Di saat saya sedang menyelami Wikipedia, tepatnya di tema video game jadul seperti Super Mario Bros. dkk, entah kenapa saya tiba di artikel yang mengungkap ‘sisi gelap’ industri video game.
Sebenarnya, sisi gelap industri video game (yang nantinya saya akan generalisasikan ke ranah konten kreator juga) telah ada dari semenjak tahun 1982.
Tahun 1982 dianggap sebagai resesi atau keruntuhan industri video game, yang disebabkan oleh beberapa game Atari yang berkualitas sangat buruk.
Untunglah Nintendo kemudian lahir pada tahun 1985 dan perlahan-lahan membangkitkan lagi kepercayaan masyarakat akan kualitas video game yang akan dikonsumsi oleh para pengguna.
Mengapa resesi atau kemunduran total industri game digital ini terjadi? Saya menemukan sebuah istilah yang menjadi ‘biang kerok’ penyebab resesi terjadi, dan masih sangat relevan hingga hari ini.
“Asset Flipping” dan “Shovelware”, begitu istilahnya.
Memangnya apa itu Asset Flipping dan Shovelware dan separah apa memang dampak yang akan memengaruhi industri konten kreator?
Pengertian mudahnya, asset flipping itu adalah saat seseorang menggunakan aset orang lain dari internet, kemudian diubah sedikit dan diklaim menjadi miliknya. Lalu ia jual kembali aset tersebut dengan harga yang sangat murah dan kualitas yang rendah. Produk murahan yang ia jual tersebut dinamakan shovelware.
Shovel dalam bahasa Inggris berarti sekop, yang artinya seseorang mencampur adukkan template orang lain seperti sekop yang digunakan untuk menimbun berbagai material.
Misalnya, seorang desainer menggunakan aset yang ia dapat dari pasar desain, mungkin seperti Envato Market atau hanya dari Freepik atau Unsplash, lalu ia hanya ubah sedikit tonal atau gaya desainnya, ia unggah kembali di internet hanya untuk mendapatkan gengsi dan popularitas.
Bahkan bukan hanya diunggah, melainkan ia jual karya shovelwarenya tersebut ke pasar desain juga hanya demi meraup keuntungan dan (katanya) penghasilan pasif.
Fenomena inilah yang membuat saya ‘mundur’ dari dunia desain.
Shovelware dapat menggerus kepercayaan publik mengenai kemurnian sebuah profesi, menyebabkan polusi profesi.
Untuk polusi profesi itu sendiri saya telah bahas terpisah di artikel yang belum lama saya tulis ini.
Salah satu negara yang sering menghasilkan produkΒ shovelware adalah Amerika Serikat.
Sebuah kutipan dari Wikipedia mengenai shovelware dalam produk video game, “Shovelware yang telah dihapus dari Steam berjumlah 173 buah dalam sebuah inspeksi pada tahun 2017.”
Bahkan yang saya baca dari beberapa artikel online, para pengembang yang merilis video game shovelware tersebut intinya karena dua hal.
Satu, karena para developer memiliki jeratan ekonomi yang membuatnya harus memiliki penghasilan pasif.
Selanjutnya, karena para developer hanya berlandaskan nafsu ingin mengeruk keuntungan secara membabi buta tanpa memikirkan dampak yang akan datang.
Di samping kedua sebab utama tersebut, ada pula beberapa yang membuat shovelware sebab ingin menjatuhkan citra seseorang atau sebuah perusahaan. Namun yang ini jumlahnya sangat, sangat sedikit dan sangat dapat dicegah.
Shovelware ini termasuk bisnis yang cukup menjanjikan sebab seseorang dapat membuat produk “sehari jadi” hanya dengan mengombinasikan aset orang lain tanpa adanya usaha dan kreativitas dari si pengembang kecuali sangat sedikit.
Pegiat shovelware melakukan asset flipping sebanyak-banyaknya sebab tujuan mereka adalah kuantitas (volume), bukan kualitas.
Bahkan orang yang bukan ahlinya di bidang tersebut, dapat dengan mudah melakukan shovelware dan ‘meracuni’ profesi terkait di mata masyarakat.
Akibatnya, banyak pengguna mengeluhkan jika mereka menggunakan karya yang begitu sama dengan yang lainnya, hanya menemukan perubahan sedikit saja.
Beberapa catridge atau produk video game bahkan dikembalikan sebab sangat tidak memenuhi harapan masyarakat. Mereka berkomentar bahwa desain grafik dan levelnya begitu membosankan tanpa adanya usaha dan kreativitas lebih dari si pengembang.
Shovelware itu sendiri bisa dalam bentuk yang lain, selain dari desain dan programming.
Misalnya, seseorang ingin sekali mendapatkan penghasilan via blogging. Namun alih-alih ia mengasah kemampuan menulisnya dengan memulai dari yang paling dasar, ia justru mencari artikel yang sudah jadi untuk disalin dan ditempel ke dalam blognya demi dapat dipasang iklan.
Saya sendiri seringkali merasa frustasi saat saya mencari sebuah artikel keilmuan atau keagamaan di Google, namun artikel yang saya dapat begitu sama antara satu dengan yang lainnya.
Yang menyedihkan, tidak jarang saya baru mendapatkan artikel yang benar-benar ditulis sepenuh hati di halaman-halaman Google berikutnya, terkubur oleh situs-situs blog yang isinya hanya plagiat satu dengan lainnya.
Ternyata para blogger yang hanya menyalin tersebut ternyata menerapkan kiat-kiat SEO yang mereka dapatkan dari internet juga. Sebab dengan SEO tersebut, Google memprioritaskannya di halaman pertama daripada blog yang berisikan artikel orisinal.
Akibatnya, bukan hanya kreator konten yang bersungguh-sungguh yang menjadi tidak mudah dikenali, penghasilan iklan mereka pun menjadi anjlok disebabkan tingginya permintaan penayangan iklan di blog-blog ‘shovelware’ tersebut.
Apakah Asset Flipping itu harus dibasmi? Sebenarnya tidak. Sebab asset flipping itu sendiri bukanlah hal yang ilegal.
Menggunakan aset orang lain entah dengan mengunduh gratis atau membelinya dari marketplace, bukanlah hal yang dilarang atau bahkan dianjurkan.
Namun yang menjadi permasalahan di sini ialah saat kreator tidak menuang usaha dan kreativitasnya ke produknya tersebut.
Produk yang tidak berkualitas itu tidak masalah jika terjadi sesekali, dengan catatan masyarakat dapat mengetahui setidaknya ada usaha dan kreativitas murni dari si konten kreator.
Jika masyarakat sudah tidak lagi percaya dengan sebuah konten secara umum, bukan hanya penghasilan yang akan mengalami penurunan sebagai konsekuensinya, melainkan juga citra konten tersebut yang akan diremehkan.
Misalnya, karena banyak fotografer yang hanya meniru settingan dari fotografer ahli, lalu menerapkan efek foto yang hampir persis dengan hasil-hasil foto profesional, tidak heran banyak saya jumpai masyarakat yang mengomentari profesi fotografer dengan ‘cuma tinggal klik doang’.
Apakah profesi kalian akan memiliki peluang atau bahkan sudah terdampak dari shovelware?