya juga masih ingat wajah ibu.
Begitu saya tanya, untuk apa uang sebesar Rp100.000 itu kepada bapak satunya, katanya untuk bagi-bagi rokok. Bukan saya menjatuhkan atau apa. Namun pengunjung tentu saja menilai hal tersebut seperti tidak memiliki manajemen. Saya paham kok masalah bahan bakar dan sebagainya, mengapa harus jauh-jauh berpikir hingga saya bunuh diri? 🙂
Yang ingin tempatnya banyak pengunjung bukan saya kan? Bacalah artikel jalan-jalan saya yang lain dan belajarlah darinya. Review pengunjung seharusnya dijadikan masukan, jika ada pengunjung lain baca komentar ibu, tentu mereka akan semakin menjauh. Komentar ibu sendiri sudah menjadi bukti bahwa Pulomerak Kecil tidak begitu bersahabat dengan pengunjung. Semoga para pengunjung masuk dari pintu perahu-perahu nelayan yang lain. Saya juga tidak jadi merekomendasi tempat ini kepada teman-teman saya. 🙂
Saya sarankan agar lebih berhati-hati jika berkomentar karena bisa jadi nada ancaman seperti ingat wajah saya dan seterusnya dapat saya screenshot untuk saya jadikan bukti jika saya suatu saat berbicara dengan pihak kepolisian. Pasal 29 UU ITE. 🙂
Yuk, budayakan manajemen, karena yang ingin sejahtera adalah kita sendiri.
Saya komentar bgtu karena kuatir dng anda karena anda pergi sendirian, dan sy yg nunjukin anda kpada orang boat, sy bolak balik nanyain anda sudh naik atw blum, anda kan janji 1jam, tpi sampai sore anda blum telp, trus terang sy kuatir, org pinggir situ klw bercabda memang bgtu,suka sebut” uang rokok, tpi di jamin uang masuk kantong org boat smua, ma’af klw anda kecewa dng pelayanan dstu, harap maklum,,,
Terima kasih ibu Fatimah atas balasannya. 🙂
Berdasarkan catatan waktu saya, saya tiba pukul 11.59, atau sekitar 10 menit dari saya berangkat dan saya berjanji akan pulang pada jam 1 siang kepada pihak kapal. Benar, saya dijemput pulang pukul 13.20, yang artinya tidak terlalu jauh dari janji waktu yang telah saya ucapkan. Bahkan, di artikel saya yang ini dan yang ini, saya meleset jauh dari janji namun mereka tidak begitu berlebihan dalam khawatir kepada saya. Lagipula, di pulau pasti banyak orang yang lebih sadar jika saya terjadi Sesuatu. Meskipun saya berterima kasih karena sudah dikhawatirkan, bukan berarti dengan cara yang seperti itu.
Saya sudah membahas mengenai manajemen pariwisata swadaya dan saya beri saran di artikel berikut serta pernah menasehati warganya langsung pada artikel berikut.
Jadi, pengunjung lebih senang transparansi harga daripada bilang “seikhlasnya” namun tidak ikhlas jika bukan dengan nominal yang sangat besar. Mulai besok, katakan, “Jika sendiri, harga sekian bolak-balik, berdua sekian, dan rombongan sekian” dengan harga yang wajar agar tidak ada bentrok harga di internet jika pengunjung hanya membawa uang pas-pasan. Katakan dari awal, dan jangan bercanda dengan harga di akhir karena saya pun senang bercanda dengan warga sekitar.
Jika selalu bilang, “Itu hak orang boat, dst”, maka pengunjung lebih punya hak untuk memberitakan hal ini dan mencari wana wisata yang lain. Kalian tidak ingin bukan suatu saat mata pencaharian kalian diambil alih swasta dengan pelayanan yang lebih baik seperti yang sudah terjadi di beberapa tempat?
Karena customer lebih memilih yang lebih mahal asal harganya jelas dan pelayanannya terjamin, seperti Curug Bidadari dan Curug Luhur yang sekarang benar-benar dikelola swasta.
Inilah tipikal masyarakat kita, enggan berbenah, namun enggan pula menerima akibatnya. Saya akan pantau terus mengenai perkembangannya, saya pun siap mengupdate artikel ini jika memang sudah berbenah, dan saya beritahu yang lain dengan harapan kalian akan mendapatkan banyak pengunjung.
Terima kasih. 🙂