Tentang Kesehatan Mental

Semakin hari, masalah kesehatan mental menjadi semakin serius untuk menjadi topik pembicaraan.

Tetapi permasalahannya adalah, mengapa kesehatan mental ini baru hangat akhir-akhir ini?

Semenjak awal pandemi kemarin saya mulai melihat ‘bibit-bibit’ pembahasan mengenai masalah kesehatan mental di media sosial seperti Tumblr, Twitter, hingga sekedar meme-meme yang tersebar di Instagram, saya hanya merasa semakin ke sini intensitas pembahasan mengenai kesehatan mental semakin ekstrem.

Saya hanya berpikir mungkin itu hanya AI (kecerdasan buatan) dari media sosial yang terus-menerus menyajikan topik mengenai kesehatan mental semenjak saya tersuguhi beberapa pilihan topik acak dari meme-meme yang saya konsumsi.

Tetapi sepertinya tidak juga, karena memang saya melihat secara netral, kampanya mengenai kesehatan mental ini semakin banyak.

Tahun 2022 ini, saya mulai mendalami tentang kesehatan mental, meski saya bukan psikolog. Saya rendahkan ego saya, dan saya mencoba untuk mengerti masalah-masalah yang bahkan saya belum pernah alami.

Namun untuk negara berkembang seperti Indonesia ini, kesehatan mental masih seakan mendapatkan lirikan sebelah mata. Kebanyakan masyarakat masih banyak yang tidak terlalu peduli dengan ini.

Bahkan di antaranya, saya terkadang melihat atau mendengar asumsi masyarakat yang bagi saya itu dapat disebut dengan salah kaprah.

Jadi apa salah kaprah kebanyakan orang mengenai kesehatan mental? Saya menemukan lima buah.


Masalah pribadi

Banyak yang mengira bahwa kesehatan mental ini hanya mentok pada urusan pribadi. Misalnya, saat seseorang memiliki masalah kesehatan mental, seperti trauma, fobia, atau sekedar ‘insecure‘, banyak orang yang menganggap bahwa itu masalah dia sendiri.

Jadi alasan inilah yang membuat banyak orang yang tidak tertarik untuk terjun ke dalam lingkup kesehatan mental ini.

Akibatnya, sebagian besar orang tidak ingin peduli masalah kesehatan mental orang lain karena merasa itu bukan bagian dari masalah mereka.

Padahal, topik kesehatan mental adalah masalah sosial. Kesehatan mental adalah masalah yang sebagian besarnya datang dari sosial.

Berbeda dengan masalah pribadi yang mungkin orang lain tidak akan terkena dampaknya, masalah kesehatan mental ini dapat memengaruhi lingkungan sekitarnya. Baik itu pengaruh keluar, maupun ke dalam.

Setiap orang pastinya ingin orang lain mengerti masalah mereka, padahal masalahnya hanya masalah pribadi seperti tunggakan cicilan dan sebagainya.

Apalagi masalah kesehatan mental yang mungkin setiap orang dapat menderita sewaktu-waktu akannya. Dengan adanya pengertian sosial, kasus penderita kesehatan mental akan terminimalisir dengan sendirinya.


Sedikit yang mengalami

Salah kaprah berikutnya adalah, beberapa orang mengira bahwa kasus kesehatan mental sangat sedikit jumlahnya. Oleh karena itu, mereka sangat menggampangkan masalah ini.

Padahal, kasus kesehatan mental sebenarnya sudah sangat banyak jika masyarakat ingin peduli.

Kesehatan mental ini memiliki dua jenis kasus, yakni kasus tersembunyi dan kasus secara nyata terang-terangan.

Kasus tersembunyi adalah mereka yang tidak ingin speak-up, tidak ingin mengutarakan masalahnya, lebih memilih untuk memendamnya dan tersiksa karenanya.

Jumlah kasus tersembunyi ini sebenarnya banyak, kita tidak tahu karena mereka tidak pernah membiarkan publik mengetahuinya.

Sedangkan kasus yang terang-terangan adalah yang sering kita jumpai, namun mungkin kita tidak tersadar bahwa itu adalah kasus kesehatan mental.

Contohnya, yakni ketika kalian menemukan pengemudi atau pengendara yang ugal-ugalan dan gila klakson, seolah jalanan milik keluarganya saja.

Kebanyakan yang saya temui memang pengendara-pengendara seperti itu memiliki masalah kesehatan mental yang serius. Entah para pengendara ugal-ugalan tersebut tidak pernah merasakan diri mereka dihargai oleh masyarakat, atau hanya sudah putus asa dalam mencari gengsi yang tak kunjung tiba.

Atau contoh lain, saat kalian menemukan petugas atau aparat pelayanan publik yang sangar dan galak kepada warga sipil, kemungkinan besar itu adalah kasus kesehatan mental secara terang-terangan lainnya.

Orang-orang seperti itu biasanya memang sudah frustasi sebab tidak ada prestasi atau manfaat yang dapat mereka banggakan kepada sekitarnya, jadi mereka memilih untuk menjadi galak seperti preman pasar untuk meraih ‘simpati’.

Sedangkan kasus-kasus seperti stress tidak selamanya masuk ke dalam masalah kesehatan mental, kecuali jika stressnya sudah mengarah kepada depresi.


Bisa hilang sendiri

Masih banyak yang beranggapan bahwa orang yang menderita mental yang tidak sehat dapat sembuh dengan sendirinya.

Padahal justru bisa kebalikannya. Bukan hanya akan bertambah parah, namun mental yang dibiarkan sakit terus-menerus akan mengakibatkan dampak yang sangat fatal.

Bunuh diri adalah salah satu dari dampak mental yang sudah terlalu sakit. Dampak lainnya adalah hilangnya kepekaan sosial.

Jika kita pernah bertemu atau mendengar seseorang yang berekspresi datar saat mendengar masalah orang lain, bisa jadi itu adalah akibat dari parahnya kesehatan mental yang ia derita.

Biasanya, saat seseorang curhat kepada orang yang kepekaannya sudah sangat layu, ekspresinya akan datar dan ia hanya menyahut ringan seperti, “Ah, biasa aja tuh”, atau, “Gua malah lebih parah…”

Orang yang kesehatan mentalnya sudah sangat rendah, ia bisa sampai ke titik di mana kesadaran hatinya sudah tidak akan bisa lagi ia kontrol. Sebagai gantinya, orang lain yang akan mengambil alih kontrol kesadarannya.

Contoh percakapan orang yang sudah kehilangan kesadaran mental (A), yang kemudian menjadi makanan empuk orang licik (B).

A: “Hidup gua gini-gini aja bro. Bingung mau curhat kemana.”

B: “Ikut gua aja, gabung ke organisasi ini. Kita berantas orang-orang jahat, kita bom. Bisa jadi jihad masuk surga. Daripada hidup gak ada gunanya? Ya kan? Ya kan?”

Mengerikan. Bahkan agama saya saja, Islam, menaruh perhatian khusus kepada masalah kesehatan mental. Saya pernah menulis artikelnya di sini.


Orang lembek dan manja

Saya pernah menemukan orang yang menghakimi bahwa orang yang menderita kesehatan mental adalah orang yang lembek dan manja. Ia bahkan membandingkan dengan nenek moyang dahulu yang berhati baja melawan penjajah.

Saya hanya menggeleng dalam batin, sebab pernyataan tersebut sangat menjebak.

Nenek moyang kita dahulu melawan penjajah karena mereka membela sesuatu. Dari mulai harta, jiwa, bahkan hingga negara mereka. Dalam keadaan seperti itu, mereka bergotong-royong dengan penuh pengertian.

Orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental pun akan melakukan perjuangan yang sama semampu mereka jika kasusnya demikian.

Berbeda dengan hari ini, yang mana penjajah lahir sudah tiada, namun penjajah batin justru di mana-mana.

Kita tahu, bahkan hafal sebagian besar nama-nama pahlawan nasional yang memompa semangat dan motivasi untuk melawan penjajah secara lahir. Namun siapa di sini yang tahu pahlawan-pahlawan yang memompa semangat untuk melawan penjajah batin?

Sedikit sekali.

Kasus yang paling ringan, ada orang-orang yang kesehariannya atau konten media sosialnya hanya berisikan hal-hal mewah yang ia pamerkan. Ini akan membuat mental audiensnya runtuh jika bentengnya tidak kuat.

Mental yang runtuh? Maksudnya?

Benar, orang yang terlalu sering dijejali konten-konten pamer yang tidak berfaidah, mentalnya akan terprogram bahwa hanya dengan barang mewah tersebut ia akan mendapatkan pengakuan di masyarakat.

Akibatnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membeli barang mewah, tidak peduli dengan sistem kredit yang bunganya mencekik dan membuatnya sengsara.

Jika ia tidak pernah berhasil mendapatkan barang mewah untuk ia pamerkan, ia akan mengganggu orang lain dengan mengeluarkan kata-kata sindiran yang tidak pantas di dunia maya.

Mereka menyindir orang-orang kaya, menyindir orang-orang yang kerja di bawah naungan AC, atau menyindir pemilik mobil. Bahkan hingga menyerang dan menuduh dengan fitnah-fitnah keji.


Gen

Terakhir, beberapa orang percaya kesehatan mental ini adalah bawaan dari lahir, atau gen.

Padahal ada studi yang berbicara bahwa faktor terbesar pembentuk watak seseorang adalah lingkungan, bahkan hingga 80% (perlu kutipan).

Perlu kita ketahui, sebagian besar kasus kesehatan mental adalah berasal dari trauma. Yang pastinya trauma ini datang karena suatu sebab, dan sebabnya pasti dari lingkungan.

Saat kita berbicara masalah trauma, sebaiknya agar tidak hanya membayangkan orang yang gemetar jika teringat suatu hal. Benar bahwa itu adalah bagian dari sebuah trauma, namun cakupannya jauh lebih luas dari itu.

Trauma itu dapat menyebabkan fobia, atau yang paling ringan adalah rasa insecure atau ketidaknyamanan.

Misalnya, ada orang yang tidak ingin lewat suatu jalan karena ia lihat orang-orangnya tidak bersahabat. Ia tidak merasa aman lewat jalan itu.

Atau ada orang yang tertahan saat ingin pergi bermain atau nongkrong ke luar karena dulunya setiap ia ingin pergi bermain selalu mendapatkan omelan dari orang tuanya.

Omong-omong, introvert bukanlah masalah kesehatan mental, insecure iya. Introvert dan ekstrovert hanyalah perihal dominasi drive lapisan otak saja, dan masing-masing memiliki fungsinya sendiri.

Masalah kesehatan mental ini unik karena obatnya harus diminum oleh orang lain, bukan si penderita.

Dengan masyarakat yang saling mengerti, sekali lagi, kasus kesehatan mental akan terminimalisir karena setiap raga yang satu dengan raga yang lain adalah satu kesatuan.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    5 Alasan Saya Suka Mendengarkan Musik Game

    Berikutnya
    Kiamat Kecil Teknologi yang Sudah Begitu Mengerikan


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas