Tidak Ada Orang Pintar yang Jahat

Kita seringkali lihat, di televisi, di video game, di media-media fiktif yang menceritakan tokoh antagonis berupa seorang jenius yang ingin menguasai atau menghancurkan dunia. Beberapa film bahkan membuat sebagian kita berpikir bahwa laboratorium adalah tempat yang difungsikan sebagai realisasi dari rencana kejahatan si jenius.

Namun kita diberi anugrah akal di mana kita dapat menilai bahwa semua itu hanyalah fiktif.

Pertanyaannya, adakah orang pintar yang jahat di dunia ini? Saya tidak bisa pastikan. Saya ingin pertanyaannya diubah menjadi, mungkinkah orang pintar berbuat jahat atau menjadi pimpinan kejahatan seperti yang di film-film atau video game?


Siapa orang pintar yang dimaksud?

Definisi orang pintar begitu bermacam-macam. Dari mereka yang mudah menghafal, dari mereka yang selalu mendapatkan juara kelas, dari mereka yang pandai dalam suatu bidang tertentu, hingga mereka yang berprofesi sebagai para normal. Semuanya disebut dengan “Orang Pintar”.

Namun yang mana orang pintar yang dimaksud dalam artikel ini?

Saya bukanlah tipe orang yang senang membahas sebuah istilah. Saya pernah memberitahu karyawan saya bahwa sebenarnya tidak ada orang pintar yang jahat kecuali hanya di film-film. Orang pintar di sini adalah orang yang memiliki banyak ilmu dan mereka memahami juga kaidah-kaidahnya.

Orang-orang yang seperti itu insyaAllah tidak akan menjadi orang jahat.

Sejahat-jahatnya orang berilmu, paling mentok di lingkup angkuh, penjilat, dan pelit ilmu. Saya tidak terpikir yang lainnya.


Keyakinan orang pintar

Bahkan jika seseorang benar-benar sudah pintar, hampir-hampir tidak lagi ia menjadi seorang yang kikir ilmu atau menjadi seorang penjilat. Mengapa?

Seiring bertambahnya ilmu dalam pemikirannya, dan seiring dia pahami pula esensi dari ilmu yang ia dalami tersebut, maka seharusnya sudah bertambah pula kebijaksanaannya, menyadari bahwa selama ini apa yang ia banggakan dalam hidupnya bukanlah apa-apa.

Ketika orang yang benar-benar pintar ingin berbuat kejahatan, misalnya, saat ia menjadi pejabat terbesit pikirannya untuk melakukan korupsi, maka lubuk hatinya pasti ada sedikit memunculkan peringatan mengenai perjuangan murninya yang selama ini ia peroleh. Untuk apa orang berusaha menuntut ilmu siang dan malam jika ia hanya berakhir menjadi seorang koruptor?

Inilah mengapa sedikit sekali pejabat korup di negara-negara yang sudah maju. Berbeda dengan orang yang selama mereka menempuh ilmu via jalur akademi, mereka cenderung bermalas-malasan, bolos, lebih memilih untuk membuat geng yang kurang bermanfaat dibandingkan untuk memecahkan sebuah masalah. Uang yang mereka keluarkan untuk membayar biaya edukasi menjadi sia-sia.

“Jika bukan karena ijazah, tak akan saya menuntut ilmu hingga ke jenjang yang lebih tinggi.” Begitu pikirnya. Sedang ijazah masih memiliki celah untuk dibeli dan dipalsukan.

Akibat dari ilmu yang tidak berhasil ia peroleh selama masa pendidikan formalnya, ia tidak memahami bagaimana ia implementasi ilmunya di kehidupan nyata. Hal ini tentu dapat mengarah kepada hal yang tidak diinginkan.


Fantasi terkadang tetap diperlukan

Kita bebas berangan-angan sebagai bagian dari imajinasi. Namun sering kali, imajinasi yang ditampilkan itu menjadi stigma baru di mata masyarakat.

Contohnya, dari kecil kita kerap dicekoki cerita-cerita di buku sekolah mengenai kisah orang kaya yang jahat dan orang miskin yang baik. Kita sudah dipatok prinsip bahwa seakan-akan orang kaya itu selalu tamak, serakah, kikir, dan tidak bahagia, sedang orang miskin merupakan pahlawan.

