Cerita Dari: Erry
Hallo semua, saya ingin cerita tentang pengalaman masa kecil, di kota Jogja. Tepatnya di sebuah kampung barat Keraton selatan (magangan) Jogja. Untuk orang yang dibesarkan di Jogja, tentu judul diatas bukan yang asing ya… namun, bagi orang dari daerah non Jogja perlu diperjelas yakni, Tingipuknyar adalah singkatan dari bahasa Jogja “Matine Wingi Kapuk-e Anyar” atau Matinya kemarin, kapasnya masih baru..
Begini ceritanya, malam itu tepatnya hari Rabu Malem di bulan Agustus 1983. Saya dan empat teman mendapat tugas giliran jaga kampung. Sebetulnya agak malas, karena siangnya kami berempat baru saja “melayat” tetangga Kampung yang meninggal karena kecelakaan lalulintas di jalan raya Samas. Namun, karena sudah kewajiban, maka mau tidak mau kami berempat harus mengisi pos jaga.
Entah mengapa suasana malam itu kami rasakan agak beringsang dan sepi banget. Mbah Harjo Es, yang biasanya berjualan sampai jam 1 malem, tutup lebih awal. Sehingga praktis beberapa abang becak yang biasa “wedangan” pada kabur semua. Jadilah pos di ujung gang, yang akan kami tempati jaga sepi orang.
Pukul 23.00 kami berempat mulai bermain kartu untuk membunuh sepi. sementara Ismet teman saya yang paling badung sudah mulai memukul kentongan tanda pos jaga sudah ada orang “biar pak RT tau kalau kita sudah jaga..” katanya ketika kami tegur. karena menurut kebiasaan, kentongan baru dipukul setelah pukul 12 malem.
Akhirnya, kami berempat asyiik bermain kartu “omben”. Joko teman kami, mendapat giliran untuk terus mengambil kartu. Dengan agak emosi, kartu itu terus diambilnya. Mungkin sial, atau nasibnya yang kurang bagus, kartu yang diambil makin banyak. Akhirnya, Joko harus merelakan kupingnya dijepit pakai jepitan baju sebagai tanda hukuman. Kami terus main, hingga lupa untuk jalan keliling kampung untuk ngambil jumputan.
Namun, keasyikan itu tiba-tiba harus berhenti ketika Ismet yang duduk paling ujung berteriak “He.. kamu mencium bau kembang sama menyan tidak?” katanya kepada kami semua. Kontan kami menghentikan permainan kartu itu, dan mencoba menciumi bau udara di pos kamling itu. Namun, serempak kami mengatakan kami tidak mencium bau apa-apa. Ismet pun mencak-mencak, dan mengatakan hidung kami mungkin ada gangguan. Karena menurutnya bau itu makin menusuk hidungnya. Kamipun membantahnya dengan tak kalah sengitnya. Karena kami betul-betul merasa tidak membau itu.
Nah, tengah asyik-asyiknya kami berdebat tiba-tiba sudah muncul Parjan, salah satu tokoh pemuda kampung sebelah yang ikut cangkruk di pos jaga kami. “Ada apa ribut-ribut..” katanya sambil duduk disebelah Ismet. Kamipun berebut menjelaskan situasi saat itu pada Parjan. Namun, dengan enteng Parjan berkata “Walah Bau kayak gitu kok diributkan..”, “Lha bau itu adalah bau tubuhku.., bau tingipuknyar” katanya sambil ngekek. Kamipun heran mendengar celetukkannya dan kontan memperhatikan lebih seksama kehadirannya. Betapa kagetnya kami ketika sosok Parjan, tiba-tiba berubah menjadi Pocongan berlumuran darah, dengan kapas di mata, hidung dan mulutnya.. kontan kami berempat berteriak sekeras-kerasnya, sementara Ismet pingsan ditempat.. lalu dengan kaki gemetar kami berebut, lari meninggalkan pos. Sementara dengan jelas kami terus mendengar ketawanya Parjan yang diselingi kata-kata..”Tingi Puk Nyar.. Tingi Puk Nyar.. Matine Wingi Kapuk-e Anyar..” yang terus menguber-uber kami. Kami pun dengan terkencing-kencing terus berebutan pulang menuju rumah masing-masing. Saya yang berada paling belakang, dengan jelas melihat Pocong Parjan berjingkat-jingkat pergi dari pos sambil terus mengatakan “Tingi Puk Nyar… Tingi Puk Nyar… Matine Wingi Kapuk-e Anyar”. Dengan keberanian sisa-sisa, sayapun berlari makin kencang pergi meninggalkan pos, tanpa pernah memikirkan nasibnya Ismet yang pingsan di pos jaga.
Di pengkolan pohon mangga dekat rumah, saya merasa agak tenang ketika melihat seseorang duduk didalam becak “Wah.. ada Pak Sastro nih.. aman..” kataku dalam hati. Melihat saya yang berlari kayak dikejar setan, Pak Sastro pun bertanya “Ada apa mas Erry, kok lari-lari kayak dikejar hantu…” katanya. Dengan nafas tersenggal-senggal sambil memegangi perut, saya menjawab “Anu, pak.. Anu.. Di pos ada pocongan. Pocong Parjan!”. Namun dengan santainya sosok Pak Sastro tadi menjawab “Walah dengan pocongan saja kok takut, lha kalau dengan saya serem mana…” katanya, kontan sayapun terkejut dan pandangan mata saya jadi gelap ketika melihat sosok Pak Sastro yang berdiri sambil berjingkat-jingkat sambil berkata… “Tingi Puk Nyar… Tingi Puk Nyar, Matine Wingi Kapuke Anyarrrrr…”. Melihat itu kontan saya tidak ingat apa-apa lagi… pingsan…
From Erry