Orang Tionghoa

Orang Tionghoa, yang biasa kita sebut sebagai orang Cina atau Cindo (orang Cina di Indonesia), seakan sudah menjadi cap tersendiri di masyarakat Indonesia ini sebagai golongan orang-orang yang memiliki bisnis dan maju.

Sebetulnya artikel ini bisa mencakup juga orang-orang di Asia Timur secara keseluruhan, jadi bukan hanya sekadar orang Tionghoa.

Pembahasannya saya persempit menjadi orang Tionghoa karena masyarakat kita sering bertanya-tanya mengapa ras tersebut memiliki usaha yang kebanyakannya sukses.

Kita bisa saja menjawab bahwa kedisiplinan dan kerja keras menjadi faktor utama alasan suksesnya bisnis orang-orang Tionghoa. Itu benar sekali, hanya saja kedua faktor tersebut bukan lagi menjadi rahasia karena banyak dari kita yang sudah tahu.

Sesuai judul artikel, saya ingin mencoba merangkum faktor-faktor lain yang turut menyumbang kesuksesan bisnis orang-orang Tionghoa yang mungkin tidak banyak orang tahu.


1. Memantapkan tujuan

Lebih dari sedekade lalu, semasa saya belum menjadi seorang CTO atau masih menjadi karyawan biasa, saya pernah “curi dengar” pembicaraan rekan kerja saya yang kebetulan orang Tionghoa.

Dia mengeluarkan pertanyaan menarik yang berhasil membuat saya menghentikan apa pun kegiatan saya pada saat itu.

“Kenapa orang Cina bisnisnya banyak yang sukses?”

Rekan-rekan kerja di sekitarnya pun bersemangat menginginkan rekan kerja saya itu membuka rahasianya dengan menjawab sendiri pertanyaannya.

Dia menjawab,

Bedanya orang Indonesia sama orang Cina kalau cari modal buat bisnis:

Orang Indonesia bilang, “Punya modal segini enaknya buka bisnis apa ya?”

Sedangkan orang Cina bilang, “Ini bisnis jaminan makmurnya bakal bagus, tapi modal nggak cukup. Cari pinjaman!”

Memantapkan sebuah tujuan menjadi tahap paling dasar dalam membangun usaha orang-orang Tionghoa. Mereka pun memiliki berbagai pertimbangan dan tidak gegabah dalam menetapkan sebuah tujuan.

Membuka bisnis bukan melihat dari banyaknya modal atau sekadar mengikuti tren saja. Manfaat yang akan dikeluarkan bisnis tersebut harus bisa menarik perhatian pasar.

Pun kita sama, saat kita memiliki uang tambahan, seperti mendapatkan THR atau bonus akhir tahun misalnya, mungkin banyak dari kita yang akan menghabiskannya untuk kebutuhan pribadi semata, termasuk untuk kegiatan tersier seperti ajang pamer.

Tetapi apakah kita pernah terpikirkan mengalokasikan kelebihan uang kita untuk membuat kita lebih sejahtera?

Misalnya, kita melihat banyak perusahaan yang rela menggaji besar sebuah keahlian, kemudian dari sana kita mengalokasikan dana kita untuk mendalami keahlian tersebut. Seperti membeli video kursus, membayar kelas, dan lain sebagainya.


2. Komitmen ekstra

Saya pernah mendapatkan cerita dari seseorang bahwa ia kenal seorang Tionghoa dahulu hanya merogoh kocek Rp5000 dalam sehari. Waktu itu tahun 2013.

Dia kerap berjalan kaki dari Terminal Blok M ke kantornya yang berada di Bangka. Padahal tersedia bus sedang Metr*mini yang pada saat itu tarifnya hanya Rp2000.

Saya heran mengapa orang Tionghoa tersebut begitu kikir mengeluarkan Rp4000 untuk membayar ongkos pulang pergi daripada jauh-jauh berjalan kaki setiap hari dari terminal bus ke kantornya.

Anggap saja total jarak dari terminal ke kantornya sekitar 3km, berarti setiap hari ia menempuh 6km.

Ternyata alasan di baliknya adalah, untuk menguji komitmennya. Ia menantang dirinya untuk berhemat secara ekstra sebagai latihan kesabaran menjalani hidup.

Berjalan kaki selain dapat menghemat finansial, juga dapat menyehatkan jasmani yang bisa memperpanjang usia. Kesabarannya dalam bertarung pada saat itu dengan ‘ganas’nya jalanan ibukota dan kurangnya fasilitas pejalan kaki telah membentuk ketahanan fisik serta mentalnya.

Hasilnya, dia begitu berani dalam menghadapi risiko yang telah ia perhitungkan tanpa perlu ada tambahan drama. Buah kegigihannya telah menjadikannya menjadi sulit dikalahkan.


3. Dengar dan laksanakan

Saya terkadang merasa lucu sendiri dengan beberapa perilaku orang-orang di media sosial yang memosting kata-kata mutiara bukan untuk renungan bagi dirinya sendiri, namun justru untuk menyindir orang lain.

Waktu saya bangun usaha dengan tim, sempat ada rasa takut saya jika upaya siang malam kami dalam membangun perusahaan akan berakhir sia-sia. Apalagi kami memiliki banyak saingan dan kerap mendapatkan bayang-bayang tumbang.

Rekan saya yang merupakan orang Tionghoa tersebut dengan tenang bilang, “Tiada hasil yang mengkhianati usaha.”

Ternyata dia benar-benar “mengamalkan” sebuah kata mutiara yang sudah berulang kali masuk ke dalam telinga saya.

Jika ada petuah dari orang yang terbukti hebat, orang-orang Tionghoa sebisa mungkin menyerap maksudnya dan berusaha menerapkan dalam kehidupan mereka.

Saya yang seorang muslim pun telah familiar dengan istilah “sami’na wa atha’na” yang artinya “kami dengar dan kami taat”. Tetapi saya malu jika ternyata pengamalan saya tidak lebih baik dari orang yang tidak pernah mendengar istilah itu.

Suatu ketika, di beranda Facebook saya lewat foto-foto cantik dari orang Singapura bermarga Tionghoa, kemudian iseng saya klik profilnya untuk melihat foto-foto lain hasil karyanya.

Yang saya temukan justru banyaknya postingan untaian kata mutiara seperti “Jangan ajari anakmu kaya dari harta, tapi ajarilah anakmu kaya dari nilai.” dan masih banyak lagi.

Ibarat seorang tentara dalam mengarungi huru-hara kehidupan termasuk dalam membangun bisnis, orang-orang Tionghoa memiliki segudang amunisi kata-kata mutiara siap pakai.


4. Solidaritas beda kelas

Para pengusaha, tak terkecuali pebisnis Tionghoa itu memiliki komunitas atau perkumpulan. Lalu apa bedanya dengan perkumpulan dari masyarakat biasa?

Maksudnya, para pengusaha Tionghoa pun punya waktu untuk nongkrong dan bercengkrama dengan solidaritas mereka, sama seperti solidaritas kita.

Bedanya, sebagian besar pembahasan mereka sarat daging dan minim membicarakan hal yang tidak bermanfaat seperti menggunjing dan bergosip.

Para pengusaha itu pun juga bergosip, tetapi ya porsinya sedikit sekali. Mereka lebih fokus untuk bertukar informasi, mencari tips-tips tambahan agar kehidupan mereka lebih stabil lagi.

Mudahnya, masing-masing saling menasihati dan saling memotivasi. Masing-masing pun menerima manfaat dari para anggota komunitasnya.

Tidak seperti kebanyakan solidaritas masyarakat biasa yang justru hanya menang kuantitas atau jumlah anggota. Sudah banyak orang-orang yang saya dengar, saat mereka sedang dilanda kesulitan, justru hampir tidak ada anggotanya yang peduli.

Para anggota solidaritas masyarakat biasa hanya menggunakan perkumpulan mereka sekadar untuk membahas hal-hal yang tidak penting, bahkan tidak sedikit yang menguras keuangan mereka demi bisa mentraktir sesama.

Saya pernah berbincang dengan seorang pengusaha tekstil di stasiun Jakarta Kota sewaktu menunggu kereta. Beliau memiliki teman sebagai supir angkot.

Beliau bilang begini kepada supir angkot tersebut, “Kamu kalau sudah selesai narik, langsung pulang jangan nongkrong. Daripada duit habis buat traktir tongkrongan, mending kamu belikan satu dus mie untuk anak dan istrimu supaya mood kamu pas narik besoknya karena terhindar dari omelan istri dan keluhan anak.”

Betul bahwa tidak semua tongkrongan seperti itu, tetapi pernahkah kita peduli dengan solidaritas yang seperti itunya yang jumlahnya sudah sangat banyak? Jika solidaritas kita tidak seperti itu bukan berarti kita menganggap solidaritas semuanya baik-baik saja.

Justru inilah yang menjadi pembahasan di komunitas orang Tionghoa tersebut. Mereka pandai mengutarakan masalah, dan mencegahnya. Masalah tidak mereka generalisasi, tidak pula mereka toleransi seolah itu normal. Maka dari itu bisnis mereka lebih siap menghadapi segala halang rintangnya.

Bahkan banyak dari solidaritas masyakarat yang pada akhirnya menyarankan bekerja di usaha orang Tionghoa. Kurang lebih, “Kerja sama orang Cina aja…”


5. Amfibi

Rahasia yang terakhir ini cukup ekstrem dan saya sangat tidak menyarankan untuk kita tiru karena sebagiannya memang bukan hal yang baik.

Betul bahwa ada beberapa orang Tionghoa yang memakai cara kotor dalam membangun dan mempertahankan bisnis mereka. Orang non Tionghoa pun sama juga, ‘kan?

Hanya saja, sebagian orang-orang Tionghoa yang memakai cara kotor tersebut, mereka ternyata memiliki alasan sendiri yang cukup kuat.

“Kita tidak bisa bermain putih di dunia yang hitam.”

Saya berikan satu contoh paling parah yang tidak semestinya kita tiru, tetapi saya harap kita memahami inti dari contoh berikut.

Ada pengusaha Tionghoa yang ikut korupsi di lingkungan pejabat-pejabat korup. Alasan pengusaha yang melakukan korupsi ternyata sederhana.

“Jika saya (pengusaha) diam, maka hak saya juga akan ikut dikorupsi oleh mereka (pejabat korup). Masalahnya, para pejabat korup itu melakukan korupsi hanya untuk kepentingan mereka pribadi. Sedangkan saya melakukan korupsi untuk mempertahankan bisnis saya dan mempekerjakan lebih banyak orang.”

Para pengusaha pun tidak sedikit yang terkendala izin saat membangun perusahaan karena birokrasi pemerintah yang menyulitkan. Maka dari itu para taipan atau pengusaha Tionghoa itu mendekati para pejabat korup tersebut agar izin mereka mudah keluar.

Bahkan jika perlu, hukum pun akan mereka beli untuk melindungi mereka karena sistem hukum yang memang sudah rusak dan rawan dipermainkan.

Mereka pandai hidup di dua alam, sebelah surga dan sebelah neraka. Tetapi sebenarnya para pengusaha itu tidak ingin repot-repot masuk ke dalam sisi neraka kalau sistemnya memakai sistem surga.

Niat mereka murni hanya ingin bisnis yang lancar tanpa ada gangguan yang tidak perlu.

Buktinya, ada beberapa pengembang perumahan para taipan yang memiliki izin bermasalah namun kehidupan penghuni di dalam kompleks perumahan itu memiliki jaminan keamanan dan kedamaian. Tidak ada ormas yang meresahkan dan kriminal yang menghantui yang bisa masuk ke dalam komplek.

Tidak heran beberapa masyarakat kita yang mampu dari kalangan atau ras apa pun, lebih memilih tinggal di lingkungan perumahan kluster karena jaminan rasa aman dan nyaman tersebut.

Saya pernah bertamu ke salah satu rumah klien di dalam salah satu kompleks perumahan mewah dan pemeriksaannya memang ketat, tetapi satpamnya cukup ramah dan terlihat sungkan dengan para penghuninya termasuk tamunya.

Para pengusaha tersebut begitu menghargai pelanggan mereka karena mereka meyakini para pelanggan atau pembeli adalah jalur perantara rezeki mereka dari Tuhan.

Apakah kita bisa mengambil yang baik-baik dari mereka dan kita tiru?

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas