Saya bertemu dengan rekan kerja lama yang ternyata ingin resign dari kerjaan lamanya. Sebut saja namanya Bram, doi tipikal low profile. Di tengah pembicaraan, saya iseng bertanya apa doi punya cerita horor, Bram mengangguk. Asikk…
Tapi duh, saya lupa tanya waktu kejadiannya kapan. Saya tebak sih di sekitaran tahun 2015-an. Cuma ya… intinya jauh sebelum Covid aja hehe… sorry.
Btw karena saya lupa-lupa ingat ceritanya, mungkin cerita di bawah ini memiliki kronologi yang cukup berbeda dengan cerita asli. Tapi keseluruhan poin ceritanya sama, yang berbeda hanya urutan waktunya saja. Silakan disimak.
Bram mengajak sepupunya mendaki gunung Slamet, total rombongan ada enam orang. Saat di pos lima, perbekalan sudah mulai menipis terutama persediaan air mineral.
Karena Bram sudah terbiasa naik gunung, akhirnya Bram mengalah dan mempersilakan sebagian rombongan sepupunya saja yang mencapai puncak. Bram sendiri beserta sisanya lebih memilih untuk tetap di pos lima, jadi masing-masing terbagi tiga orang.
Sambil menunggu, Bram bertemu dengan para pendaki lain di pos lima dan sejenak bercerita. Namun entah mengapa, tema pembicaraannya menjadi lebih mengarah ke hal mistis.
Salah satu pendaki yang mengobrol dengan rombongan Bram bercerita, “Bro, di pos sembilan dulu ada pendaki yang meninggal karena hipotermia. Di sana akhirnya dibangun petilasan dengan beberapa barang si mendiang sebagai sebuah momentum.
Yang di dengar Bram kurang lebih seperti itu. Karena topik pembicaraan berubah-ubah dan terlalu asyik, Bram menyadari sudah pukul lima sore dan dari kejauhan rombongan sepupunya sudah terlihat menuruni gunung.
Akhirnya rombongan Bram juga ikut turun kembali ke basecamp. Bram berada di paling belakang untuk memantau rombongan sepupunya.
Saat hari sudah mulai gelap, rombongan Bram sepertinya agak sedikit terlalu cepat meninggalkan rombongan sepupunya.
Bram yang tersadar kemudian menyuruh rombongannya untuk berjalan lebih pelan karena Bram tentu saja memiliki tanggung jawab penuh untuk menjaga sepupunya.
Di saat rombongan Bram berjalan pelan. Bram merasa tangan kirinya mati rasa dan agak berat ke belakang. Saat Bram menoleh ke kiri, terlihat nenek-nenek entah darimana menggandeng tangan Bram, sepertinya ikut ‘menumpang’ turun.
Bram ketakutan, namun peraturan pendaki justru anggota tidak boleh mengutarakan ketakutan sebelum sampai ke basecamp dikhawatirkan akan membuat keadaan rombongan menjadi lebih parah.
Kemudian saat Bram menoleh ke belakang untuk melihat sudah di mana sepupunya, kini di belakang Bram ada seorang perempuan yang masih belia memakai jaket biru tua sedang berdiri menolehnya.
Karena sudah gelap, Bram tidak dapat melihat remaja tersebut dengan jelas.
Bram akhirnya memutuskan untuk terus berjalan pelan dengan rombongannya menuruni gunung sampai rombongan sepupunya terlihat. Semoga tidak terjadi sesuatu pada mereka, cemas Bram.
Tak lama, terdengar suara beberapa orang menuruni gunung dari kejauhan. Rombongan Bram menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang turun.
Ternyata itu adalah rombongan sepupunya. Syukurlah.
Sosok nenek itu masih tetap memegang tangan kiri Bram, sementara kecepatan jalan rombongan telah menjadi normal.
Bram yang agak sedikit tidak tahan dengan sosok nenek yang terus memeganginya, menyuruh pemimpin rombongannya agar semakin bergegas. Di satu sisi, rombongannya seolah memahami bahwa memang ada yang tidak beres dengan mereka.
Atmosfer semakin terasa tidak menyenangkan.
Tak terduga, pemimpin rombongan tiba-tiba panik, mundur ke belakang. Langit sudah sangat gelap, pencahayaan hanya berasal lampu senter masing-masing.
Rombongan sepupu Bram telah dipersilakan untuk berjalan lebih dahulu.
Tidak lama saat rombongan sepupu Bram telah menyusul rombongan Bram beberapa meter di depannya, terdengar ada yang berteriak dengan jelas, “Woi udah ada di pos satu!”
Terlihat ada bangunan terbuka dengan cahaya lampu, namun saat dihampiri, tidak ditemukan penerangan apa pun. Dan itu bukan pos satu, melainkan pos bayangan.
“Siapa tadi yang teriak liat pos satu?!” Sahut Bram.
Tidak ada yang mengaku, bahkan seluruh anggota rombongan, baik rombongan Bram dan sepupunya kompak berkata bahwa tidak ada satu orang pun yang berteriak. Tetapi semuanya memang mendengar ada yang berteriak.
Sosok nenek sepertinya tidak lagi menggandeng tangan Bram. Mereka akhirnya memutuskan untuk beristirahat di pos bayangan itu. Bram duduk menjauh untuk merokok.
Di tengah kegiatan merokoknya, tiba-tiba di depan wajah Bram muncul selendang merah yang tiba-tiba turun begitu saja, entah dari mana. Bram secara spontan langsung melihat ke atas, ke arah dari mana datangnya selendang tersebut.
Gelap. Tidak diketahui dari mana asal selendang itu. Bahkan Bram tidak dapat melihat dari pohon yang mana selendang tersebut tersangkut.
Bram langsung memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, rombongannya setuju.
Saat menuju pos satu, rombongan salah jalan. Yang seharusnya ke kanan, rombongan justru ke kiri.
Anehnya, dari jauh muncul siluet bangunan seperti kastil kuno atau entah, semuanya hitam tidak jelas. Mereka memutuskan untuk menuju ke sana.
Jalanan semakin mengecil, dan perasaan semakin tidak nyaman. Untungnya ada salah seorang rombongan menyadari jika jalan yang sedang dilalui mereka sepertinya bukan jalan yang benar.
“Oi, kayaknya kita gak pernah lewat sini deh. Balik yuk!”
Yang lain setuju.
Saat berbalik kembali menuju persimpangan jalan terakhir, anggota yang paling belakang tiba-tiba panik berteriak sambil mendorong anggota di depannya, menyuruh untuk berjalan lebih cepat.
“Cepetan! Cepetan ada anakonda!”
Bram tidak yakin yang dimaksud anakonda olehnya di sini apa benar asli atau hanya kode jika dia baru saja melihat sesuatu yang sangat menyeramkan hingga panik seperti itu.
Dan untungnya, di depan terlihat ada rombongan pendaki lain yang juga turun gunung. Rombongan Bram segera memainkan lampu senter sebagai kode agar rombongan yang terlihat itu berkenan untuk menunggunya.
Tak terasa, mereka sudah sampai basecamp, pukul tujuh malam. Aneh sekali baru pukul tujuh, padahal mereka yakin bahwa saat di atas tadi, seolah-olah mereka menuruni gunung berjam-jam.
Namun ya sudahlah, Bram menghabiskan waktu untuk mengobrol hingga pukul sepuluh malam. Ada temannya yang menyalakan kompor untuk menyeduh mi.
Peraturan lain, adalah sangat dianjurkan tidak menceritakan kejadian mistis di atas gunung sebelum pagi. Tetapi ada salah seorang yang tidak sabar menceritakan pengalaman menyeramkannya sewaktu di atas.
Dari sanalah Bram tahu bahwa bukan hanya ia saja yang melihat sosok nenek yang menggandengnya. Anggota rombongan lain juga melihatnya, namun mereka ingat peraturan untuk tidak membuat anggota lain panik. Karena mungkin, hanya ia saja yang melihat, yang lain tidak.
Tak lama setelah cerita horor tersebut, semua lampu mati dan jendela terbuka dengan sendirinya. Bram menyuruh anggota lain yang berani untuk segera menutup jendelanya.
Tetapi jendela begitu sulit untuk ditutup. Benar-benar tidak dapat ditutup sama sekali.
Api di kompor tiba-tiba mati, dan mereka semua ketakutan serta memilih untuk tidur.
Paginya, setiap orang meminta untuk mengantarkan masing-masing ke kamar mandi untuk mandi pagi dan itu pun mereka hanya mandi sesegera mungkin. Mereka tidak ingin diganggu di dalam kamar mandi.
Setelah itu ada yang mencoba menutup jendela yang terbuka tadi malam, namun kali ini jendela begitu mudah untuk ditutup. Tidak memerlukan tenaga sama sekali.
Siapa yang menahan jendela tadi malam?
Siangnya, semuanya pulang ke rumah masing-masing. Namun Bram mampir ke rumah pamannya terlebih dahulu di Tegal.
Bram langsung segera cuci tangan dan kaki untuk menghilangkan pamali yang mana jika sehabis dari luar, seseorang harus mencuci tangan dan kaki agar tidak membawa ‘sesuatu’ dari luar.
Tetapi nyatanya itu tidak berhasil.
Keponakan Bram tiba-tiba histeris menangis saat melihat Bram, seakan di belakangnya ada sesuatu yang lain. Setelah itu toples yang ada di bawah meja tiba-tiba jatuh sendiri dan isinya berserakan. Tidak mungkin angin atau tikus dapat menjatuhkan toples berukuran sedang seperti itu.
Paman Bram menegur Bram dan pada akhirnya Bram memutuskan untuk pergi ke rumah pakdenya tidak jauh dari sana.
Saat bertemu pakdenya, si Bram langsung disapa dan ditanya apakah ia habis daki gunung. Bram kaget bagaimana pakdenya dapat tahu dan saat pakdenya menepuk punggung Bram, tiba-tiba ia merasa ringan. Barangkali sosok yang mengikutnya sudah terusir.
Kemudian saat Bram pamit ingin kembali ke Jakarta, di jalan ia bertemu dengan penjual cilok dan ditanya apakah ia baru saja daki gunung.
Bram balik bertanya bagaimana ia bisa tahu. Si penjual tidak menggubrisnya, namun kembali bertanya lagi, “Di atas lewat petilasan?”
Maksudnya mungkin petilasan pendaki yang meninggal di pos sembilan. Bram menggeleng.
Akhirnya si penjual cilok bercerita sedikit mengenai si mendiang. Barulah pada saat itu Bram mengetahui bahwa si mendiang menggunakan jaket biru saat mendaki.
Benar, itu adalah gadis berjaket biru yang ia temui saat turun gunung.
Dan mengenai selendang merah dan sosok nenek, si penjual cilok juga bercerita, bahwa sosok nenek yang menggandeng itu sebenarnya hanya ingin menunjukkan jalan.
Sedangkan selendang merah yang menggantung itu, mungkin akan ada sesuatu yang jatuh jika ditarik, namun penjual cilok itu tidak yakin.
Menulis itu sulit. Saya akui. Karena saya suka menulis tapi sulit menuangkan apa yang saya pikirkan lewat tulisan. Tapi, jika boleh memberikan sedikit masukan, menurut saya (hanya menurut saya ya, setiap orang punya pandangan berbeda) tulisan yang ini kurang ter-deskripsi dan kurang mengalir, jadi pas baca nggak dapet feelnya.. Mungkin karena sebelumnya saya suka baca kisah horornya simpleman, jadi saya membandingkan dengan tulisan ini, hehe..
Sukses terus untuk situsnya..~
Oh dear. I’m so sorry. 🙏
Salah saya juga sih nggak terlalu nyimak banget waktu doi cerita. Btw doi juga kezel waktu baca ceritanya soalnya lumayan beda dari yang dia ceritain.
Jadi… saya juga waktu nulis ini kurang dapet feelnya juga. Tapi apa boleh buat udah saya publish. 😪
Saya janji mungkin kedepannya bisa saya lebih perhatiin lagi feelnya. 😥
Biasanya kalo saya nulis cerho suka dengerin musik horror, nah pas waktu nulis ini saya malah dengerin lagu happy. 😣
Mungkin sebagai kompensasi, coba mending baca deh Kripikpasta sama Short Urban Legend saya. 😉