Rumah nenek, atau rumah kakek dan nenek, seringkali menjadi sebuah objek yang sangat kita rindukan. Tidak heran banyak sekali cerita tentang keistimewaan rumah nenek ini, baik di Indonesia maupun di luar negeri sana.
Spesialnya rumah kakek dan nenek berlaku bagi seluruh usia. Bahkan orang tua kita masih sangat bersemangat apabila ada kesempatan-kesempatan mengunjungi rumah orang tua mereka.
Terbukti, semacet apa pun mudik lebaran, tradisi mudik tersebut selalu menjadi bagian yang kerap kita tunggu, setidaknya bagi sebagian besar.
Bagi yang memang sudah tidak lagi memiliki kakek atau nenek sedari lahir, mungkin rumah masa kecil bisa masuk ke dalam kategori ini.
Nostalgia dapat muncul dari atmosfer yang cantik dan berkesan. Dan rumah nenek memiliki itu semua.
Udara pagi yang sejuk, pemandangan segar, suara-suara alam yang masih kental, nuansa pedesaan atau perkampungan yang menenangkan.
Bagi yang memang rumah neneknya atau rumah masa kecilnya bukan di daerah pedesaan, momen-momen nostaljik itu tetap terasa.
Saya ingat betul, meskipun rumah nenek dari almarhum ayah saya berada di tengah kota Jakarta, namun cerita-cerita zaman dulu yang mana Jakarta dulunya masih banyak pesawahan dan rawa-rawa masih membekas.
Kalau misalnya kita perhatikan, lumayan banyak hotel dan restoran yang menjual tema “rumah nenek” sebagai bagian dari nama bisnis mereka. Para pengusaha tentu saja memahami betapa magicnya atmosfer rumah nenek.
Ketika kita katakan bahwa salah satu keistimewaan rumah nenek adalah kebebasan dari polusi kendaraan, itu benar.
Tetapi bukan hanya polusi udara saja yang minim, melainkan juga polusi suara, polusi cahaya, dan polusi-polusi lain yang manusia sebabkan.
Di rumah nenek, bintang-bintang masih terlihat secara jelas bertaburan di atas langit, air-air sungai masih terdengar menderu dari kejauhan, tanda lingkungan yang sehat dari polusi cahaya dan suara.
Minimnya polusi ini tentu saja menjadi salah satu faktor yang berkontribusi memberikan rasa aman dan nyaman.
Apalagi bagi saya yang muslim, mendengar sayup-sayup suara pengajian saat magrib dari surau adalah hal yang sangat membuat tenang.
Semenjak tahun 2014 ke atas, jam tidur saya sudah menjadi begitu larut. Saya biasanya baru terlelap di atas tengah malam, dan itu selalu.
Saya baru menyadari sesuatu, setiap saya mengunjungi rumah nenek saya di Majalengka, meski pun nenek saya sudah tiada, jam tidur saya paling malam adalah pukul 11.
Rasa tenang yang muncul karena lembutnya atmosfer dan minimnya polusi telah berhasil me-reset settingan pabrik jam tidur saya.
Yah, meski tidak semerta-merta saya kembali tidur tepat pukul 9 malam seperti masa-masa sekolah dulu.
Apalagi sebagai orang yang merasakan lelah, letih, dan penat hidup di perkotaan yang sarat polusi, jam biologis tubuh saya teracak-acak dengan gangguan tersebut.
Setiap pagi saya dilanda rasa kantuk dan sedih, serta keadaan tubuh yang masih tidak puas dengan porsi tidur saya.
Tetapi saat di rumah nenek, saat saya bangun tidur di pagi hari, tubuh tiba-tiba terasa ringan, seakan racun-racun dalam tubuh keluar dengan sendirinya.
Apalagi jika lingkungan sekeliling saya menyambut dengan keasrian yang menakjubkan.
Di rumah nenek biasanya terdapat sanak saudara yang kemungkinan besar rindu dengan kehadiran kita. Terkhusus sang kakek dan nenek itu sendiri jika memang mereka berdua masih hidup.
Kehangatan yang kita rasakan, seperti makan berbagai masakan khas yang lidah begitu nantikan, hingga duduk bersama menikmati hidangan, menjadi poin khusus mengapa rumah nenek menjadi begitu spesial.
Beberapa bahan masakan kebanyakan masih begitu segar sebab langsung kita konsumsi tak lama setelah dipetik, tidak seperti di kota yang mana bahan makanan seringkali mengendap di freezer berhari-hari.
Karena bahan makanan masih segar, pastinya masih mengandung banyak zat-zat berguna bagi tubuh tanpa bantuan bahan kimia buatan.
Banyak sekali sayuran dan buah-buahan yang mengandung atau dapat meningkatkan hormon kebahagiaan, seperti dopamin dan serotonin.
Apalagi jika sayuran dan buah-buahan tersebut masih segar, yang mana kandungan vitamin, protein, dan zat-zat positif lainnya masih begitu berlimpah.
Barang elektronik yang kita matikan atau kita istirahatkan, dapat meredakan panas yang terjadi dan menghemat baterai/listrik.
Begitu pun dengan manusia. Secara tidak sadar, tubuh kita selalu berada dalam aktivitas yang melelahkan saat berada di tengah kesibukan.
Bahkan di kala istirahat pun, kita masih membuka gadget seperti ponsel atau laptop, membuat mata kita semakin cepat lelah karena terlalu banyak screen time.
Belum lagi saat kita bicara radiasi, masalah kesehatan, dan lain sebagainya akibat ‘serangan’ benda-benda elektronik di sekitar kita.
Ketika kita berada di rumah nenek, kita memiliki kesempatan besar untuk menghargai sekitar dan menaruh seluruh barang elektronik yang kita miliki.
Kita bisa mulai mengeksplorasi sekitar, mengenang jalan-jalan yang kita lalui sewaktu kita kecil, menikmati banyak hal yang selama ini kita lewatkan.
Otak yang mendapatkan jam istirahat, baik dari polusi maupun layar elektronik, akan lebih mudah menjaring banyak inspirasi yang selama ini sulit kita dapatkan.
Otot dan hati yang mendapatkan jam istirahat, baik dari polusi maupun layar elektronik, akan lebih mudah mendapatkan motivasi yang selama ini kita perlukan.
Motivasi dan inspirasi yang kita dapatkan tentu akan dapat meroketkan produktivitas kerja, yang mana itu dapat membantu kita mendapatkan jenjang karir dan penghidupan yang lebih baik.
Jika kita tidak memiliki kesempatan untuk mendatangi rumah nenek atau rumah masa kecil kita, kita bisa mereplikanya. Apalagi jika rumah nenek atau rumah masa kecil sudah tidak ada.
Tips mereplika suasana rumah nenek di perkotaan:
Selamat membuat ruangan rumah atau kantor kalian senyaman rumah nenek! Karena rasa bahagia yang timbul dari rasa nyaman, akan berefek positif bagi lingkungan sekitar pula.