Jarang Pamer

Di usia 17 tahun, tepatnya selepas lulus madrasah aliyah, saya mendapatkan tawaran kerja di salah satu perusahaan asing, yang memiliki cabang di Jakarta.

Apalagi saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi divisi yang cukup wah, 3D programming. Di tahun 2011, bagi kebanyakan orang itu adalah salah satu profesi yang menggiurkan.

Dan di tahun itu pula, UMR masih di angka dua juta-an. Sementara, gaji saya pada saat itu sudah mencapai Rp5.000.000,-.

Belum lagi, saya menerima fakta bahwa saya adalah pegawai kantoran yang kerja di dalam sebuah gedung bertingkat, duduk di bawah naungan berAC, naik-turun menggunakan elevator.

Memakai kemeja kerja dengan celana formal, untuk ‘ukuran’ anak yang baru lulus SMA sederajat adalah hal yang membuat saya bersyukur dan berbangga. Apalagi mengingat teman-teman saya yang lain pada saat itu sedang berjuang menghadiri perkuliahan dan membayar biaya per semesternya.

Apa yang saya lakukan pada masa-masa itu? Saya flexing, show off, pamer, apa pun sebutannya. Berselfie ria di belakang gedung dan ruangan kantor.

Belum puas, saya bersilaturahmi ke rumah teman-teman saya untuk mengabarkan keadaan saya dan menunggu decak kagum dari bibir mereka.

Dengan konyolnya, saya mendatangi mereka di akhir pekan dengan baju batik dan celana formal sambil menenteng tas kerja.

Saya berbuat demikian agar mereka lebih percaya lagi, plus mendemokan apa yang saya lakukan lewat laptop saya layaknya seorang salesman.

Hingga akhirnya…

Hari itu tanggal merah, rencana pamer saya masih berlanjut, mengunjungi teman-teman saya yang lain.

Saat saya memakai kemeja formal, saya merasa aneh. Ngapain juga hari libur pakai formal? Noraknya sudah kebangetan. Akhirnya hari itu jadilah saya mengunjungi teman saya dengan baju kasual/santai.

Tidak pernah lagi setelah itu saya pamer dengan pakaian formal.


Sebuah fitur manusia

Saat saya bersama tim membangun perusahaan sendiri, dan saya menjadi CTOnya, sesi pamer yang lain mencuat kembali.

Belum lagi saat saya memiliki karyawan baru, dan saat-saat saya traktir dia. Habis sudah Instagram Story saya babakbelurkan demi kepentingan pamer saya.

Siapa juga yang tidak ingin mendapatkan pujian saat kita memposting hal-hal yang bagi kita itu adalah sebuah gengsi?

Saya mendapatkan banyak penghormatan dan rasa takjub dari pengikut-pengikut media sosial saya. Saya menikmati itu.

Hingga pada suatu hari…

Instagram saya kosong. Tidak ada lagi story, tidak ada lagi selfie. Saya hanya memposting foto atau desain yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pamer. Dapat likenya pun sedikit.

Saat berbuka puasa bersama teman-teman saya, beberapa bertanya kenapa saya tidak pernah aktif lagi memposting di media sosial. Terutama saat saya sedang mentraktir karyawan saya, atau mendapatkan penghargaan khusus, atau kenikmatan lainnya.

Saya menjawab simpel, “Udah bosen.”

Manusia punya rasa bosan. Banyak orang kaya yang hanya posting ‘rasa pamer’ mereka sesekali saja. Mereka tidak pernah posting di belakang mobil mewah mereka kecuali hanya sekali itu saja, selanjutnya tidak pernah lagi.

Ini khusus orang kaya yang kekayaannya berasal dari jerih payah pribadinya, bukan dari warisan atau jackpot dadakan. Orang kaya seperti itu telah mendapatkan intisari dari kekayaannya dan tetap fokus untuk improvisasi/memperbaiki diri.

Secara naluriah, seorang manusia mungkin akan merasa konyol jika memamerkan hal yang sama terus-menerus. Mungkin itu termasuk salah satu masalah kejiwaan.

Berbeda dengan seorang manusia yang berusaha menutupi status sosialnya dan itu tidak akan pernah mendapatkan kecukupan.

Seseorang yang memamerkan barang mewahnya terus-menerus, kebanyakan adalah orang yang menderita. Alasannya karena tidak ada lagi yang dapat ia banggakan selain dari barang mewah tersebut. Tidak punya prestasi, tidak punya manfaat.

Beberapa sisi gelap bahkan terbongkar. Mereka para orang kaya wannabe tersebut tidak paham bagaimana caranya untuk menjadi orang kaya betulan dengan benar. Sehingga, yang mereka lakukan adalah mengorbankan hak hidup mereka demi mendapatkan barang-barang mewah ala orang-orang kaya.

Apalagi faktanya, aktivitas pamer barang mewah biasanya hanya bertahan beberapa hari atau minggu saja. Selebihnya entah pemiliknya kembali menderita dengan tunggakan cicilannya atau bahkan tidak sedikit yang barang mewahnya ia jual kembali.

Hal ini terjadi karena seseorang tidak memiliki manfaat atau kebaikan yang bisa menarik simpati orang lain. Jadi ia meraih gengsi untuk ia pamerkan demi meretas status sosialnya yang mana orang lain tidak begitu peduli dengan itu.


Kesimpulan

Saat ada orang yang dikagumi karena barang mewahnya, kekaguman itu hanya bertahan sebentar sebab orang lain akan merasa risih jika pemilik barang mewah tersebut ternyata mengganggu mereka lewat aktivitas pamernya.

Sedangkan saat ada orang yang dikagumi karena manfaatnya, hingga ia meninggal pun namanya bisa terukir dalam kertas sejarah.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Tips Lebih Bahagia 30: Cahaya Remang

    Berikutnya
    5 Alasan "Rumah Nenek" Begitu Spesial


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas