Baiklah, tenang… mohon tenang. Mungkin bagi para otaku, atau weaboo aka wibu, judul artikel ini agak sedikit mengusik hehe…
Bukan, bukan berarti karena saya sudah tidak lagi menyukai anime kemudian saya membencinya. Tetapi… hanya tidak lagi antusias dengan anime seperti yang dulu pernah terjadi pada saya saat masih ada Spacetoon.
Lho, kenapa memangnya? Padahal anime sekarang kualitas grafik dan musiknya sudah semakin bagus? Ya, saya tahu itu dan saya kagumi. Namun bukan itu alasan saya benar-benar menyenangi anime. Mungkin terakhir kali benar-benar nonton anime saat Hunter X Hunter dan One Piece masih berkeliaran di layar kaca.
Bahkan saya tidak lagi mengikuti episode-episode terbaru Doraemon dan Crayon Shinchan, sang dua leluhur anime legendaris, sejak dua tahun lalu. Ada apa?
‘Kebiasaan’ orang Jepang, atau bahkan mungkin beberapa orang ahli, banyak yang memiliki pola turun gunung untuk karya-karya mereka. Maksudnya meskipun semakin ke sini kualitas karya mereka semakin membaik, namun formula yang sama terus-menerus mereka terapkan ke dalam anime mereka sehingga menjadi… agak membosankan.
Saya ingat betul setahun lalu saya menonton episode terbaru Detective Conan yang memiliki cerita mengenai sebuah bom yang tertanam di salah satu balon boneka. Seperti biasa, mereka harus berpacu dengan hitungan waktu mundur bom untuk menciptakan ketegangan cerita, lalu pasti ada barang di sekitar mereka untuk menjinakkan bom tersebut, kemudian diakhiri dengan humor yang cukup tidak lucu.
Bahkan seluruh tebakan saya selama filmnya berlangsung tidak ada yang meleset.
Begitu pun dengan Doraemon yang entah kenapa tiba-tiba kini di setiap episodenya selalu disusupi sesuatu yang mencoba untuk menyentuh hati pemirsanya. Awalnya saya ikut terlarut dengan drama. Namun semakin kesini sepertinya agak annoying karena pesan-pesan moralnya terlihat agak semakin dipaksakan dan hanya mengisi kekosongan waktu cerita saja. I’m sorry but it’s extremely predictable too.
Begitu juga film-film anime saat ini yang memiliki formula, “Jika tidak sedang klimaks, maka jalan ceritanya akan sangat membosankan.”
Sorry weaboos, sebenarnya ini bukanlah hal yang buruk. Karena saya yakin seluruh wibu di seluruh dunia, termasuk saya juga benar-benar mengagumi lukisan latar belakang dari anime-anime masa kini. Bahkan tidak sedikit dari para wibu termasuk di negeri ini yang berlomba-lomba membuat karya desain grafis serupa.
Tapi mengapa hal ini justru membuat minat saya kepada anime memudar?
Sebenarnya bukan masalah di desain grafiknya karena itu luar biasa. Namun sepertinya terlalu banyak effort yang dikerahkan untuk membuat desain realistis tersebut. Terkadang agak sedikit lucu menyandingkan gerakan animasi super kaku anime dengan grafik di belakangnya.
Dan sepertinya akhir-akhir ini tidak ada anime yang memiliki gerakan yang smooth. Saya memahami karena para animator menggambar manual via kertas frame per frame, namun mereka hanya menambal dengan efek-efek grafik yang sepertinya berputar di lingkaran itu-itu saja.
Saya kembali membandingan dengan film Disney Tarzan perihal keindahan grafik latarnya dengan kehalusan animasinya. Semuanya bergerak secara sempurna dan bahkan mereka memadukannya dengan grafis tiga dimensi. Untuk kartun yang keluar tahun 1999, ini sangat-sangat tidak buruk.
Coba perhatikan ini:
Para wibu pasti paham dengan anime-anime yang ikonik pada masanya. Misalnya, Detective Conan, Doraemon, Shinchan, Inuyasha, Naruto, bahkan hingga Digimon dan Pokemon. Saya masih ingat dulu saya juga menonton Pretty Cure, Atashin Chi, Chibi Maruko Chan, Princess Comet, Tutu, Digi Charat, dan puluhan lainnya.
Namun sekarang, anime apa yang bisa dinikmati dan berbekas? Saya hampir tidak pernah mendengarnya lagi. Biasanya judul animenya diawali dengan ‘watashi wa … desu’ atau mirip dengan itu.
Dengan formula serupa, grafik yang keren yang juga serupa, dan filler yang pastinya juga serupa untuk anime masa kini, membuat saya terkadang hanya ingin langsung melihat bagian klimaksnya karena memang jalan ceritanya hanya bagus di saat itu saja. Sisanya hanya mengobrol dan ‘keren-keren’an pengisi sisa waktu tayang.
Saya hanya tidak ingin berkata jika anime sekarang cuma bagus sebagai pengganti obat tidur karena saking boringnya. Saya tidak ingin berkata seperti itu, mungkin agak terlalu kejam.
Saya sampai memahami jika kebanyakan anime, terutama anime Jepang, tokoh perempuannya pasti memiliki bagian kewanitaan yang sangat menonjol. Bahkan beberapanya memang ditujukan untuk membangkitkan birahi pria. (Hentai anyone?) Mungkin inilah yang menjadi alasan mengapa sebagian besar wibu adalah laki-laki. Saya tidak tahu.
Oke, saya tidak sedang membahas itu. Namun saya sepertinya merasa dengan balutan grafik dan musik yang super keren ini seakan masih ada yang kurang. Saya merasa anime-anime sekarang ini begitu… kosong. Setelah ditonton, berbekas sebentar, kemudian mencari anime lain lagi untuk ditonton kemudian sudah, tidak ada bahasan lagi.
Mungkin sesekali muncul anime yang luar biasa, tapi frekuensinya semakin berkurang dari hari ke hari.
Banyak ekspresi-ekspresi wajah yang begitu robotik dan tidak presisi. Bahkan waktu SMP saat saya sedang gila-gilanya dengan anime, saya menyadari kalau hampir semua karakter anime tidak pernah… berkedip. Ya, mereka sesekali berkedip jika ada ada sesuatu yang mengejutkan atau hanya mengisi kekosongan animasi saja, dan itu pun hanya terjadi sesekali.
Jika kita bandingkan dengan Sponge Bob (yang sebelum season 7, karena season 7 keatas kualitas kartun dan jalan ceritanya semakin terjun menukik ke jurang, apalagi setelah kreatornya meninggal), semua karakter di Sponge Bob memiliki ekspresi yang natural sehingga kita dapat merasakan ekspresi wajah yang kaget, ketakutan, dan… mereka berkedip!
Jadi saat berbicara mimik dan ekspresi, ya benar-benar mimik dan ekspresi, bukan cuma sekedar ditambah garis-garis gelap atau ikon air keringat yang perlahan turun dari wajah dengan muka yang sok imut. Awalnya saya ngakak dengan seluruh ekspresi anime itu, namun sekarang ingin lihat lagi saja sudah agak malas.
Mengapa kartun-kartun atau animasi Disney/Pixar masih membekas hingga saat ini? Karena mereka berhasil menyeimbangkan antara realita dan fantasi. Maksudnya bukan berarti anime tidak memiliki pesan moral atau kata bijak, bukan. Namun biasanya manusia menyukai acara yang dirinya ‘dilibatkan’ di dalam acara tersebut.
Jadi bukan sekedar adegan berantem dengan segudang efek yang luar biasa, namun juga ada sesuatu yang benar-benar humanis. Apalagi jika memang jalan ceritanya memang mengusung masalah yang ‘gue banget‘ dan berharap di akhir cerita kita juga mendapat gambaran mengenai solusi yang mungkin di luar perkiraan.
Beberapa anime ada yang menerapkan formula ini, cuma hari ini sudah semakin jarang.
Sebagian besar Anime terkadang terlalu mengedepankan fantasi yang hanya membuat sesuatunya semakin membosankan karena ceritanya pasti berputar-putar di area fantasi tersebut. Sang kreator seakan tidak peka dengan kehidupan nyata para pemirsanya jadi setelah menonton anime, tidak ada sesuatu yang berkesan kecuali sedikit.
Jika kita tilik film Disney, contohnya saya ambil dari cerita yang mungkin paling konyol seperti The Princess and The Frog. Yup, cerita seorang gadis yang mencium katak sehingga katak tersebut berubah menjadi pangeran tampan itu. Ternyata jalan ceritanya tidak seabsurd yang saya bayangkan.
Tokoh utama Princess and The Frog, si Tiana adalah orang kulit hitam yang diperlakukan rasis pada masanya, bapaknya meninggal dunia dalam perang dan dia bercita-cita memiliki restorannya sendiri suatu saat dari tabungan tipsnya yang ia peroleh selama ia jadi pelayan restoran. Begitu impiannya hampir tercapai, ia terpaksa harus gagal lelang di hari temannya berbahagia.
Inilah salah satu sebab mengapa film Disney saya sering ulang-ulang setiap saat karena ceritanya ternyata memang benar-benar tidak membosankan. Jalan ceritanya seakan mencoba untuk merangkul pemirsanya secara tidak langsung dan saya terkesan.
Dengan semua yang di atas itu, sekali lagi, bukan berarti saya kemudian membenci anime, bukan sama sekali. Saya hanya perlu beristirahat dari dunia wibu. Di samping itu, saya masih bersama teman-teman saya yang juga wibu, menonton anime bersama mereka jika sedang ingin. Namun saya tidak lagi seantusias dengan anime seperti yang pernah dulu.