Saya sudah sebulan tidak melanglangbuana, ternyata bosan juga. Saya pun membuka Google Maps sebagai pelampiasan. Memutar-mutar maps tak tentu arah menjadi kepuasan sendiri bagi saya. Hingga lokasi pun terpatok pada suatu sinar terang dari rimba yang mencekam. Apa itu? Tulisannya Curug Cigentis, di Karawang. Apa? Karawang yang sudah dikenal dengan goyangnya (siapa sih yang pertama kali mencetuskan?) ternyata punya daerah yang sebagus itu.
Oh bisa naik angkot ternyata, meski harus sambung ojeg. Tak masalah, uangnya saya lebihkan. Lagipula saya tidak perlu cek ramalan cuaca karena perasaan saya sepertinya cuaca akan sedang cerah-cerahnya. Yup, Sabtu ini berangkat.
Sabtu itu saya terbangun sehabis tidur lagi bada shalat Shubuh, jam berapa ini? Ah kesiangan. *boboklagi
Minggunya adalah hari tanpa pengampunan, mata saya ditarik dengan paksa ke kamar mandi.
Ojeg online saya arahkan ke halte busway Flyover Raya Bogor. Saya tiba di pasar makro seberang halte busway Pasar Rebo pukul 07.10.
Di sana seperti biasa sedang mengetem cantik bus Marita arah Puncak – Cianjur, namun kali ini saya menunggu yang lain. Bus Tegal, Purwokerto, Karang Pucung, Jogja, Merak, Cirebon, Subang, Bogor, semuanya berseliweran memutar tepat di samping halte busway menuju tol.
Di mana Karawang? Saya harus naik bus apa sih?!
07.25 terlihat bus berwarna merah bertuliskan Agra Mas, dengan tulisan kecil di kaca depannya bertuliskan “Kp. Rambutan – Karawang”. Ah yass! Mari sini wahai bus quhh… Bus menghampiri saya perlahan-lahan, membawa aroma yang tidak menyenangkan. Kau bercanda. Kau benar-benar bercanda. Setumpuk manusia dijejalkan di sana, lebih parah dari pepes ikan.
Lewat.
Tiba-tiba saya mules, ya sudah saya berlari ke toilet umum ke seberangnya yang satu lagi. Biaya toilet Rp2.000,- dengan kelegaan yang luar biasa. Ternyata setelah saya tanya beberapa orang, bus ke Karawang hanya yang Agra itu.
Sudah busnya lama, penumpang yang menunggu di putaran halte busway pun itu sangat banyak. Apa saya lebih baik ke Puncak saja ya… ini pertama kalinya saya ke Karawang.
Eh, ada bus Agra datang… tapi jurusannya ke Bogor. Capee deehh…
Pukul 08.05 orang-orang tampak berlarian. Oh busnya pun datang, kali ini benar-benar tujuan Karawang, bukan Bogor. Masih penuh seperti yang 07.20 itu. Orang-orang secara brutal memaksa masuk, anak kecil ada yang nangis.
Ya ampun. Untung saya dapat berjejal-jejal mendapatkan bagian yang paling tidak menyenangkan. Yaitu di belakang, tanpa pegangan dan sedikit miring.
Benar-benar seperti naik Transjakarta. Untung tarifnya murah, cuma Rp14.000,-. Yang buat saya lebih bersyukur lagi, ternyata tol Cikampek pada saat itu tidak macet! Alhamdulillah, 50km dilalui dengan tersiksa, tak begitu terasa. Bus akhirnya keluar tol Karawang Barat. Tak jauh dari pintu tol, mungkin sekitar 500 meter, kondektur teriak, “Badami, Badami!”
Iya, turun di sana.
Dari bus saya diantar seorang penumpang baik menuju Elf ke arah Pasar Loji. Turun dari Flyover, menuju sebuah mobil yang sedang mengetem. Mereka benar, Karawang terkenal dengan industrinya, dan… super gersang. Ditemani dengan Kalimalang (iya, Kalimalang yang sampai ke Jakarta itu) tak mengurangi gersangnya pemandangan yang terlihat.
“Padahal dulunya di sini banyak warung.” Kata si penumpang baik itu.
Beberapa kilometer menuju selatan, akhirnya pemandangan desa mulai kembali terlihat. Namun itu semua lenyap begitu saya melihat asap hitam membumbung tinggi.
“Eh kebakaran, kebakaran!!” Jerit hati saya.
Oh, ternyata hanya pembakaran batu kapur… dan itu sepertinya hampir setiap beberapa ratus meter sekali! Desa yang gersang. Tapi ya sudahlah. Oh, pegunungan (apa perbukitan) sudah terlihat dari kejauhan. Perjalanan ke Pasar Loji memakan waktu 1 jam kurang. Pukul 11 saya tiba di Pasar Loji.
Oh tarif elfnya Rp10.000.
Turun dari elf langsung diserbu tukang ojek. Langsung aja saya katakan ke Cigentis, dia pinta Rp30.000,-. Saya katakan bagaimana jika Rp50.000,- tapi bolak balik? Dia menyanggupi.
“Cigentisnya di mana?” Tanya tukang ojeg.
“Curug kang.”
Kini suasana pedesaan benar-benar kental di kanan kiri, maksud saya, pegunungannya. Melewati kampung turis, masih terus lurus. Ternyata jalannya jauh juga, bahkan dari parkiran mobil masih terus masuk dengan menanjak dan berbelok ekstrim. Jalanannya sih sudah lumayan bagus, namun jauhnya ternyata di luar dugaan saya.
Saya jadi agak kasihan, apa saya lebihkan ya…
Setibanya di lokasi, ternyata si abang, eh akang ojegnya juga mengeluh kejauhan.
“Saya pikir bukan di curug.”
Sudah saya duga, dia meminta bayaran lebih, saya tanya berapa, dia jawab Rp70.000,-. Saya jadi ingat sewaktu saya melakukan perjalanan ke Gunung Galunggung, si akang ojeg meminta tarif serupa. Ya sudah saya sanggupi, setidaknya dapat dua arah.
“Saya tunggu di sini ya…” Kata si akang ojeg. Okay.
Dengan tagihan karcis Rp15.000,-, pihak Perhutani mempersilakan saya masuk. Jalannya tidak terlalu jauh, mungkin hanya 250 meter ke curugnya. Namun pemandangannya memang joss, sebuah pemandangan yang dirindukan oleh orang-orang kota yang telah lelah bergelut di depan layar dan terkubur polusi (ah, tapi di desa sekarang polusinya juga sudah mulai parah).
Jalanan terlihat hampir buntu. Namun saya tahu biasanya memang jika memang ada belok-belok tajam yang tidak jelas biasanya curugnya sudah berada di sana. Maka…
Oh yes… tentu saja. Omong-omong, mungkin ini adalah salah satu air terjun yang paling tinggi yang pernah saya datangi. Beberapa pengunjung memenuhi batunya dan langsung berendam persis di bawah air terjunnya. Pasti benar-benar segar luar biasa. Saya? Lebih memilih duduk di pelataran batu yang ternaungi tebing, bertafakkur.
Apa? Bagaimana Instagramnya? Oh jelas saya habisi storynya. Tidak ada sinyal, tidak masalah, saya dapat menyimpan video storynya di memori saya untuk saya unggah nanti.
Ya Allah, pengeeennn deh jika saya sudah penat dengan kesibukan di ibukota, dapat langsung melihat pemandangan-pemandangan seperti ini. Alhamdulillah ceraaahhh. Menikmati suara air, suara gemerisik dedaunan, dan soft jazz yang saya sedang dengarkan membuat saya lupa jika saya pernah tenggelam dalam berbagai kesibukan.
Ada anak kecil nangis-nangis, dasar anak bandel. Tidak mau menurut dengan orang tua, padahal orang tuanya enggak galak. Dasar kids jaman… waktu saya kecil juga sudah banyak anak macam begitu sih. Jadi nggak aneh. Ya sudah, bengong berlama-lama untuk apa? Saya sudah dapat ‘feel’nya, sudah terisi bensinnya. Mau apa lagi? Ya tinggal pulang.
Saya makan karedok di salah satu warung sepanjang jalan menuju curug, sambil mengupload story yang tadi tertunda. Kemudian dilanjutkan shalat Zhuhur di mushalla curug.
Ya know? Nikmat shalat di pedesaan itu belum pernah ada yang mengalahkan. Suara gemericik air, desiran angin yang menerpa pepohonan, sejuknya atmosfir, dan bebauan kayu dinding membuat ibadah saya semakin nyaman. Alhamdulillah.
Sebelum pulang, saya kembali menatap pemandangan yang sebentar lagi saya tinggalkan.
Bai bai Cigentis…
Oh, saya lupa, ada jembatan nggak jelas yang dinamakan jembatan Jarang Goyang. Ternyata esensi dangdut begitu kental di Karawang. Filosofinya apa coba? Jarang Goyang, maksimum 5 orang yang lewat. Aduh bapake… tiga orang lewat aja udeh susseeeh… Gak jelas banget sumpah, padahal jembatan bambu juga bukan.
Dan saya kembali sampai di warung. Eh, mana akang ojegnya? Lagi pipis mungkin, tapi 15 menit gak balik-balik. Jangan-jangan saya ditinggal, tapi saya belom bayar juga sih. Akaaanggg… togenya kau tinggalkan daqquh kanggg… Ja’att!
Silly me, saya salah warung. Topi merahnya memberi sinyal saya bahwa saya telah mempermalukan diri saya sendiri. Ya sudah, oleh akang ojegnya yang masih setia dengan saya menunggu hingga ke pelaminan (oh you stop that!) kembali mengantar saya pulang hingga ke elf. Dibayarlah Rp70.000,-.
Yup, pulangnya saya kembali menggunakan Agra yang super lama ditunggu daan… busnya sumpek. Gak jadi. Gak jadi pakai Agra. Akhirnya lewat juga bus Asli Prima jurusan Merak dari Cirebon yang lewat Karawang Badami, ah selamat nyawaku. Dia bilang dapat turun depan Slipi Jaya, tarifnya Rp25.000,-. Yo wis lah naik yang itu.
Pihak Agra Mas… Agra Mbak… Agra Kang Mass… Agra terserah, tolong banyakin itu armada ke Karawangnya. Kasihan penumpang yang berdiri berjam-jam ketika tol Cikampek sedang macet-macetnya. Oh iya, saya lebih baik kunjungi saja websitenya. Tereak di sini menurut kalian akan didengar?
Salut sangat dengan effort nya Mas Ananda… Traveling ke berbagai penjuru menggunakan transportasi umum… dan sendirian pula…
Hai Rika, terima kasih atas komentarnya. Semoga bermanfaat. 🙂
Iya, maklum saya angkoters penganut jomblonism. Ya begini jadinya hehe…