Garuk-garuk Google Maps, seperti biasa, kegiatan yang saya lakukan ketika sedang bosan di kantor. Saya sedang tidak ingin melihat Bogor karena sudah terlalu sering mungkin ke Bogor hehe… Kini yang saya lihat adalah… tetangganya. Banten, tentu saja.
Benar juga, ada sebuah ikon manis teriak membabi-buta memanggil saya dari sisi gelap Google Maps. “Curug Cihear”, identitasnya bertuliskan demikian. Melihat gambarnya di Google yang bagus-bagus, maka saya dengan kesetanan menelpon teman saya agar siap mengantarkan ke daerah tujuan.
You know, you -sudah- know, jika saya memakai kata-kata “teman saya” pada sebuah postingan jalan-jalan saya, most likely tempat tersebut tidak memiliki akses kendaraan umum. Tapi para angkoters, jangan khawatir karena sebagai bentuk dari pelayanan, saya menyediakan khusus sekumpulan artikel jalan-jalan yang angkotable. Cekipret Gan! Hehe…
Teman saya lagi-lagi kesiangan sehingga kami baru berangkat jam 10. Padahal saya maunya pagi dengan harapan bisa memotret langit cerah berawan sebelum menjadi gelap dan menakutkan (ramalan cuaca bilang sekitar jam 12an sudah hujan di daerah sana). Tapi ya sudahlah, kapan lagi coba ya bisa ke sana?
Perjalanan kami sama seperti perjalanan jalan-jalan saya yang lewat Leuwiliang. Kemudian saya diarahkan lewat Google Maps agar lewat Nanggung daripada lewat jalan nasional Jasinga, yah biar nggak nanggung mungkin ya, bisa hemat 10 kilo hehe.
Dari sinilah saya merasa masuk ke daerah antah-berantah, yang sepertinya agak kaget saya tahu ternyata di tengah hutan dan jalan sempit masih banyak desa-desa yang terpisah, yang kemudian entah lewat lorong waktu mana tiba-tiba saya masuk ke jalan besar yang lebar dan beraspal.
Dari sana jalanan menanjak dan menanjak, tanpa pemukiman, bahkan penerangan jalan. Mungkin baru dibuka ini jalan ya? Sinyal kartu seluler saya (Emtri & EksEl) bahkan sedang mengalami masa-masa hibernasi. Tapi tunggu…Pemandangannya dari atas itu loh, masyaAllah.
Oke, lanjut ke sebuah warung di mana saya ‘ngemil kecil’ karena hanya sarapan seadanya. Saya bertanya kepada pemilik warung mengenai jarak Curug Cihear dan sang ibu berkata bahwa ke Curug Ciear (bukan tipo, namanya memang lebih dikenal Ciear) masih sangat, sangat jauh. What? HaPe saya benar-benar sudah tewas jadi saya tidak bisa lihat Maps.
Jadi, kami hanya mengikuti jalan.
Eh, kami seharusnya sudah sampai. Tapi, di mana pintu masuk ke air terjunnya? Saya melihat justru kami semakin menjauhi tujuan. Saya menyuruh teman saya berhenti dan bertanya kepada penduduk setempat. Katanya memang di sini pintu masuknya (what?) dan bisa parkir di tanjakan yang dia tunjuk.
Benar, ternyata ada plangnya. Dan benar, warga sini lebih menyebutnya dengan Ciear dari pada Cihear. Berarti Ciear itu maknanya air terjun dari kuping ya? Kalo ada air terjun keluar dari kuping itu namanya co… (ok, stop this nonsense)
Kami parkir di rumah warga yang tidak ada plang parkirnya. Dan kata warga, wajib pakai pemandu karena pengunjung dikhawatirkan akan tersasar dan di saat-saat itu muncullah sang pemandu seorang tua dari balik kebun. Si bapak segera beralih mode ke sepatu boot yang menandakan treknya mungkin tidak main-main.
Eh, ada pengunjung lain juga sih yang ikut dengan kami, dia baru datang, dua orang dengan sepupunya. Baguslah, ada teman, karena sepertinya wisata ini belum benar-benar dibuka untuk umum.
Perjalanan dimulai, oh sudah jam setengah 3, untung sudah salat Zuhur waktu di Nanggung, jadi biar waktunya nggak nanggung hehe…
Next Stop: Cek Poin pertama (suara announcer a la busway)
Jalanan semakin menanjak dan menanjak. Saya jarang-jarang merasa letih waktu itu. Apa mungkin sudah tidak pernah lari pagi? Atau tadi pagi saya tidak sarapan -besar-? Saya waktu itu agak paling belakang karena itu.
Tiba di cekpoin pertama, semua istirahat. Horee…
Si bapak menjelaskan, bahwa pemandu dibutuhkan untuk keselamatan si pengunjung. Begitu saya tanya tarifnya berapa, si bapak hanya berkata seikhlasnya. Saya katakan agar bapak membuat tarif karena pengunjung mungkin bingung maksud “seikhlasnya” itu seberapa, khawatir ada yang standar seikhlasnya itu jika sudah di atas Rp50.000…
Teman saya mengiyakan dan si Bapak menangguk tanda setuju.
Okay, pemberhentian berikutnya: Cek poin kedua.
Saya agak ‘deg’ begitu si Bapak bilang bahwa kami harus menyebrangi sungai. Semoga bukan seperti waktu kami ke curug Puncak Manik. Dari jauh sudah terlihat air terjunnya, tapi… ya kok jauh amaaattt? Ini ciyyuss udah deket? Atau masih sepanjang jalan kenangan lagi?
Treknya pun mulai susah diikuti.
Okay, dari foto-foto di atas, selamat membedakan mana jalan, dan mana jurang ~
~ Tralala, trilili, hidupku sedang diuji nyali ~
Saya terpeleset. Sekali. Mantap. Sudah.
Memang ada sungai kecil di tengah perjalanan sih yang harus diseberangi, namun ternyata bukan itu sungai utamanya. Tapi sungai setelah sungainya yang merupakan cekpoin kedua ini,
YUP! TANPA JEMBATAN, JARAK BATU BERJAUHAN, SUNGAINYA DALAM, DERAS, MEMATIKAN, DAN INI HANYA SATU-SATUNYA JALAN MENUJU AIR TERJUNNYA! ADUH BESOK SAYA HARUS PANGGIL SERVIS KEYBOARD LAPTOP KAYAKNYA! CAPSLOCKNYA SUDAH PORAK-PORANDA INI!!!
Eh, nggak jadi panggil tukang servis keyboard deh.
Sewaktu pemandu mencontohkan cara menyebrangnya yang saya melihat beliau sudah hanya terlihat kepalanya saja, saya hanya berteriak, “NO, PLEASE!!! DON’T!”.
Ini di ransel saya ada laptop dan kamera mahhalll… Teman saya memberi lampu hijau untuk pulang, tapi saya ragu. Saya melihat pengunjung lain ada yang sudah buka baju, mirip yang ada di film-film si Bolang (Bocah hidung belang), dan dia mulai menyebrang pertama kali.
Saya pun buka baju, jadi hanya kaus kutang saja yang saya pakai. Tas saya, saya serahkan kepada si Bapak agar di’seberang’kan dengan selamat di kepala beliau. HP, dompet, sudah saya selamatkan agar tidak berpindah tangan… eh, maksudnya agar tidak basah. Semuanya menyeberang dengan selamat melawan derasnya arus.
Di seberang sungai kami harus berjalan naik melewati jalan yang tadinya saya pikir itu bukan jalan. Makin ke atas, treknya makin curam, sempit, hanya tanah. Ya Allah, jangan hujan… jangan hujan… Sudah jam berapa ini? Setengah 4 lebih. Itu artinya 45 menit perjalanan kami hingga cekpoin ke dua.
Nah, di atas ada jembatan bambu kecil penghubung pijakan yang telah berhasil dilewati si bapak dan pengunjung lain. Sekarang giliran saya dan teman saya akan lewat setelah saya berhasil di seberang.
Tetapi begitu saya tepat berada di tengah jembatan, you know? JEMBATANNYA ROBOH DAN TANAHNYA LONGSOR!!! ALHAMDULILLAH SAYA LANGSUNG BERPEGANGAN KE SISA JEMBATAN DI DINDING TEBING KARENA DI BAWAH SAYA ADALAH JURANG DENGAN ALIRAN SUNGAI DERAS DAN BATU-BATU!!!
Saya langsung bertakbir, Ya Allah, jangan Engkau utus malaikat mautmu dulu… hambaMu belum sempat momong cucu!
Saya hanya berpegangan dengan satu tangan, kira-kira seperti gambar-gambar inilah gambaran keadaan saya pada saat itu (beneran!):
Hahah, penggemar film Disney bahahahah. Tapi serius, saya benar-benar gelantungan seperti itu tanpa pijakan di tebing vertikal dengan satu tangan berpegangan. Pemandu dan teman saya tentu saja kaget bukan kepalang dan hanya pemandu yang berusaha menolong saya karena teman saya tidak bisa meraih saya pada saat itu, dan karena pemandu lebih dekat dengan saya.
Namun apa daya, sang pemandu tak dapat berbuat banyak, sedangkan saya tidak bisa apa-apa. Naik pun tidak bisa karena memang tebingnya benar-benar tanpa pijakan. Saya membayangkan jika saya nanti seperti Gaston ini,
Enggak mau… sumpah. Enggak mau.
Akhirnya saya menolak tebing dengan kaki saya dan mengangkat kaki saya untuk kembali menolak hingga saya berhasil sampai atas. Alhamdulillah bisa sampai atas. Pengunjung yang lain hanya memperhatikan karena memang pijakan tebingnya sempit dan licin. Alhamdulillah tidak hujan!
Kalian dapat lihat bekas jembatan yang longsor tersebut, di mana masih terlihat bekas bambunya di foto berikut,
Si Bapak dengan sigap memutuskan dahan dengan goloknya dan membangun kembali jembatan seadanya agar teman saya juga bisa lewat. Saya mensyukuri nikmat hidup yang mahal. Karena ke depannya PIJAKAN-PIJAKAN EKSTREM TERSEBUT KEMBALI LAGI! OH, SAYA JUGA DISURUH LOMPAT KE TEMPAT SEMPIT DAN LICIN!
Alhamdulillah berhasil.
Setelah beberapa ratus meter kami melewati kembali tempat ekstrem pinggir tebing setelah jembatan maut tadi, akhirnya di depan kami ada ini,
Teman saya melihat air terjun tersebut langsung berteriak kegirangan bahwa semuanya terbayarkan dan langsung berendam di bagian mendatar air terjunnya yang cukup deras itu. Begitu pula dengan pengunjung lainnya.
Tapi saya tidak.
Saya hanya berdiam duduk depan air terjunnya, memikirkan pengunjung lain yang sudah berlelah-lelah datang ke gerbang air terjun, namun dihadapkan dengan akses yang seperti ini. Saya bahkan diberitahu oleh si Bapak bahwa tidak sedikit pengunjung akhirnya memutuskan untuk balik lagi ketika mereka dihadapkan dengan akses sungat tadi.
Tempat indah ini… ternyata hanya untuk para petualang sejati. Yang artinya, tidak untuk semua orang.
Si Bapak menghibur saya sejenak dengan menunjukkan spot foto yang cukup menakjubkan, diikuti teman saya dan para pengunjung lain.
Namun saya sudah tidak berselera untuk selfie. Ketika teman saya kembali dan bertanya mengapa saya tidak ikut berfoto dengan mereka, saya hanya menjawab,
“Bagaimana saya bisa bersenang-senang dan mempostingnya di jejaring sosial sementara tidak semua penikmat foto saya akan dapat merasakan hal yang sama?”
Kemudian Bapak pemandu bercerita, bahwa air terjun ini sudah merenggut tiga nyawa pengunjung, kebanyakan mereka adalah anak muda yang mungkin merasa tahu jalan, atau egonya yang tidak diturunkan ketika melewati akses ekstrem tersebut. Jenazahnya baru ditemukan menyangkut di antara bebatuan sungai dua hari kemudian.
Saya kemudian sedikit menimpali ucapan si Bapak,
“Jika saya tidak segera berpegangan pada sesuatu yang kuat tadi, mungkin saya akan menjadi yang ke-4.”
Si Bapak tersenyum. Kami pulang setelah itu, dengan harapan saya masih bisa menunaikan salat Ashar… dengan melewati jalan tadi. Tentu saja. Ini adalah foto air terjunnya dari kejauhan, tepat setelah cekpoin pertama,
Ya sudah, saya tiba di tempat awal jam 17.30 dengan beristirahat sebentar dan… oh iya, ternyata sampah pun masih pada dibuang sembarangan. Kata pemandu pun hal itu tidak mengapa (what?).
Ternyata trek ekstrem belum tentu menumbuhkan kesadaran mencintai alam ya?
Ya sudah, saya langsung salat Ashar dan membayar si Bapak Rp100.000 karena rasa terima kasih saya. Saya juga berharap pemerintah membuka jalan, atau setidaknya memberikan jembatan bagus untuk akses ke air terjunnya untuk memikat pengunjung lebih banyak. Eh, apa ya akun pengaduan Banten?
Bayar parkir sekitar goceng. Titik. Dengan helm yang dititipkan. Titik.
Saya pulang Magrib, melihat gunung Cihear, eh Ciear yang menjulang sedikit lebih tinggi daripada bukit-bukit yang lain dari kejauhan. Kami kali ini memutuskan untuk lewat Jasinga, yang ternyata kontras sekali perbatasan Banten dengan Bogor meskipun yang kami lalui adalah jalan nasional. Yang satu banyak rumah, yang satu tidak. Yang satu banyak penerangan, yang satu gelap gulita.
Yaampun, Banten ternyata masih sangat-sangat kurang pembangunannya. Padahal punya potensi… 🙁
Kembali melihat Jakarta, apalagi kembali melihat halte Busway, membuat saya terharu. Alhamdulillah nikmat hidup di kota, meskipun tidak ada air terjun dan gunung, namun semuanya memiliki akses yang mudah dan murah. Semoga daerah lain juga mengikuti sisi positif dari ibukota.
DAH, PERJALANAN MAUTNYA SUDAH USAI, SAYA BISA BOBOK JAM 11 MALAM!
BTW, JADI TIDAK YA SAYA MEMANGGIL TUKANG SERVIS KEYBOARDNYA??? CAPSLOCKNYA EMANG MINTA DIHANCURKAN.
Mungkin karena hari itu saya sudah tidak berselera foto-foto, tidak ada galeri dulu ya untuk postingan ini…
Maafkan ~