Hal ini tidak salah jika hanya sebatas hal fiktif. Tetapi tentu saja efeknya akan berbeda jika sudah sangat banyak cerita yang mengusung tema yang sama.

Padahal, orang kaya yang benar-benar merupakan hasil dari jerih payahnya akan jauh lebih bijaksana dan rendah hati dibandingkan mereka yang merasakan menjadi orang kaya tanpa banyak berbuat apa-apa. Sekali lagi, orang kaya yang bijaksana pastilah mereka pintar dan berilmu.

Mereka sebenarnya tidak angkuh, hanya saja mereka memberi jarak dengan orang-orang yang terlalu santai dalam hidupnya. Mereka hanya tidak ingin memiliki teman yang berpengaruh buruk dalam hidup mereka.

Kembali ke konteks bahwa fantasi sesekali diperlukan. Apalagi jika kita melihat film-film besutan orang Barat yang kerapkali memiliki tema fantasi di mana pemeran antagonisnya adalah seorang yang jenius. Nyatanya, hingga saat ini tidak ada orang jenius yang memiliki ambisi untuk menaklukkan dunia.


Pohon tidak langsung tegak

Pohon tua besar yang bijaksana, memiliki saat-saat di mana mereka harus ditopang dengan sesuatu untuk dapat berdiri kokoh. Pohon-pohon tersebut memiliki saat di mana batangnya masih rapuh dan akar yang belum menjadi pasak yang kuat.

Begitu pun dengan orang pintar. Di tahap awal pencarian ilmu, mereka merasa bahwa ilmu yang telah mereka pelajari begitu luar biasa. Rasa bangga dan angkuh menghiasi dirinya, memandang rendah orang-orang disekitarnya. Masih cukup berbahaya jika orang pintar tersebut berhenti di tahap ini.

Pernah rekan saya bercerita bahwa dulu di sekolahnya ada anak pintar yang tidak patuh dengan gurunya. Tebak? Sekarang dia tidak menjadi siapa-siapa. Dia merasa ilmunya sudah sangat cukup sehingga tidak perlu lagi mematuhi dan menghormati sang guru. Padahal, dia sebenarnya baru saja memulai petualangan pencarian ilmunya. Namun sayang, egonya membuat dia kalah sebelum perang.

Di tahap berikutnya, orang pintar akan merasa bahwa selama ini ilmu yang telah mereka gapai masih belum ada apa-apanya. Mereka menyadari di bawah gunung es masih ada bongkahan yang ratusan kali lebih besar daripada yang tampak. Mereka menyadari bahwa di luar langit bumi masih ada langit yang luasnya seolah-olah tanpa batas. Di tahap ini mereka mulai untuk merendah, ego mereka menciut dengan sendirinya.

Di tahap akhir pencarian ilmu, meskipun bukan berarti setelah ini kita sudah selesai menuntut ilmu setelah sampai di tahap ini, orang pintar akan kembali mempertanyakan tentang waktunya yang ia habiskan selama ini untuk menuntut ilmu, akankah berakhir sia-sia? Di sinilah orang pintar tersebut akan mencari-cari peluang bagaimana agar ilmunya menjadi bermanfaat bagi dirinya dan orang sekitar.

Di tahap terakhir ini pula, karakter orang pintar yang sesungguhnya telah terbentuk. Ia akan menilai bahwa aset yang ia punya begitu berharga hingga nilainya hampir tak terhingga. Ukuran kesuksesannya kini tidak lagi materi karena materi secara langsung tak langsung perlahan-lahan menghampirinya dengan sendirinya.

Orang yang benar-benar pintar lagi berilmu, ia semakin semangat menuntut ilmu apa pun dan dari sanalah tabir antara dirinya dengan Tuhannya perlahan-lahan terkuak. Karena bicara tentang ilmu, pastilah ia menyadari bahwa ia sedang melihat seluruh ciptaan Tuhan.

Makanya disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw., yang intinya bahwa setan lebih enggan dengan ahli ilmu dibandingkan dengan ahli ibadah.

Sudah sampai mana tahapan kita dalam menjadi orang pintar?

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    "Kalau Ada Salah, Saya Minta Maaf" yang Mengganjal

    Berikutnya
    Mengapa Ijazah Menjadi Hal "Wajib" Bagi Para Pelamar Kerja?


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas