Saya memiliki rekan kerja baru, seorang bapak yang usianya sudah dua kali lipat dari saya, direkrut oleh rekan kerja saya yang usianya sepantar pula.
Tak kenal maka tak sayang, awalnya saya dengan beliau begitu dingin, hingga akhirnya saat sebuah perkumpulan beliau cerita tentang pengalaman beliau yang berbau mistis. Seketika pupil mata saya melebar, menyeret kursi saya agar dapat menjangkau beliau lebih dekat.
Kami berdua bahkan bertukar cerita di kantor dari maghrib hingga pukul 10 malam lewat, menyisakan hingga kami berdua di ruangan tersebut.
Berikut pengalaman-pengalaman horor nan mistis beliau (saya sebut saja pak Berto):
Kejadiannya tahun 2010-an, di mana beliau sedang dalam perjalanan dari Rainbow Hills, Sentul menuju Ciawi pada saat waktu maghrib. Pak Berto menggunakan sepeda motor membonceng temannya. Waktu itu sepanjang jalan masih minim penerangan sehingga pak Berto hanya mengandalkan penerangan dari sepeda motornya dan rumah penduduk sekitar.
Baru beberapa puluh meter setelah melewati Rainbow Hills, sepeda motornya mati secara tiba-tiba. Sepeda motor pak Berto tidak dapat dihidupkan sama sekali. Aneh. Padahal tidak ada sebab sama sekali dan bensin masih ada.
Di tengah keputusasaan itu pak Berto mulai mendorong sepeda motornya dan melihat sebuah rumah di mana banyak orang yang sedang mengadakan pesta. Terang dan ramai. Tidak tahu pesta perayaan apa, namun tentu pak Berto ingin meminta tolong dengan orang-orang itu.
Seseorang yang berpakaian sangat rapi dari kerumunan pesta tersebut melihat pak Berto dan menghampiri beliau. Dia mengajak pak Berto untuk masuk ke dalam pesta dan orang tersebut mempersilakan pak Berto agar meminta bantuan kepada orang-orang di dalam.
Pak Berto setuju dengan ajakan itu dan mengajak teman yang diboncengnya agar mengikutinya. Tetapi teman pak Berto seolah enggan, mungkin malu dan tidak terbiasa dengan itu.
Akhirnya pak Berto memutuskan dia sendiri yang menghampiri pesta tersebut untuk meminta tolong. Saat pak Berto mulai mengambil langkah, seseorang dari arah Rainbow Hills menghampirinya.
“Lanjut pak, dorong terus.” Kata dia.
“Tapi, sepeda motor saya mogok?!” Tangkis pak Berto.
“Sudah, dorong saja!” Paksa orang itu. Teman pak Berto setuju dengannya.
Akhirnya pak Berto mengalah dan melanjutkan untuk terus mendorong sepeda motornya.
Saat sekitar seratus meter pak Berto mendorong sepeda motornya menjauhi rumah tersebut, sepeda motornya menyala sendiri, tanpa ada yang menghidupkan sama sekali. Pak Berto dan temannya terkejut bukan kepalang, mencoba secepatnya keluar dari jalanan gelap tersebut.
Esok paginya, penasaran pak Berto kembali menelusuri jalanan semalam. Dia menemukan rumah yang mengadakan pesta tadi malam. Namun ternyata rumah tersebut kosong, dipenuhi tumbuhan dan alang-alang, dihiasi banyak coretan di seluruh dindingnya, bahkan pintu dan jendelanya sudah tidak ada lagi.
Setelah selesai salat maghrib, pak Berto mendengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Pak Berto dan keluarganya tidak langsung bangun untuk membuka.
Tak lama, suara ketukan berubah menjadi suara gedoran. Pak Berto masih bertatap-tatapan dengan istri dan anaknya.
Sampai akhirnya, pintu ditendang dengan keras, menyebabkan sebuah bingkai foto di ruangan terjatuh. Akhirnya pak Berto penasaran dengan tamunya dan membuka pintu.
Kosong. Tidak ada siapa pun sama sekali.
Dini hari, pukul 2 pagi pak Berto baru pulang dari tempat kerjanya. Rumahnya waktu itu di Babakan Madang, Bogor. Di tengah perjalanan pulang yang gelap dan banyak pepohonan, tiba-tiba rantai sepeda motornya putus.
Pak Berto mencoba mencari bantuan, namun aneh mengapa tidak ada orang sama sekali. Biasanya di jam tersebut, banyak mobil-mobil bak lewat mengantar para pedagang yang akan berjualan ke pasar. Malam ini tidak, dan seakan jauh lebih gelap daripada biasanya.
Akhirnya pak Berto mencoba untuk membetulkan sendiri rantai sepeda motornya.
Saat ia mulai berjongkok dan memeriksa rantai, dari arah pepohonan bambu terdengar suara gemerisik yang tidak beraturan. Pak Berto sebenarnya mulai takut dengan hal itu namun rantai sepeda motornya jelas jauh lebih penting.
Tidak lama setelah itu, muncul suara tangisan kecil seorang wanita namun cukup menggema sekeliling dari rumpun bambu tersebut.
Pak Berto antara takut dan kesal, mengambil batu dan berteriak sumpah serapah kepada apa pun itu. Ia lantas melemparkan batu tersebut dengan sekuat tenaga ke sumber suara.
Setelah itu, suara tangisan menjadi suara tawa yang berintonasi sangat cepat dan melengking tinggi. Suara tersebut mulai mendekati pak Berto dan melayang-layang di atasnya.
Pak Berto tidak ingin ambil urusan dengan apa pun itu, ia akhirnya langsung memutuskan untuk mendorong sepeda motornya ke rumahnya langsung.
Setelah ia berhasil keluar dari teror suara tawa tersebut, ia mulai menyadari bahwa jalanan begitu gelap dan sepi. Tidak pernah seperti biasanya. Tidak ada yang lewat, sepanjang jalanan gelap. Ia hanya mengandalkan lampu depan sepeda motornya saja.
Pada akhirnya ia sampai ke depan gerbang rumahnya. Bersamaan dengan itu ia dikagetkan dengan suara orang yang menyapanya entah dari mana.
“Sepada motornya rusak pak?”
Pak Berto kaget dan menoleh. Ternyata ia ditegur tetangganya. Dan secara tiba-tiba pula, langit menjadi terang karena sudah pagi, hampir pukul enam. Padahal, sebelum ia ditegur, semuanya masih sangat gelap seakan masih jam tiga pagi.
Saat pak Berto masih kecil, ia diajak keluarganya bepergian ke Yogyakarta via Kabupaten Semarang. Mereka sampai ke Kabupaten Semarang saat dini hari dan memutuskan untuk mencari penginapan.
Mereka akhirnya menemukan hotel antik tingkat tiga bergaya Eropa di pinggir jalan, di ujung perkampungan dan perkebunan. Mereka akhirnya masuk.
Hotel tersebut dijaga oleh dua orang petugas keamanan.
“Mau menginap bapak?” Sapa petugas dengan logat Jawa yang kental. Akhirnya mereka diberi kunci kamar dan diarahkan.
Di tengah perjalanan, keluarga pak Berto melihat seseorang sedang duduk dengan posisi lutut yang ditekuk dan kepala yang masuk di antara tekukan lutut tersebut. Keanehan lainnya lagi, penerangan hotel tersebut dirasa agak kurang.
Tidak gelap. Hanya… sedikit remang-remang.
Akhirnya sampailah mereka di kamar. Ayah pak Berto memesan dua kamar, satu untuk dirinya dan istrinya, satu lagi untuk pak Berto dan adiknya.
Malam itu, adik pak Berto tertidur sangat pulas. Pak Berto tidak. Ia terjaga meskipun sangat lelah. Ia bahkan sempat melihat seorang wanita masuk berjalan ke kamar mandi dalam ruangan kamar hotelnya. Padahal pintu kamarnya dikunci.
“Sial!” Gumam pak Berto.
Tak berapa lama, pintu diketuk. Ia tentu saja tidak ingin buka.
“Bertooo!” Terdengar seperti suara ayahnya.
Saat pak Berto buka pintu kamar, ayahnya memang tengah berdiri menghadapnya, dengan raut wajah yang agak pucat.
“Bagaimana jika kita lanjut sekarang?!” Ayah pak Berto menawarkan.
Pak Berto menggeleng karena dia masih cukup kelelahan.
Namun sepanjang malam, pak Berto kerap dihantui oleh suara-suara seperti garukan di pintu, suara sesuatu di lemari, dan suara-suara lainnya.
Sampai akhirnya terdengar suara ketukan pintu kembali.
“Bertooo!” Ternyata suara ayahnya lagi, mengajak untuk segera melanjutkan perjalanan. Akhirnya mereka keluar hotel, di sapa kembali oleh kedua petugas sekuriti dan mulai mengeluarkan mobil.
Sepulang dari Yogya, satu keluarga ingat hotel antik tersebut dan mencoba untuk melihatnya kembali saat siang, terutama ketika sudah kembali berada di Kabupaten Semarang.
Mereka kesulitan mencarinya. Tidak ada bangunan apa pun di sekitar yang mereka yakini hotelnya berlokasi di sana.
Hanya ada kompleks pemakaman Belanda tua.
Pak Berto sempat berjalan-jalan di Yogyakarta dan memilih penginapan antik yang sangat bertema tradisional.
Malamnya, pak Berto yang sendirian di kamar seakan merasa agak takut karena seorang diri di daerah yang ia tidak begitu familiar. Apalagi hotel tersebut memang memiliki nuansa jadul yang kental. Penerangannya belum memakai LED, masih bohlam biasa.
Di kamar sebelahnya, terdengar suara orang mendengkur. Setidaknya dia bisa lega karena di hotel tersebut ia tidak sendiri. Namun dengkurannya makin lama makin keras sehingga agak mengganggu pak Berto.
Bersamaan dengan itu, pintu lemari yang tertutup bergerak-gerak dengan sendirinya, membanting-banting kecil seperti ada gempa. Untungnya karena begitu lelah dan rasa kantuk hebat, pak Berto tertidur hingga pagi.
Esoknya ia bertanya kepada petugas hotel, mengajukan komplain atas gangguan suara dengkuran tetangganya. Petugas hotel berkata,
“Yang bapak maksud itu gudang. Bukan kamar.”
Beberapa saat setelah itu, terdengar suara yang asalnya entah darimana, memanggil dirinya dengan berteriak seakan dari jauh.
“Bertoooo!”
Pak Berto langsung keluar dari hotel tersebut dan pulang. Hotel tersebut masih berdiri hingga sekarang.
Malam itu pak Berto terbangun dari tidur, merinding.
Ia akhirnya mencoba berbalik dari posisi tidurnya, dan kini yang berada dihadapannya adalah wajah Kuntilanak.