Poise     Banyak orang-orang yang saya minta pendapatnya mengenai pemilihan presiden Indonesia 2014 berkata bahwa kedua capres sama-sama memiliki sisi negatif, kemudian mereka memberikan saya wejangan agar tidak menjadi golongan putih dengan cara memilih yang paling sedikit madharatnya. Termasuk di antaranya adalah seorang habib yang saya kenal baik.

     Saya lega mendengar penjelasan mereka, apalagi saya tidak ingin menentukan sendiri karena saya sendiri tidak tahu siapa yang menjadi acuan atau lengkapnya siapa yang akan mempertanggungjawabkan pilihan saya nanti. Media sekular? Saya tidak mau menjadi bagian dari yang itu. Saya cukup mengikuti pilihan habaib, ulama dan orang-orang bijak sekitar yang saya kenal baik sedari dulu. Jadi saya yakin insya Allah istilah fanatik hingga muncul statement “yang salahpun dibela” itu tidak ada lagi.

     Kemudian seseorang yang bergelar professor di dunia maya muncul dan menepis statement “Yang Paling Sedikit Madharatnya” tersebut. Dengan ia paparkan segala jenis argumen dan analogi yang membuat saya bungkam olehnya. Berarti secara langsung professor tersebut telah mengkritisi apa yang menjadi saran dari orang-orang bijak yang saya kenal selama ini. Jelas ini membuat saya bimbang karena dalam hal ini saya tidak dapat membantah keduanya dikarenakan saya tidak memiliki ilmu mengenai itu.

     Sampai akhirnya ada yang memberikan analogi lain seperti, “Racun tikus dengan racun serangga lebih sedikit madharatnya yang mana?”. Saya membuat kesimpulan apa yang dicontohkan terlihat sama persis dengan apa yang dianalogikan oleh professor yang telah saya sebutkan di atas. Kemudian ada sesuatu yang benar-benar mengetuk hati saya. Mereka berdua benar-benar ingin menjadi golongan putih dengan tidak memilih kedua calon presiden sama sekali.

 

  • Realistis itu perlu

     Seseorang yang memberikan analogi racun tikus dengan racun serangga yang nyata-nyata tidak setuju dengan statement “yang paling sedikit madharatnya” itu mungkin saya berkenan untuk bertanya kembali, “Anda membuat analogi mengenai racun tikus dan racun serangga. Sekarang menurut anda di antara keduanya yang paling sedikit madharatnya yang mana?”.

       Saya mohon maaf bukan saya membantah opini orang tersebut, saya hanya minta klarifikasi saja dikarenakan saya memikirkan apa yang dianalogikannya itu benar-benar tidak realistis. Dalam artian, masyarakat mana yang dapat menilai bahwa salah satunya itu merupakan yang paling sedikit madharatnya padahal kedua-duanya adalah sama-sama racun? Mungkin ada, namun kemungkinannya sangat sedikit.

 

  • Pertimbangan dalam membuat sebuah analogi itu sangat dianjurkan

     Al-Qur’an dan hadits memang sering memberikan sebuah pelajaran dengan menggunakan analogi atau perumpamaan. Namun membuat analogi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan analogi. Statement “yang paling sedikit madharatnya” memuat kata “sedikit” yang dapat diartikan sebagai sesuatu yang menggambarkan jumlah. Sekarang jika analogi yang dipakai adalah sama-sama racun, maka nilai jumlah yang benar-benar tampak justru mendekati nihil.

     Mungkin sebuah contoh yang mendekati adalah, jika diadakan pemilihan ketua rukun tetangga di mana calonnya hanya ada dua dan kedua-duanya telah terbukti adalah koruptor, namun salah satunya merupakan orang-orang yang mendirikan shalat, maka dari sini nilai jumlah saya yakin telah dapat dianalisa bahkan oleh orang awam sekalipun. Walaupun dua-duanya sama-sama memiliki sisi negatif (koruptor), tetapi masih lebih ada nilainya calon ketua rukun tetangga yang termasuk orang-orang yang mendirikan shalat. Barangkali dekatnya ia dengan masjid membuat kesempatan turunnya hidayah bagi calon ketua tersebut menjadi lebih besar dibandingkan yang tidak shalat sama sekali.

 

  • Jangan menyusahkan dan mengganggap kita ‘lebih tahu’

     Saya bisa saja menerima analogi mengenai racun yang telah saya bahas di atas tadi. Namun saya kira itu akan benar-benar sulit mengingat nilai jumlah yang tampak untuk membedakan antara keduanya sangat mendekati nol. Saya mengetahui atau bahkan saya sendiri pernah berbuat, di mana seseorang memberikan sebuah argumen dan analogi yang sulit dimengerti orang lain agar seseorang tersebut dipandang sebagai orang yang memiliki ilmu yang mumpuni.

     Yang terpenting adalah bagaimana menghargai prinsip orang lain dan berdiskusi dengan hanya memperhatikan buah pikiran orang tersebut tanpa ‘merembet’ ke bagian-bagian personal orang tersebut dengan cara menyalahi prinsipnya dan mengungkit-ungkit kesalahannya di masa lalu misalnya. Sejujurnya belajar menghargai yang seperti itu sangatlah sulit saya akui. Karena saya kenal banyak orang-orang yang memiliki wawasan yang terbilang cukup luas, namun saya tidak mengenal orang-orang yang benar-benar bijaksana di antara mereka kecuali sangat sedikit.

 

—<(Wallahu a’lam bishshawab)>—

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Pentingnya 'Inner Beauty' Kaum Muda

    Berikutnya
    Media Asing dan Pembunuhan Pribumi


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas