Saya kerapkali menemukan orang-orang yang berbahasa dengan tata bahasa (grammar) yang begitu berantakan, dan mereka begitu percaya diri.
Beberapa berdalih jika bahasa itu yang terpenting adalah saling memahami satu sama lain. Karena alasan itulah, banyak sekali yang menganggap bahwa mempelajari struktur bahasa tidaklah perlu.
Terlalu sering saya melihat orang-orang luar, contohnya Amerika Serikat, yang tidak dapat membedakan your dengan you’re. Atau tidak dapat membedakan were, we’re, dengan wear. Tidak jarang pula mereka yang sering tertukar pemakaian here, hear, hare, hingga hair.
Ada beberapa ‘polisi’ grammar di media sosial yang mereka sebut dengan Grammar Nazi. Para ‘polisi’ grammar tersebut ‘bertugas’ membenarkan pemilihan kata yang kacau di jagat maya.
Para Grammar Nazi dapat kita temukan dengan mudah di bagian komentar Youtube.
Sejujurnya pandangan saya terhadap para Grammar Nazi tersebut cukup campur aduk. Di satu sisi, saya memang mendukung tindakannya untuk membenarkan tata bahasa para warga dunia maya.
Tetapi di sisi lain, banyak sekali para Grammar Nazi yang lumayan menyebalkan (annoying). Banyak dari mereka yang terlalu fokus membenarkan tata bahasa dari sebuah tulisan yang sangat baik, seakan-akan mereka terlewat intisari tulisan tersebut dan tidak menghargai jerih payah dan waktu sang penulis.
Karena bisa jadi, seorang penulis yang salah struktur bahasa memang murni tidak tahu atau bahkan hanya salah ketik.
Tetapi sejujurnya, saya masih cukup heran dengan peristiwa masyarakat luar, terutama warga Amerika Serikat, yang katanya adalah salah satu negara adidaya, masih banyak yang tidak tahu grammar dasar yang seharusnya mereka sudah dapatkan pelajaran tentangnya sewaktu masih sekolah.
Sebuah ijazah dari seorang penyanyi lokal pernah tersebar dan nilainya mengagumkan.
Nilai ujian Nasionalnya seperti bahasa Inggris, IPA, dan matematika mendapatkan nilai yang sempurna atau nyaris sempurna, yakni 98 dan 100.
Kecuali Bahasa Indonesia, yang hanya ia dapatkan 80.
Saya masih ingat betul di sekolah, banyak anak-anak pintar atau setidaknya termasuk kategori cerdas, yang ternyata begitu lemah di pelajaran bahasa Indonesianya.
Salah satunya, ada yang nilai kimianya 90, namun nilai bahasa Indonesianya hanya 50.
Ujung-ujungnya, banyak dari kita beralasan bahwa tidak mengapa kita tidak menguasai bahasa kita sendiri, karena yang terpenting dari sebuah bahasa adalah saling memahami.
Saya tidak tahu harus bagaimana menanggapi pernyataan seperti itu, karena saya akui saya pun memang bukan ahli bahasa juga.
Tetapi saya sendiri berusaha untuk memperbaiki kualitas bahasa saya, terutama bahasa Indonesia. Sebab bagi saya, bahasa itu bukan sekadar saling mengerti, melainkan sebuah aset yang harus saya lestarikan.
Sampai akhirnya pada suatu ketika, saat saya membaca sebuah pertanyaan di Quora, mata saya tiba-tiba terbuka agak lebar.
Seorang penjawab dari Jepang, mereka begitu menghargai bahasa mereka. Bahkan mereka dapat membedakan karakter “口” dan “ロ”.
Bagi saya, kedua karakter tersebut hampir tidak terlihat perbedaannya. Kecuali yang satu lebih tinggi dan satunya lagi lebih pendek.
Orang-orang Jepang hampir seluruhnya dapat dengan mudah membedakan kedua karakter tersebut. Bahkan data berbicara bahwa hampir 100% orang Jepang dapat membaca dan menulis.
Tingkat literasi yang sangat luar biasa itu berlaku untuk seluruh orang Jepang dari ujung timur hingga ujung barat. Minimal, setiap orang dewasa di Jepang telah menghafal setidaknya seribu karakter Kanji.
Kepedulian orang-orang Jepang dengan bahasa mereka sendiri secara tidak langsung terimplementasikan di berbagai aspek kehidupan mereka.
Tidak heran orang-orang Jepang begitu peduli dengan detail yang membuat produk mereka mendunia karena simpel dan mudahnya. Tetapi meskipun simpel, mereka tetap memberikan curahan komplektivitas yang tidak main-main kepada produk mereka.
Itu semua terjadi karena mereka peduli dengan detail, yang bermula dari aset bangsa mereka sendiri terlebih dahulu.
Kepedulian warga negara terhadap aset negara mereka bisa menjadi refleksi bagi karakteristik suatu negara.
Bahasa merupakan salah satu aset negara. Saya katakan aset, karena bisa jadi keunikan suatu bahasa tidak dimiliki oleh negara lain. Dan itu harus dilestarikan.
Masyarakat yang menyepelekan bahasa mereka sendiri, biasanya akan menjadi masyarakat yang sering menggampangkan kebutuhan orang banyak.
Nyatanya memang kalau kita lihat, banyak sekali negara-negara maju yang masyarakatnya begitu ketat dengan penggunaan bahasa mereka.
Tetapi bukan berarti mereka tidak menggunakan bahasa gaul atau slang, melainkan mereka juga paham kaidah tata bahasa mereka sendiri, atau setidaknya berusaha untuk paham.
Bahasa Indonesia ini sudah menjadi salah satu bahasa yang paling mudah di dunia. Tidak memiliki bentuk waktu (tenses), tidak memiliki perubahan bunyi (nahwu), memiliki aksara latin yang tidak memiliki diakritik sama sekali, dan memiliki penulisan yang sama dengan apa yang terdengar.
Bahkan yang tersulit dari bahasa Indonesia, yakni imbuhan-imbuhan, itu dapat dengan mudahnya terselesaikan hanya dengan membuka kamus.
Beberapa dari kita terkadang menertawai bahasa negara lain karena terdengar lucu, namun apakah kita sendiri menghargai bahasa kita sendiri?
Peraturan bahasa Indonesia ini sebenarnya sangat simpel. Kita menulis awalan di- dan ke- secara terpisah jika bukan kata kerja, dan menyambungnya jika kata kerja.
Tetapi jangankan itu, masih sangat banyak saya lihat orang-orang yang menggunakan tanda baca seperti koma, tanda tanya, serta tanda seru semau mereka.
Terkadang beberapa surat-surat resmi di kantor saya, terutama yang berhubungan dengan bagian atau divisi saya, juga saya sunting kembali struktur bahasanya.
Seperti, kata “merubah” saya ganti dengan “mengubah”, “resiko” saya ganti “risiko”, dan lain sebagainya.
Bisa jadi itu terlihat sepele, tetapi bagi saya itu adalah bagian dari ujian kepedulian, terutama untuk yang mengaku cinta bangsa dan negara.
Di situs web Anandastoon ini, khusus kategori Opini dan Akidah, saya benar-benar memperhatikan kaidah bahasa Indonesia dalam menulis artikel-artikel di kategori tersebut.
Mungkin tata bahasa saya juga masih sangat tidak sempurna dan begitu banyak kekurangan, tetapi saya selalu berusaha untuk memperbaiki atau berimprovisasi.
Meski demikian, saya tidak pernah mengkritik penggunaan bahasa secara langsung. Apalagi kepada orang-orang yang menulis sesuatu untuk berbagi ilmu yang mana kesalahan penulisan masih sangat dapat saya berikan toleransi.
Saya bahkan membuat permainan tentang kaidah bahasa Indonesia yang dapat kalian mainkan di sini. 😄