Di tahun di mana ada pemilu, maka tahun tersebut biasa kita sebut dengan tahun politik.
Bertaburan wajah-wajah yang kebanyakan tidak kita kenal menghiasi sisi-sisi jalan. Tak jarang menggunakan tembok-tembok yang biasanya harus beradu dengan iklan-iklan lain yang sudah tertempel lebih dahulu.
Mereka adalah para calon legislatif yang memohon-mohon untuk kita pilih, dengan ribuan gaya terbaiknya yang mereka lakukan untuk meraih simpati masyarakat yang melihat.
Seluruh kursi kekuasaan bergoyang seakan menanti pergantian, hingga kepada jabatan presiden.
Tahun-tahun itu penuh dengan pesta politik, yang mana setiap harinya kita hampir tidak dapat menghindar dari kegiatan kampanye sekecil apa pun meski hanya melihat poster di pinggir jalan.
Apa yang biasa para calon peraih kekuasaan jadikan alat untuk kampanye selain memajang wajah mereka di ruang publik?
Sasaran politik mereka ternyata tidak jauh dari lima hal berikut.
Sasaran pertama, biasanya tertuju kepada para pegiat usaha rakyat yang kecil maupun menengah.
Para caleg biasanya mencari target pengusaha kecil menengah yang berkelompok, merangkul para pegiat usaha sebanyak-banyaknya. Tentu saja para caleg tersebut menginginkan timbal balik.
Dengan merangkul para UMKM, para caleg mendapatkanΒ marketing gratis dengan meminta para pengusaha kecil menengah yang mereka lirik untuk memajang atau setidaknya mempromosikan janji-janji yang telah mereka lontarkan.
Biasanya, janji yang paling mencolok kepada UMKM ini adalah memberikan mereka bantuan berupa salah satu atau beberapa modal usaha, termasuk tempat usaha.
Belum lagi di era digital ini, beberapa pasangan calon melakukan langkah ekstra dengan menawarkan bantuan modal kepada para anak muda yang ingin menjadi pengusaha IT. Di antaranya menjadi pengembang aplikasi atau game indie.
Saya baru menyadari, apalagi di era modern ini, para calon pejabat berlomba-lomba meraih simpati dengan menggaung-gaungkan kecanggihan lewat kampanye mereka.
Sejujurnya, ada dari para caleg yang pernah mempromosikan bitcoin, big data, AI, metaverse, atau istilah teknologi lainnya. Beberapa ada yang mengagung-agungkan media yang mereka punya.
Sebagai pegiat IT, saya sendiri merasa lucu dengan sasaran politik itu.
Pastinya mereka sendiri tidak memahami apa makna dan tujuan dari seluruh istilah IT yang bagi mereka canggih. Mereka hanya ingin unjuk gigi seakan mereka menguasai bidang IT lewat istilah-istilah itu.
Saya hanya tertawa miris, mengingat produk IT dasar seperti website pemerintah yang sudah-sudah saja, kebanyakan sudah tidak dapat diakses lagi. Atau website yang masih online, kebanyakan rawan jadi korban kejahatan siber.
Jika kita ingin berpikir sederhana, dengan website saja sebenarnya sudah cukup menunjukkan kualitas pemahaman teknologi mereka. Apakah navigasi websitenya mudah, aksesibilitasnya mereka perhatikan, dan lain sebagainya.
Website itu sendiri bisa menjadi sarana transparansi dan alat memerangi korupsi dengan menampilkan seluruh laporan kegiatan dan keuangan para pemegang kuasa. Hanya pertanyaannya, apakah para petinggi politik itu sanggup?
Banyak tim sukses yang melakukan pendekatan lewat psikologi.
Misalnya, karena bagi mereka, orang Indonesia itu memiliki jiwa sosial yang tinggi, pada akhirnya banyak tim sukses yang ikut berbaur dengan para warga.
Bahkan dari mereka ada yang secara terang-terangan ikut nongkrong di warung kopi favorit.
Atau ada yang menyasar kepada ranah muda seperti berkampanye dengan menggunakan fitur filter dan story di media sosial. Beberapanya hingga menggunakan AI untuk mengubah wajah mereka menjadi seperti kartun.
Para caleg dengan tim suksesnya benar-benar memahami ungkapan “tak kenal maka tak sayang” dan mengamalkannya semaksimal mungkin.
Apakah pendekatan psikologi itu berhasil? Pastinya. Apalagi mereka sudah tahu bahwa kebanyakan masyarakat kita lebih mengutamakan orang dekat terlebih dahulu.
Pendekatan agama ini benar-benar yang paling umum dan paling sering kita jumpai.
Tiba-tiba di tahun politik, para calon penguasa berlomba-lomba memasang atribut agama. Minimal, mereka menyasar kendaraan umum dan memasang stiker doa naik kendaraan dengan wajah mereka di sampingnya.
Saya sendiri mendengar secara langsung saat tim sukses ada yang menyuguhkan laporan tentang keberadaan ulama dan/atau habib ini dan itu. Bahkan ada yang menyarankan hingga bertandang ke tanah suci.
Para ulama dan petinggi agama tiba-tiba kebanjiran tamu, mengantri ingin mendapatkan sungkem dan doa.
Ulama, yang merupakan cendekiawan agama, mereka turunkan derajatnya hanya menjadi alat politik tanpa ada satu pun ilmu berfaidah para ulama tersebut mereka petik.
Padahal ulama mengandung kata ilmu yang mana dalam bahasa Inggris disebut dengan “Scholar”. Pada ulama pastinya tidak sebentar dan mungkin hingga mengorbankan malam-malam mereka tidak tidur demi menuntut ilmu agama.
Apakah mereka hanya berakhir menjadi sasaran politik semata?
Yang menjadi fokus persaingan di sini bukan hanya persaingan politik, melainkan persaingan ketenaran.
Beberapa selebriti terkadang mempertahankan pamor dengan susah payah, sampai sebagian dari mereka akhirnya terpaksa terpental dari kejamnya dunia persaingan dan vakum dari dunia hiburan.
Lagi, tim sukses sepertinya cukup pintar membaca hal ini jadi mereka mencari para selebriti yang ingin kegiatan sampingan yang tidak cuma-cuma untuk mereka jadikan sasaran politik.
“Gue pilih caleg/partai A!” Begitulah tulisan spanduk yang berhasil terpajang dengan wajah selebriti yang menjadi sorotan utama, menghiasi jalanan padat kendaraan.
Tidak ada selebriti yang tidak memiliki penggemar. Dan penggemarnya inilah yang menjadi sasaran pengumpulan suara.
Para caleg sebenarnya memiliki area atau jangkauan prioritas untuk mereka sebar kampanye. Mirip seperti kucing yang memiliki daerah kekuasaan masing-masing.
Misalnya, caleg A memiliki daerah kekuasaan di Jagakarsa, Jakarta Selatan karena memang di sanalah mereka bermukim. Jadi para tim sukses wajib memfokuskan kampanye di area Jagakarsa itu terlebih dahulu.
Bagi para caleg, sungguh memalukan apabila mereka kalah di kandang sendiri.
Sebenarnya saya tidak peduli dengan seluruh teknik kampanye apa pun yang menjadi pilihan para calon pejabat, selama mereka tidak mengganggu kepentingan publik.
Tetapi saya sendiri lebih tertarik dengan apa saja yang telah mereka lakukan, atau manfaat yang mereka tebar kepada sekitar sebelum mereka melakukan kampanye.
Jika mereka tidak memiliki prestasi sosial yang mereka dapat banggakan, bagaimana nanti mereka bisa memahami kebutuhan rakyat mereka kelak?