Siang itu saya diberitahu oleh resepsionis jika ada telepon dari calon pelanggan via telepon kantor. Kemudian saya meminta nomor beliau yang dapat saya hubungi agar saya sampaikan ke bagian marketingnya untuk menghubungi beliau kembali.
Saya langsung kirim pesan ke tim saya lewat Whatsapp namun ternyata ikonnya stuck di jam analog saja. Saya beritahu resepsionis ternyata Whatsapp beliau juga mengalami hal serupa.
Jadilah kami langsung menyalahkan WiFi yang memang juga kebetulan sedang ada gangguan.
Akhirnya saya beralih ke mode mobile data dan masalah tetap berlanjut. Saya agak dirundung rasa panik karena saya berjanji kepada calon pelanggan tersebut bahwa kami akan menghubunginya segera.
Pelan-pelan saya buka internet dan mengetik, “Is Whatsapp down?” Dan ternyata seluruh berita dari beberapa menit lalu membanjiri halaman awal, mengonfirmasi bahwa Whatsapp memang benar-benar sedang down.
Banyak orang dari seluruh dunia mengerumuni setiap situs berita atau situs web apa pun yang memberitakan bahwa WhatsApp sedang down.
Hampir setiap detik, setiap warganet berjejal-jejal memberikan konfirmasi bahwa WhatsApp memang sedang down.
Bahkan di antaranya banyak warganet yang berasal dari negara yang saya cukup jarang lihat keberadaan mereka di internet, seperti negara-negara bagian barat Afrika dan Oceania.
Dan pastinya, di Twitter sudah penuh postingan bertagar #WhatsAppIsDown.
Jika kita bayangkan keadaannya di dunia nyata, maka dapat tergambar bahwa sebagian besar orang dari penjuru mana pun di Bumi, berteriak dan mungkin panik tidak karuan, kompak.
Cukup mengerikan jika kita pikirkan kembali. Sebuah huru-hara terjadi hanya karena sebuah layanan yang tidak dapat diakses hanya dalam kurun 1 jam.
Beberapa komentar bahkan banyak yang berkeluh kesah bahwa kegiatan bisnis mereka kacau karena komunikasi yang sangat terhambat karena WhatsApp sedang down.
Bahkan jika dapat dijadikan hitungan, termasuk keadaan di kantor saya pula, di mana ternyata banyak pelanggan yang tidak dapat menghubungi layanan kami dan kami tidak dapat menjangkau calon pelanggan yang lain pula. Padahal kami sudah janji ingin menghubungi mereka segera.
Saya akhirnya ‘menyalakan lilin’ dengan membuka Telegram Desktop dan menelepon rekan saya ‘dalam kegelapan’ di tengah ‘kekacauan’. Dari sana, kami berkomunikasi dan menyarankan tim saya yang lain agar memiliki Telegram pula.
Suasana pada saat itu sangat mencekam. Ikon-ikon pesan hanya berhenti di ikon jam analog, tidak pernah sampai kepada centang.
Apalagi semenjak ada WhatsApp, saya dan beberapa yang lain hampir tidak pernah memiliki sisa pulsa kecuali sedikit karena sebagian besarnya dialihkan kepada paket data.
Jika saya ingat kembali, saat saya mengendarai kendaraan umum, berjalan di kerumunan, atau berkumpul dengan banyak orang, mata saya secara tidak sengaja melihat mereka pasti sedang membuka WhatsApp, skrol atas bawah melihat chat yang mungkin sudah mereka baca, dalam kurun waktu beberapa menit sekali.
Setidaknya sebagian besar dari kita tidak dapat menjauhkan tangan kita dari WhatsApp saat sedang mengoperasikan ponsel.
Dan beberapa kontak dan kenalan saya juga mereka sudah pernah memiliki akun Telegram. Namun hampir sebagian besarnya memiliki last seen beberapa bulan atau tahun yang lalu.
Saat WhatsApp down, banyak dari mereka yang lupa jika mereka pernah memiliki akun Telegram yang memiliki fitur yang sama dengan WhatsApp. Tetapi kebanyakan dari mereka justru lebih memilih berlarut dalam kekacauan.
Ini hanyalah sebuah analogi kecil mengenai ‘persiapan’ saat perang. Setiap orang harus memiliki alternatif yang dapat mereka gunakan jika perlengkapan utama sedang tidak tersedia.
Itu baru WhatsApp.
Bagaimana jika suatu saat yang down adalah media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, bahkan hingga Youtube?
Tidak pernah down bukan berarti tidak akan pernah.
Lebih parah lagi, bagaimana jika jaringan internet yang mati total? Atau bahkan alat komunikasi kita tidak dapat kita pergunakan kembali?
Baru satu layanan raksasa sedang mengalami gangguan saja saya sudah merasa seperti kiamat kecil yang melanda seluruh jiwa manusia di belahan Bumi mana pun.
Huru-hara itu ternyata memang benar-benar wujud.
Apa yang kita persiapkan saat kita tidak lagi bersentuhan dengan internet? Apakah sebagian besar kita sudah terlatih untuk itu?