Orang Itu Selalu Memperhatikanku
urban legend by : anandastoon
Aku duduk di tempat duduk sebuah restoran kecil, di halaman luarnya. Pada hari itu cuaca agak terik namun payung di meja makan melindungiku dari sengatan sang mentari.
Saat aku selesai makan siang di restoran itu, seorang anak kecil yang sangat lucu menghampiriku. Karena aku menyukai anak kecil, jadi aku berbincang-bincang dengannya tanpa tema yang jelas. Bertanya siapa namanya, usianya, dan lain sebagainya.
Dan itu menyenangkan mendengar suara cemprengnya yang menggemaskan.
Saat kutanya di mana orang tuanya, ia tertawa terkekeh, kemudian ia berlari ke arah timur.
Aku ingin memanggilnya namun aku menyadari sesuatu.
Seperti seseorang sedang memperhatikanku dari ujung barat. Seorang bapak yang agak kurus, matanya terlihat cekung terbuka lebar, memandangku.
Kami bertatap-tatapan selama beberapa detik sebelum akhirnya dia menghilang di antara gang dan aku tiba-tiba tersadar dan bergegas kembali.
Orang aneh.
Esoknya, aku mencari makan siang dan menemukan tempat makan baru yang belum pernah kudatangi. Aku mendapatkannya satu.
Seperti biasa di jam makan siang dan di daerah perkantoran, restorannya penuh jadi aku mendapatkan tempat di luar ruangan, area merokok.
Aku tidak merokok jadi setelah selesai makan aku hanya memainkan ponselku sambil menunggu makanannya masuk ke dalam perutku.
Saat aku sedang asyik dengan ponselku, sebuah tangan imut tiba-tiba datang menggapai-gapai meja, yang pada akhirnya berhasil meraih tanganku.
Aku agak terkaget, dan aku melihat siapa itu.
“Atan?” Tanyaku. Anak kecil yang kemarin itu? Kebetulankah atau memang ia sering bermain-main di daerah sini?
Si anak kembali tertawa terkekeh dengan lucunya. Usianya masih lima tahun, namun ia belum pandai berkata-kata. Aku juga tidak tahu namanya Atan atau Nathan, kuhanya menirukan apa yang keluar dari mulutnya saja.
Aku kembali bertanya di mana rumahnya, dan ia langsung berlari menjauh ke arah barat.
Dan saat itu juga, sama seperti kemarin, namun kali ini asalnya dari daerah timur, seseorang sepertinya memperhatikanku lagi.
Ternyata si bapak yang kemarin. Tatapan lebar dari cekungan matanya membuatku tidak nyaman. Jaraknya mungkin sekitar tiga bangunan dari tempatku duduk, namun tatapannya seakan menusuk tajam langsung ke mataku.
Kebetulan aku sedang memegang ponsel, jadi aku langsung buka kamera dan kuarahkan kepadanya.
Sial, refleknya terlalu cepat dan dia kembali menghilang di antara gang bangunan.
Ada urusan apa bapak itu denganku? Padahal aku laki-laki. Usiaku juga sudah 23, jadi seharusnya dia bukan pedofil.
Ingin rasanya kukejar dia, tapi… yasudahlah, nanti saja jika bertemu ia kembali.
Di hari esoknya lagi, aku mencari restoran lainnya. Bayangan si bapak menyeramkan yang selama ini memperhatikanku masih terngiang dalam kepalaku. Sudah kusiapkan kamera jika ia muncul kembali.
Kali ini jangan sampai lolos.
Saat aku ingin menyebrang ke restoran yang kudapat, tanganku disentuh seseorang. Tangan yang gemuk dan mungil.
“Atan?” Aku spontan mengutarakan terkaan.
Benar, itu si Atan, menggandeng tanganku dengan tangan kecilnya.
Kupikir kami akan menyebrang bersama, namun ia menarikku dengan tenaga kecilnya ke arah yang berlawanan. Aku coba menurutinya.
Sedang mataku masih waspada dari kehadiran si bapak itu. Tapi kenapa ia selalu muncul bersamaan dengan Atan ya?
Tak terasa aku masuk ke dalam sebuah gang, dan menemukan selebaran kertas usang yang menempel di salah satu dinding.
Tintanya sudah luntur, namun sepertinya itu selebaran info anak hilang.
Kuperhatikan wajahnya, dan sepertinya aku mengenal anak hilang itu.
Aku mencoba mencocokkannya dengan wajah Atan.
Mirip! Meski aku tidak yakin, karena tinta namanya sudah luntur.
Saat aku mengalihkan pandangan dari kertas itu, aku sadar Atan sudah berlari dengan riangnya ke ujung gang.
