Boneka Salju
urban legend by: anandastoon
Musim salju telah tiba. Anak-anak seusia denganku memenuhi pekarangan belakang sekolah untuk membuat boneka saljunya masing-masing. Aku pun membuat satu.
Hingga akhirnya aku telah sampai pada tahap dekorasinya, yang mana aku harus mencari ranting-ranting untuk membentuk hidung dan telinganya. Aku berjalan jauh hingga tak terasa aku tiba di hutan belakang sekolah. Tidak lagi kudengar suara teman-temanku jauh di belakang sana. Aku memasuki area di mana aku seperti berada pada dimensi yang lain.
Sayup-sayup dari kejauhan aku mendengar suara, jauh di dalam hutan, seperti seseorang yang bermain-main dengan salju. Dengan sedikit ketakutan namun penasaran, aku mengendap-endap di belakang pohon untuk mengetahui siapa itu.
Tampak dari kejauhan seorang tua juga sedang membuat boneka salju, aku semakin mendekatinya, masih mengendap-endap di antara pohon.
Dia tampak sedang menaruh ranting dan batu kerikil pada boneka saljunya, namun ia seperti tersadar akan sesuatu dan tiba-tiba menoleh ke belakang. Aku langsung lari terbirit-birit tanpa henti. Semoga dia tidak mengejar, semoga dia tidak mengejar…
Aku tidak tahu sejauh apa aku berlari, namun aku hanya ingat aku sudah sampai di halaman belakang sekolah, tanpa ada satu pun siswa yang terlihat.
Oh, rupanya sudah bel masuk.
“Dari mana saja kau?” Tanya teman sebangkuku. Dia Leonardo.
“Aku… dari belakang.” Aku hanya menjawab seadanya.
“Lihat Rina?” Temanku bertanya kembali. Aku menggeleng.
“Aku pikir kau sama dia. Kau digosipkan seperti itu oleh teman-teman, kau tidak pernah sadar?”
“Masa sih?” Aku pura-pura acuh sembari kulihat guruku yang baru masuk kelas.
Hari itu rupanya Rina tidak kembali ke kelas. Aku tidak tahu ada apa, namun seluruh kelas gaduh bertanya-tanya. Orang tua Rina, polisi, dan guru membantu untuk memecahkan masalahnya.
Esoknya, temanku juga, Wiliam, tidak kembali dari jam istirahat. Dan esok lusa, Julia. Tiga orang temanku menghilang secara berturut-turut setiap harinya, semenjak kami membuat boneka salju di pekarangan belakang sekolah.
Semua tiba-tiba lenyap begitu saja. Polisi masih membuka kasusnya.
Aku tiba-tiba teringat sesuatu dan mengajak Leo ke tempat aneh di dalam hutan yang pertama kali aku temui saat istirahat siang. Leo setuju. Tetapi sayangnya, di tengah perjalanan, di dalam hutan yang begitu lebat dan dingin, Leo terlihat begitu ketakutan hingga menyuruhku untuk segera kembali. Aku menolak, namun Leo justru meninggalkanku di tengah hutan yang sunyi dan dingin ini. Dasar pengecut!
Mau tidak mau, aku melanjutkan perjalananku sendirian.
Sayup-sayup kudengar seseorang beraktivitas di tengah salju. Pak tua itu. Aku mengendap-endap di antara pepohonan, dan kulihat dia masih membuat boneka salju. Jumlahnya kini ada empat. Benar-benar orang tua penggemar boneka salju.
Kembali, dia menyadari sesuatu dan menoleh cepat kepadaku yang membuat aku harus kembali tunggang-langgang.
Aku tidak tahu berapa jauh aku berlari hingga aku kembali tiba di belakang sekolah. Aku masuk ke kelas dan duduk. Pelajaran dimulai.
Leo belum kembali dari hutan itu. Apakah ia tersesat? Ia belum kembali juga hingga pelajaran selesai. Guruku panik dan meminta staf sekolah untuk mencari Leo. Orang tuanya pun dihubungi namun mereka mengatakan bahwa Leo tidak ada bersama mereka. Aku mencoba tidak mengangkat suara, aku hanya pulang dan menunggu hingga esok hari.
Esoknya aku ditahan, dipeluk erat-erat oleh guruku. Aku melihat para polisi memasuki hutan di belakang sekolah dan anak-anak lain hanya melihat dari balik pagar. Kau benar, aku telah memberitahu mereka tentang hutan dan si bapak tua yang senang membuat boneka salju itu. Aku was-was, berharap-harap cemas mereka akan menemukan teman-temanku yang hilang itu.
Siang harinya, kulihat polisi kembali dari hutan, dengan tangan kosong. Mereka pun sempat bertemu dengan seorang tua yang sedang membentuk boneka saljunya yang kelima, jauh di dalam hutan dan mewawancarainya tentang segala sesuatu sebelum kemudian memeriksa seluruh isi rumahnya. Teman-temanku masih belum saja ditemukan. Polisi mengangkat bahu dan bergegas untuk mencari di tempat lain.
Aku merasa masih ada yang janggal.
Oh, boneka saljunya, apakah si bapak itu menyimpan sesuatu atau bahkan seseorang di dalamnya? Aku baru menyadari boneka-boneka salju tersebut hampir sama tingginya dengan teman-temanku. Aku bertanya kepada pak polisi akan tetapi mereka menggeleng.
“Itu hanya boneka salju biasa nak. Kami sudah membongkarnya sebagian. Tidak ada yang mencurigakan di dalam boneka-boneka salju itu.”
Setelah itu polisi pamit dan meninggalkan sekolah.
Aku yang tidak puas kemudian berlari ke hutan saat guruku lengah dan menemukan bapak tua itu sedang memperbaiki seluruh boneka saljunya. Kini total boneka saljunya ada lima. Aku memberanikan diri untuk mendekat. Orang tua itu menoleh kepadaku dan dia kaget.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Dia bertanya.
“A… aku hanya penasaran. Untuk apa bapak membuat boneka-boneka salju itu?” Aku menjawab pertanyaannya dengan mengajukan pertanyaan lain.
Orang tua itu menyudahi sejenak kegiatannya dalam mendekorasi boneka-boneka salju tersebut, seraya berkata, “Aku baru pindah ke sini. Kau tahu, aku adalah seorang cenayang yang kesepian. Itulah mengapa aku membuat boneka-boneka salju ini.”
Ia melanjutkan, “Masing-masing boneka salju ini memiliki nama. Yang ini Rina, Julia, Wiliam, Leo…”
Aku langsung menyela, “Itu semua adalah nama teman-temanku yang hilang! Apa yang bapak telah lakukan kepada mereka!”
Dia menyanggah, “Apa? Itu semua nama teman-temanmu? Aku bahkan tidak tahu jika aku memakai nama teman-temanmu. Aku hanya membuat ini dari salju biasa atas sebuah perintah untuk menghilangkan kutukan dari para penghuni hutan ini sebab aku pun ingin selamat. Mereka menyukai anak-anak di desa. Satu boneka salju ini mewakili satu orang anak. Ini adalah boneka salju yang terakhir.”
“Yang itu… siapa namanya?” Aku menunjuk boneka kelima.
“Ferdy, ini adalah Ferdy.”
Gawat. Itu namaku.