Malam itu, sepulang saya dan partner dari kegiatan memantau jalan tol yang sedang di bangun, tanpa penerangan dan jalanan yang rawan jurang, saya memanfaatkan hal ini untuk membujuk partner saya yang sedang menyetir untuk bercerita horor.
Tak disangka, dia setuju.
Bernuansa jalanan bebatuan yang sama sekali gelap, satu-satunya penerangan hanya dari lampu depan mobil rekan saya tersebut, ia mulai bercerita saat ia sedang berada di pedalaman Kalimantan untuk memantau sebuah proyek galian tambang.
Ia bercerita bahwa selalu ada saja setiap malam kejadian yang aneh-aneh di sana. Bagaimana tidak, daerah tersebut begitu terpencil di dalam hutan, hingga satu-satunya transportasi hanyalah helikopter.
Ceritanya macam-macam, namun yang saya ingat adalah cerita di kamar mandi area proyek.
Tidak ada seorang pun yang berani ke sana sendirian. Jadi jika ada yang ingin ke kamar mandi, ia harus ditemani minimal oleh dua orang.
Sebab selalu ada saja yang sedang menunggu di balik pintu kamar mandi. Mulai dari Kuntilanak, Pocong, hingga makhluk-makhluk yang hanya hitam legam.
Kemudian partner saya tiba-tiba beralih menceritakan temannya yang pernah menjadi mahasiswa kedokteran di universitas terkemuka.
Ia bertanya kepada saya, “Nanda, tau nggak kenapa jurusan kedokteran itu biayanya mahal banget?”
Saya menjawab dengan asal, sebab saya sedang tidak ingin berpikir malam itu, “Mungkin karena kerjaan dokter bergengsi dan berisiko?”
Rekan saya melanjutkan, “Otopsi mayat Nda, mayatnya soalnya dari jasad manusia beneran.”
Biasanya jika seorang jenazah berada di kamar mayat bertahun-tahun tanpa identitas, artinya jenazah tersebut sudah diizinkan untuk ‘diserahkan’ kepada fakultas kedokteran untuk dilakukan kegiatan pembedahan.
Ia bercerita jika dulu hampir setiap, atau bahkan setiap mahasiswa dari fakultas kedokteran selalu dikucilkan di asrama.
Bukan apa-apa, teman seasramanya tersebut tidak ingin berhubungan dengan yang aneh-aneh jika ia akrab dengan mahasiswa kedokteran.
Salah satu alasannya, bukan hanya sekali dua kali mahasiswa kedokteran membawa jasad manusia asli ke asrama untuk melakukan pembedahan sebagai tugas dari dosennya.
Bahkan ada teman satu asrama yang bercerita bahwa pernah ia melihat ada orang yang berjalan mengikuti seorang mahasiswa kedokteran sampai ia masuk kamar.
Beberapa mahasiswa kedokteran itu sendiri pernah cerita jika saat ia melakukan pembedahan di malam hari, ia ditemani oleh seseorang yang duduk di lantai, di sebelah si mayat.
Seseorang tersebut adalah si mayat itu sendiri, yang juga melihat proses pembedahan dari awal hingga akhir, dengan wajah yang pucat dan tanpa ekspresi.
Belum lagi saat mahasiswa kedokteran memasuki kamar mayat untuk ‘memilih’ jenazah, beberapa kali mereka menjumpai sosok-sosok di sebelah jenazah yang memelas dengan nada menggaung, agar dicarikan keluarganya.
Agak menyedihkan, namun para mahasiswa tersebut juga tidak punya pilihan selain dari menyelesaikan pendidikan kedokteran mereka yang biayanya tak kalah horor.
Maka dari itu, mungkin sebagian mahasiswa kedokteran sudah terbiasa dengan suara tangisan yang mengikuti mereka hingga ke rumah atau ke asrama saat mereka membawa jenazah.
Mungkin yang dibawa pulang bukanlah jenazah utuh, melainkan jenazah yang sudah tidak sempurna atau bahkan sudah terkoyak hingga tidak lagi dapat dikenali.
Setidaknya, beberapa mahasiswa kedokteran akan terlihat lebih siap jika suatu malam pintu kamar atau rumahnya tiba-tiba diketuk oleh seseorang, atau bahkan ‘seseorang’ tersebut sudah berada di dalam kamarnya, menemani mereka hingga akhir studi.
Bukan hanya satu, melainkan banyak dan semakin banyak dari jumlah jenazah yang mereka jadikan alat studi…