Wah, aku coba mengejarnya, setidaknya ingin aku bawa ke kantor polisi.
Tiba-tiba aku ingat sesuatu yang janggal, tidak adakah yang menyadari kehadian anak ini yang selama ini bermain-main dekat selebaran info anak hilang?
Langkahku terhenti.
Tak berapa lama, kepala Atan menyembul dari ujung gang yang lain seperti menemukan orang yang bermain petak umpet. Ia tersenyum ceria sebelum akhirnya kepalanya masuk kembali ke gang itu.
Aku kembali mengejarnya, setengah berlari di antara labirin pemukiman dan tembok-tembok semen.
Sampai akhirnya aku datang di daerah yang tidak kukenali. Kuyakin aku masih berada di tengah kota, namun ujung gang yang berupa tembok-tembok semen panjang itu berakhir di sebuah kebun yang terlihat tak terurus dan terbengkalai.
Persis seperti sisa lahan pemukiman lama yang tak tergusur, terkepung tembok-tembok semen gedung perkantoran. Cahaya yang masuk begitu minim sehingga terlihat agak gelap.
Tidak ada orang juga terlihat di daerah sini, rumah terakhir ada beberapa belas meter di belakangku sebelum menjadi pagar-pagar semen yang menjulang tinggi.
“Taaannn?!” Kupanggil namanya, tak ada jawaban. Aku sedikit berjalan menuju kebun terbengkalai tersebut. Apa anak itu ingin bermain petak umpet?
“Aataaannnn???” Suasana semakin mencekam. Perasaanku semakin tidak enak.
Aku mulai menginjak rerumputan di pangkal kebun secara perlahan. Cahaya semakin samar-samar terlihat.
Jantungku entah mengapa menjadi lumayan berdegup kencang.
Tanganku secara tiba-tiba ditarik secara cepat oleh seseorang dari belakang, membuatku sedikit terlempar dan jatuh terduduk.
Aku tidak tahu ada apa, tapi sepertinya jelas di hadapanku kini ada ular besar berwarna hitam yang… kepalanya ada lima?
Eh, bukan, itu bukan kepala ular, tetapi jari-jari tangan yang besar, dengan pose yang seakan siap mencengkeram sesuatu.
Selang beberapa detik, tangan besar hitam itu tertarik mundur sampai kulihat ia masuk ke dalam tembok semen sepinggang di dalam kebun.
Lalu aku ingat sesuatu, aku menoleh ke belakang.
Terlihat si bapak menyeramkan itu sekarang berdiri di belakangku, menjulurkan tangannya agar kuraih dan dapat bangun kembali.
Aku gemetar dan tidak dapat berkata-kata mengenai apa yang barusan terjadi, hingga si bapak itu mengajakku ke rumahnya yang ternyata adalah rumah terakhir sebelum pagar-pagar semen itu.
“Untunglah adik ini selamat…” Si bapak membuka ucapannya.
“Aa… ada apa pak? Apa yang barusan terjadi?” Aku masih gugup dan gemetar.
“Di sana, yang barusan itu, ada sumur tua.” Si bapak mulai bercerita.
Lanjutnya, “Langsung saja, hampir setiap tahun, penghuninya selalu keluar dan mencari ‘mangsa’ dengan mengundang seseorang ke kebun itu sebelum akhirnya ia menghilang selamanya. Kadang saat kutahu, aku berjaga untuk mengusirnya. Dia sepertinya takut denganku. Mungkin karena aku punya sesuatu yang ia tidak suka.”
“Terkadang mereka ada yang berhasil kuselamatkan, namun seringnya sudah terlambat.” Si bapak terlihat sedikit menyeringai, seperti menyesali sesuatu.
Aku masih menyimaknya lanjut bicara.
“Makhluk yang keluar dari sumur itu biasanya menyerupai anak kecil dan mencari orang yang senang dengan anak kecil. Kau senang melihat anak kecil kah?”
Aku mengangguk sedikit namun pasti, kemudian aku ikut bercerita juga.
“Iya, awalnya aku tidak curiga sama sekali. Sampai aku tahu dia bernama Atan dan ada di selebaran anak hilang.”
“Tidak ada selebaran. Kau hanya melihat tembok dan seperti terhipnotis. Aku memperhatikanmu dari mulai kau digandeng tadi.” Ucap si bapak yang membuatku kaget.
“Dan lagi, siapa namanya?”
“Atan.” Aku jawab seingatku, entah benar atau tidak.
“Kalau kau tahu, itu maksudnya ‘makan’, ia ingin ‘makan'”…