Wisata Gaib

Sambungan dari kisah #8. Harusnya saya buat jadikan kisah 8A saja ya…

Kisah sebelumnya, Uwi, kakaknya, dan dua temannya berencana mudik dengan menggunakan sepeda motor ke Cirebon, namun di daerah kebun karet di Subang justru Uwi mendapatkan insiden yang menyebabkan semuanya harus menginap di pemukiman terdekat. Akhirnya mereka semua ditampung di rumah seorang sepuh yang disegani di kampung tersebut…


“Anak mbah?” Uwi bengong dengan jawaban sang Kakek.

“Karena ini aku akan tunjukkan sesuatu kepadamu.” Lanjut sang Kakek sambil mengambil kotak perkakas yang ada di bawah kursi teras.

Tepat bersamaan dengan itu, kakaknya Uwi, Ole, dan Sule juga keluar dari dalam rumah karena telah dikirim pesan WhatsApp oleh Uwi. Mereka menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh sang Kakek dengan kotak perkakas tersebut.

Sang Kakek segera membuka isi kotak tersebut, yang isinya membuat semuanya terkejut.

Itu bukan kotak yang berisi perkakas, melainkan segala macam bentuk keris. Dari keris bergelombang biasa, hingga keris yang bentuknya mirip trisula. Semuanya tercengang melihat sang Kakek memamerkan seluruh keris tersebut. Seluruh keris tersebut ditebar di lantai.

Ole, yang merupakan penggemar mistis, langsung bergairah dengan apa yang dilihatnya.

“Wah, gue kebetulan suka sama yang beginian nih.” Sahutnya.

Sang Kakek berkata kepada Uwi, “Kau punya sesuatu?”

Uwi kebingungan, “Sesuatu apa mbah?”

“Kamu tidak tahu apa pura-pura tidak tahu?”

“Saya benar-benar tidak paham maksud mbah?”

Akhirnya sang Kakek bercerita, “Kamu punya sesuatu yang mendiami tubuh kamu. Seperti pusaka, atau semacamnya. Sekarang kamu lihat sekelilingmu.”

Arif melihat ke sekeliling, dengan pandangan menunduk ke bawah. Seluruh keris yang ditebar sang Kakek tiba-tiba seluruhnya berdiri sendiri. Semuanya melihat keganjilan itu.

“Kereeennn!” Sahut Ole.

“Sssttt.” Yang lain menyuruh Ole agar tidak berlebihan. Namun Ole justru semakin bersemangat dengan kejadian itu. “Ranah gua ini mah!”

Sang Kakek langsung melihat Ole dengan sebuah tatapan yang tersirat. Namun Uwi segera memberi kode kepada kakak dan kawan-kawannya bahwa ada yang tidak beres di sini.

Akhirnya sang Kakek seakan memanggil seseorang.

“Ini anak-anak saya.” Kata sang Kakek, diikuti dengan dua orang gadis yang tiba-tiba muncul entah dari mana ke samping sang Kakek. Semuanya berparas ayu, dengan masing-masing memakai kebaya biru dan kuning.

“Dia yang barusan kamu gendong tadi.” Kata sang Kakek menunjuk anak yang berwarna kuning. Benar, warna kuning itulah yang Uwi sangka sebagai jemuran. Sang Kakek kemudian menyuruh sang anak semuanya masuk rumah, dan begitu pula Uwi dan kawan-kawannya yang juga diajak masuk ke rumah agar sang Kakek dapat melanjutkan cerita.

Mereka pun kembali masuk rumah dan sepertinya Uwi dkk. baru menyadari bahwa mereka sedari tadi tengah menunggu hidangan yang akan disiapkan oleh seorang perempuan paruh baya yang hilir mudik di rumahnya. Mungkin dia sekarang sedang di dapur? Dia seorang pembantu? Atau adik sang kakek? Tidak ada yang tahu.

Sambil menunggu kembali hidangan tersaji, sang Kakek melanjutkan cerita.

“Saya di sini adalah pendatang, seorang cenayang yang terkadang mendapatkan pekerjaan dari orang-orang untuk melakukan sesuatu yang kalian sendiri tahu lah, mulai dari teluh, hingga memberikan ajian-ajian yang dapat mengabulkan keinginan pelanggan seperti ingin kaya atau ingin berjodoh dengan seseorang. Yang ingin kaya dapat menjadi babi ngepet atau pelihara tuyul, yang ingin berjodoh dapat memakai pelet atau pun susuk untuk menarik pasangan. Semua itu ada bayarannya tentu saja.”

“Kemudian.” Lanjut sang Kakek. “Bertahun-tahun saya melakukan seperti itu, namun mau bagaimana lagi. Itulah mengapa saya hanya tinggal sendirian di rumah ini.”

Deg! Sendirian? Sang kakek tidak sedang bercanda kan? Lalu siapa tadi yang sedang duduk-duduk? Perempuan yang hilir-mudik ruangan? Atau bahkan anak-anaknya yang baru saja ia panggil?

Uwi dan kawan-kawan saling tatap-menatap. Mereka sepertinya tahu ada yang sangat tidak beres di sini bahkan semuanya merinding hebat.

Sang Kakek terkekeh sedikit, kemudian mengajak mereka untuk mengelilingi desa. Tetapi dengan syarat, jalannya harus mundur. Sebatang rokok dinyalakan oleh sang Kakek, sebagai pertanda perjalanan berkeliling desa dimulai.

Namun sebelum bangkit dari tempat duduk masing-masing, sang Kakek mengusap wajah mereka satu per satu. Seketika pula mereka melihat suasana yang masih senja, dengan banyaknya warga yang berlalu-lalang di depan rumah sang Kakek.

“Ini adalah keadaan desa yang sebenarnya. Saya akan tunjukkan kalian macam-macam.” Jelas sang Kakek sambil mulai berjalan mundur. Uwi dan kawan-kawannya ketakutan, namun di satu sisi mereka begitu penasaran. Akhirnya diikutilah sang Kakek karena bagaimana pun orang itu menjadi salah satu warga yang sangat diandalkan pada saat itu.

Sebuah rumah kosong diperkenalkan oleh sang Kakek, bahwa dulunya orang yang tinggal di sini adalah orang yang terkena sihir sehingga melahirkan seorang anak tanpa kulit. Tubuhnya benar-benar merah karena daging dan pembuluh darahnya terlihat dengan sangat jelas.

Anak tersebut dirawat hingga tumbuh besar namun tidak boleh keluar rumah mungkin karena jadi aib keluarga, tetapi kemudian anak tersebut meninggal. Sang kakek mengajak mereka masuk ke dalam rumah tersebut dan bau busuk sedikit tercium dari dalamnya. Sang Kakek mulai masuk ke dalam sebuah ruangan kamar dan Uwi serta rekan-rekannya menemukan sesuatu yang mengerikan.

Sebuah jasad yang sudah membusuk, dengan tubuh yang kemerahan. Apakah ini anak tanpa kulit yang dimaksud sang Kakek?

“Busuknya!!!” Ole tidak tahan dengan bau itu.

Sang kakek tiba-tiba mematikan rokoknya dan menyentil puntungnya hingga tepat masuk mulut Ole.

“Kamu jangan ngomong begitu lagi! Yang sopan!” Ole ditegur oleh sang Kakek.

Mereka melanjutkan kembali berjalan mundur, namun Sule tiba-tiba ingin buang air kecil dengan hasrat yang begitu hebat. Pada akhirnya Sule keluar dari rombongan dan berjalan maju mencari tempat untuk melancarkan air seninya. Parahnya, tidak ada yang tahu kemana Sule pergi.

Sang Kakek melihat hal itu dan menyuruh menunggu Sule.

“Bilang padanya untuk membalik bajunya.” Titah sang Kakek.

Akhirnya Uwi dan rekannya bersahut-sahutan secara bergantian.

“Suleee… bajunya balik!!!” Uwi dan kakaknya meneriaki Sule.

“Oiii A*s*u (anjing, jw.)!!! Balik bajunya!!!” Ole menambahkan dialog sehari-harinya kepada Sule.

Tiba-tiba sang Kakek menuju Ole dan sedikit menapar pipinya.

“Sekali lagi kamu ngomong kasar, saya tidak mau tahu lagi!” Sang Kakek kembali memperingati Ole.

“Ampun mbah…” Sesal Ole.

Namun sudah sekian lama Sule tidak kunjung kembali. Mereka kembali dilanda rasa khawatir. Apa Sule mendengar teriakan tadi? Atau malah tersasar ke dalam hutan? Mereka berpikir macam-macam. Di tengah kepanikan Uwi dan kawan-kawan, tiba-tiba Sule muncul di antara mereka. Tidak ada suara langkah kaki, hanya tiba-tiba sudah berada di tengah-tengah Uwi dan kawan-kawan.

“Loe kenapa bisa tiba-tiba di sini?!” Semua tentu saja heran dengan kejadian yang tak masuk logika tersebut.

Sule menjelaskan, “Saya dengar ada yang teriak-teriak suruh balik baju, ya sudah saya mah nurut aja. Pas saya balik baju saya, tiba-tiba saya ada di sini. Bingung saya juga.”

Sampai akhirnya mereka melanjutkan berjalan mundur keluar perkampungan, menuju sebuah sungai dengan jembatan kayu kecil. Mereka duduk di seberang jembatan, di tengah kegelapan malam hanya diterangi sinar bulan sebagian.

“Ini namanya kampung siluman. Di sini siapa yang mau menjadi mediator?” Tanya sang Kakek.

“Saya mau, saya!” Ole begitu bersemangat.

“Anak muda yang begitu bersemangat. Maju kemari!” Sahut sang Kakek.

Ole duduk di hadapan sang Kakek, dikelilingi Uwi dan kawan-kawan. Sang Kakek terlihat melakukan sesuatu dengan Ole, tidak jelas melakukan apa. Tetapi tiba-tiba Ole mengambil sikap merangkak, atau namun lebih mirip seperti sikap laba-laba yang tangan dan kakinya semuanya terbuka lebar menapak tanah.

Uwi dan rekan-rekan menjauh, apalagi setelah Ole mengeluarkan suara desis yang melihat ke sembarang arah.

Ole kemudian bergerak layaknya seekor reptil dengan sangat cepat. Berkeliling-keliling tak tentu arah. Itu bukan Ole, entah apa yang sedang merasuki Ole. Dia merangkak dengan cepat menuju sungai dan hilang ditelan sungai.

Tentu saja Uwi dan kawan-kawan panik, apakah Ole jadi tumbal? Apa Ole meninggal?

Parahnya, sang Kakek juga sedikit terlihat panik, berusaha memanggil-manggil apa pun yang sedang mendiami tubuh Ole agar segera kembali dengan jentikkan tangan yang ritmenya sedikit berantakan.

Dari sungai kemudian terdengar suara air yang cukup keras, seperti ada kaki yang memijak-mijak air tersebut dengan gerakan yang begitu cepat. Suaranya semakin lama semakin keras, ‘pyar pyur pyar pyur!’.

Pada akhirnya, itu adalah Ole yang kembali dari sungai, masih dalam keadaan merangkak seperti kadal. Sang Kakek akhirnya mengembalikan Ole menjadi seperti semula. Uwi dan kawan-kawan menjadi sedikit lega, namun Ole tidak ingat apa pun kejadian yang baru saja itu.

Kemudian perjalanan kembali dilanjutkan. Sepanjang perjalanan begitu banyak yang Uwi lihat. Dari sesosok manusia berkepala belut yang menggantung di antara ranting-ranting pohon dengan mata yang begitu menyala merah menatap mereka, sesuatu berdiri dan berlalu-lalang di semak-semak, hingga mereka akhirnya sampai ke daerah yang dijuluki dengan Taman Pocong.

Mereka semua kemudian melihat semuanya, namun tidak lama karena mereka tidak sanggup. Taman Pocong itu memang benar-benar dihuni oleh banyak pocong yang sedang hilir-mudik. Di antara pocong-pocong tersebut ada yang melayang, melompat-lompat seperti apa yang kita lihat di televisi, dan yang mengerikan ada yang hanya bergeliat-geliat tidak menentu namun begitulah cara mereka jalan.

Bahkan Ole sempat dirasuki salah satu pocong tersebut dan hanya menggeliat-geliat tidak jelas dengan tatapan melotot namun kosong. Kepalanya maju mundur sambil menggembung-kempiskan pipinya dan mulutnya bergerak secara tidak normal. Terkadang manyun, kemudian mulutnya dilipat ke dalam, ekspresi wajahnya berubah-ubah dengan cepat, kemudian mulutnya menyamping, menyengir, dan mengeluarkan suara ‘sksksksksksk’.

Sang Kakek kemudian membuat Ole normal kembali dan mengajak Uwi dkk. menuruni jalan menuju sebuah goa, masih dalam berjalan mundur. Kini segala sesuatunya bertambah gelap, Uwi dan kawan-kawan hanya bermodalkan adrenalin saja untuk tetap bertahan dalam posisi berjalan mundur, meraba-raba di mana sang Kakek yang sedang memimpin, di tengah gelapnya goa dan atmosfer yang sangat tidak membuat nyaman.

Setelah beberapa lama disiksa oleh rasa takut, sang Kakek menunjuk lubang gua yang terlihat sedikit lebih terang. Di dalamnya sungguh tidak masuk akal ketika mereka memasukinya.

Guanya tiba-tiba menjadi rindang, seperti hutan. Tidak dimengerti kenapa dapat tumbuh banyak pohon di dalam gua. Pohon-pohon kamboja besar tumbuh di dalam gua, yang sudah dapat di tebak, di dasar gua tersebut dipenuhi dengan kuburan-kuburan yang sudah tidak berbentuk lagi. Hanya gundukan tanah dan beberapa ada batu nisan kayu yang sudah sangat lapuk.

Di beberapa batu nisan tersebut terdapat foto. Bahkan di antaranya Uwi kenal adalah seorang penyanyi dangdut yang pernah tersohor. Beberapa bahkan foto pejabat negara. Apa artinya ini semua?

Sang Kakek menjelaskan bahwa di sinilah orang-orang yang pernah melakukan pesugihan bersamanya. Ada yang memakai susuk, pelet, atau ajian agar menjadi kaya, mendapatkan jabatan, dan lain sebagainya.

Setelah itu sang Kakek membawa mereka ke sebuah tebing, di mana dari sana tercium bau yang sangat busuk yang membuat Uwi dan kawan-kawannya hampir semuanya muntah. Memang ada apa di sana?

Di ujung tebing terdapat dupa-dupa dan peralatan ritual, sang Kakek hanya memberikan sedikit gambaran, “Di bawah sana (jurang dari tebing), banyak orang-orang yang dikorbankan (tumbal) karena ritual-ritual ini. Mayatnya kemungkinan besar semuanya masih ada di bawah.”

Mungkin karena itulah tebing ini begitu berbau busuk.

Tak tahan, Uwi dan kawan-kawan akhirnya meminta sang Kakek untuk menyudahi perjalanan mereka dan kembali menuju rumahnya.

Setelah perjalanan yang sepertinya menghabiskan waktu berjam-jam bahkan langit sudah terlihat sedikit terang tersebut, mereka dipersilakan kembali tidur di rumah sang Kakek.

Setelah itu, Uwi mengecek smartphonenya untuk memeriksa sesuatu. Uwi benar-benar kaget dengan apa yang ia temui di smartphonenya setelah itu…

Bersambung ke kisah #10…

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Pengalaman Horor Teman Terbaik #8 : Pulang Kampung

    Berikutnya
    Pengalaman Horor Teman Terbaik #10 : Kembali Pulang


  • 1 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    1. Malem senin kemaren tgl 25Desember 2022 saya lewat jam 9 atau jam setengah sepuluh malam. Saat jalan naik cikamurang hutan jati saya diapit 2 motor masing masing berboncengan. Motor depan saya jalan sangat pelan dg hanya berkaos putih . padahal cuaca sangat dingin dan hujan…bocenger yang berkaos putih tadi noleh ke saya dg muka tidak ramah…saya matukan lampu tambahan dan berusaha menyalip ..alhamdulilah..bisa. namun baru saya sadari,..cara bermotor tanoa lampu bahkan mesin tidak bersuara.,.hanya kaos yg dikenakan tanpa jaket ataupun jas ujan.,dan muka yg pucar serta kelopak mata yang semuanya hitam.,..astaghfirulloh..alhamduliah saya selamat samapi desa burujul sanca. Pagi harinya …saya liwat situ lagi ..ternyata kuburan yang sangat luas ,…dan depannya jurang..mohon hati hati dan selalu bunyikan klakson .,dan lampu tambahan untuk penerangan lebih baik di jalan tsb

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas
    Pakai tema horor