Amerika Serikat

Dulu sewaktu kecil, saya begitu terikat dengan sebuah negara adidaya yang bernama Amerika Serikat. Bagi saya, Amerika Serikat itu negara maju, keren, superpower, dan beragam pujian serupa.

Apalagi brainwashing lewat film-film box office pada saat itu didominasi oleh perfilman Amerika Serikat yang menjurus ke semua usia. Mulai dari film animasi Disney, film aksi yang menegangkan, film fantasi, hingga film superhero.

Hampir seluruh film tersebut tentu saja membanggakan seluruh aset Amerika Serikat dari mulai sekecil gedung putih, kota New York, hingga seluruh peta Amerika Serikat.

Anak-anak banyak yang kagum dengan para superhero hingga tidak sedikit yang mereka jadikan idola seperti Superman, Batman, dan kita semua tahu sisanya.

Kemudian, restoran dan produk teknologi Amerika Serikat seperti Google, KFC, Microsoft, McDonalds, yang bagi kita itu adalah produk elegan hingga kelas menengah ke atas pada saat itu.

Terakhir, universitas di Amerika Serikat banyak yang top notch atau unggulan. Siapa yang tidak kenal Harvard, misalnya. Sepertinya bahasan pujiannya cukup saya sudahi saja.

Namun, semakin ke sini, saya sudah semakin menyeringai dengan Amerika Serikat. Saya bahkan tidak lagi menganggap Amerika Serikat sebagai negara maju setelah saya banyak membaca dan mengetahui dari apa yang kita sebut sebagai fakta.

Terutama fakta yang berasal dari meme dan situs tanya jawab seperti Quora.

Apa alasan saya kini sudah memandang negara ‘adidaya’ tersebut dengan sebelah mata? Setidaknya saya memegang lima alasannya.


Karya semakin boring

Beberapa kali saya melihat produk Amerika Serikat semakin hari sepertinya lebih menjurus kepada kuantitas, bukan kualitas.

Apalagi produk yang sudah mumpuni sepertinya justru semakin gone downhill atau mengalami degradasi yang cukup parah. Inovasi sepertinya sudah mendekati mentok dan terbatas.

Betul bahwa masih banyak produk yang bertahan bahkan terus menjadi lebih baik. Tetapi kita sekarang lebih fokus kepada produk membosankannya yang memang sudah semakin bertambah banyak.

Saya sendiri menyadari jika Amerika Serikat memiliki sangat minim keberagaman budaya. Selain suku Indian dan Cowboy, apalagi?

Begitu pun dengan kuliner, apa kuliner Amerika Serikat yang menonjol. Jika Jepang memiliki Sushi dan Sashimi, Cina memiliki Fuyunghai, Italia memiliki Pizza, Amerika Serikat memiliki apa?

Yang saya tahu selama ini Amerika Serikat memiliki produk kuliner yang kebanyakan Junk Food. Tidak heran Amerika Serikat memiliki stereotipe sebagai negara dengan orang-orang obesitas bersama makanan cepat sajinya.

Musik tradisional dan rumah adat Amerika Serikat? Saya tidak terpikirkan satu pun. Agak ironi mengingat Amerika Serikat memiliki 50 negara bagian dan jumlah penduduk yang menempati tiga teratas di dunia.

Untuk karya itu sendiri, saya hanya merasa Amerika Serikat sekarang lebih memilih karya yang berupa style over substance. Style over substance dapat secara kasar kita terjemahkan sebagai “pepesan kosong” atau “modal keren doang”.

Apalagi produk musiknya hari ini yang kebanyakan ‘rap’. Serius, kebanyakan saya hanya mendengar suara berisik saja tanpa melodi sama sekali. Atau sekali pun bukan rap, kebanyakan melodinya hanya berputar di situ-situ saja. Ke mana penerus MJ?


Orientasi uang

Saya tidak terkejut jika hari ini para generasi muda Amerika Serikat lebih memilih menjadi konten kreator daripada bekerja secara pasti.

Istilah yang berhubungan dengan uang yang menggoda kebanyakan dari sana seperti side hustle, unicorn, cashgrab, dan lain sebagainya. Padahal semuanya dapat menjurus kepada lingkaran setan yang mengerikan.

Pada akhirnya, beberapa remaja di Amerika Serikat mengakui bahwa menjadi pelayan restoran di McDonalds jauh lebih menguntungkan daripada memburu seluruh ilusi tersebut.

Bahkan para pemburu side hustle (pekerjaan sampingan) mengakui bahwa mereka kelelahan dengan semua itu. Mereka menganggap bekerja 9 jam lebih membahagiakan daripada terus memantau penghasilan pasif yang sangat fluktuatif dan tidak stabil.

Ujung-ujungnya, banyak remaja Amerika Serikat yang terjerat dengan perjudian mata pencaharian. Hukum rimba digital berlaku dengan sangat menyeramkan.

Di sebuah statistik, hanya 3% saja Youtuber yang mendapat penghasilan menggiurkan dari iklan di Youtube. Sisanya yang 97%? Hidup di bawah garis kemiskinan.

Bukankah penghasilan UMR di McDonalds jauh lebih baik daripada bergantung kepada kreasi konten yang melelahkan dan penuh tekanan, serta dibayang-bayangi penghasilan yang sangat tidak pasti?

Memang, 3% Youtuber tersebut berhasil dalam memengaruhi 97% sisanya agar dapat seperti mereka. Namun sayangnya, kebanyakan 97% tersebut hanya melihat hasil akhirnya saja.

Belum lagi hari ini perusahaan animasi sudah seperti kehabisan ide. Mereka hanya recap dan reborn animasi-animasi sebelumnya ke dalam live action. Bahkan pembuatan sekuel pun seperti hanya untuk meraup untung singkat belaka.


Karen!

Awal 2020 kemarin saya berkenalan dengan Karen. Karen sendiri adalah representasi dari wanita di Amerika Serikat yang senang komplain atas sesuatu yang sebenarnya tidak masalah.

Atau Karen juga bisa berarti wanita (yang kebanyakannya berrambut pirang) yang senang membuat masalah dengan pegawai pelayanan, kemudian bernafsu untuk bertemu manajernya.

Saya jujur sangat menikmati meme-meme Karen tersebut di masa-masa pertamanya. Namun saya kembali prihatin dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Fenomena Karen banyak sekali terjadi di Amerika Serikat, sebuah negara yang katanya maju dan memiliki etika yang terdepan.

Padahal, negara maju lainnya seperti Jepang, atau negara-negara Eropa, belum pernah ada kejadian sememalukan tersebut apalagi hingga ada sebutan khususnya.

Belum lagi, ternyata banyak sekali para pekerja kelas kecil di Amerika Serikat yang tidak profesional.

Dengan adanya Karen, para pekerja kecil yang tidak profesional tersebut aman dengan etika kerja buruk mereka. Sebab jika ada yang komplain, mereka tinggal memviralkannya dan menyebut pelanggan yang tidak nyaman tersebut sebagai Karen.

Disaster.


Banyak orang “idiot”

Jika saya melihat konten yang berjudul “idiots”, maka seringkali yang mereka maksud adalah warga Amerika Serikat.

Saya juga pernah memuat postingan serupa, namun judulnya saya ganti sebab ada rekan saya yang kurang sreg dengan judulnya.

Penduduk Amerika Serikat sudah terkenal dengan buruknya pengetahuan geografi mereka. Merekalah yang membuat kita menciptakan istilah “Balinesia” karena mereka tidak tahu jika Bali adalah bagian dari Indonesia.

Hingga kepada kebodohan hakiki, di mana ada turis Amerika Serikat yang mengamuk di Jepang hanya karena semua papan petunjuknya berbahasa Jepang.

Ada yang berasumsi bahwa penduduk Amerika Serikat terlalu mendapatkan stempel bahwa negaranya adalah adidaya hingga mereka terlalu nyaman dan menjadi angkuh.

Mirip seperti bangsa kita yang terlalu disusupi dengan fakta bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah hingga banyak dari kita yang terlena dengan itu. Padahal yang mengelola SDA banyak yang bukan berasal dari negara kita, setidaknya hingga kepada tenaga ahlinya.

Beberapa warga sana justru menjadikan Bill Gates dan Mark Zuckerberg sebagai panutan. Maksudnya, bukan cara menjadi milyardernya yang mereka jadikan panutan, melainkan drop-outnya.

Banyak yang menganggap tanpa menuntut ilmu tinggi pun mereka dapat menjadi milyarder. Pada akhirnya, mereka justru tidak pernah belajar sama sekali.

Dan jangan lupa, banyak warga negara adidaya tersebut yang senang mengganggu orang, memviralkan sesuatu yang tidak berguna, dan melakukan banyak hal yang tidak bermanfaat.


Samaran negara berkembang

Jika bukan karena Silicon Valley dan New York, mungkin Amerika Serikat akan kehilangan statusnya sebagai negara maju.

Bagaimana tidak? Kemiskinan di mana-mana, kejahatan yang tinggi sebab pistol terjual dengan bebas, tatakota yang sangat tidak efisien, transportasi publik yang tidak begitu dapat diandalkan, generasi muda banyak yang tidak memiliki tujuan, tidak adanya subsidi kesehatan, hingga ketidakstabilan politik.

Jika kita bandingkan dengan negara maju lainnya seperti Jepang, Singapura, dan negara-negara Eropa, Amerika Serikat menjadi tidak memiliki tempat untuk bersaing sebab sudah sangat jauh tertinggal.

Bahkan Cina yang memiliki stigma buruk, ternyata banyak inovasi dan perkembangan teknologinya yang sudah jauh melangkahi negara besar adidaya tersebut.

Hanya karena sudah nyaman berada di posisi atas, seseorang dapat menjadi lupa untuk mempertahankannya.

Embel-embel negara maju kini telah menjadi utopia bagi Amerika Serikat. Negara yang dulunya menjadi pionir dalam kemajuan, sekarang telah menjadi tua dan hampir terkubur di belakang.

Di situs web semisal Quora itu sendiri, warga Amerika Serikat sering menjadi bulan-bulanan warga negara lainnya. Bahkan warga Jepang yang terkagum-kagum dengan budaya Amerika Serikat sana, perlahan-lahan sudah mulai terbuka dan dapat melihat ‘perilaku asli’ kebanyakan warga negara tersebut.

Sekarang kembali kepada Indonesia, negara tercinta kita. Bagaimana kita dapat belajar dari hal ini?

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Style Over Substance, Biang Kerok Ketidakstabilan Konten Jaman Now

    Berikutnya
    Berbuat Baik Kepada Teknologi dengan 5 Hal


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas