Bagi saya pribadi, usia 20an adalah masa transisi usia yang begitu charming alias memesona. Bagaimana tidak, usia 20an adalah usia yang cukup melting pot.
Maksudnya, di dekade tersebut manusia sedang dalam tahap tumbuh kembang terbaiknya. Bahkan bukan cuma energi, keuangan dan luangnya waktu menjadi salah satu kekuatan untuk manusia di usia 20 mereka.
Ketika memasuki periode setelahnya, yakni 30 atau 40an, seluruh komponen tersebut mulai stagnan atau bahkan berkurang. Energi yang tidak sekuat dulu, waktu yang tidak seluang dulu, dan keuangan yang mulai banyak pos-pos tanggung jawabnya.
Inilah yang menjadi sebab utama banyak orang yang meski sudah memasuki usia 30 dan 40 mereka, jiwa mereka masih tertancap di usia 20an.
Banyak orang meninggal pada usia 25 tahun dan tidak dikuburkan sampai mereka berusia 75 tahun.
– Benjamin Franklin
Di Quora sendiri banyak orang yang takut memasuki usia 30 mereka. Mereka tidak ingin ‘kejayaan’ usia mereka terlepas begitu saja.
Tidak heran banyak yang mengampanyekan bahwa usia 30 adalah usia 20 yang baru. Plus, terkekangnya mereka selama tiga tahun saat pandemi Covid kemarin juga mereka jadikan pembenaran untuk memungut kembali periode emas usia 20an mereka yang terserak di usia yang tidak lagi muda.
Apa yang menyebabkan para milenial begitu takut kehilangan masa emas mereka karena sebab usia? Bagaimana menghadapi kenyataan yang seperti ini?
Usia 20 adalah masa-masanya seseorang memanfaatkan seluruh aset kehidupan yang mereka miliki, terutama tenaga dan keleluasaan waktu.
Tidak heran, banyak sekali anak-anak muda pada usia 20an mereka berusaha untuk pamer pencapaian, banyak melakukan travelling, hingga tak ada bosan-bosannya mendalami hobi baru.
Apalagi hari ini, hiburan dan celah pengalaman baru tidaklah seterbatas dahulu sebelum adanya teknologi.
Maka dari itu tidak heran saat usia 20an adalah masih dalam masa main-main.
Sekali pun memang memiliki tanggung jawab atau masalah yang sama, sebagian besar orang seakan setuju bahwa mereka memilih terkena masalah di usia 20an mereka daripada setelahnya.
Masa-masa remaja adalah masa di mana kebanyakan orang belum terikat tanggung jawab selain dari beban pendidikan dan pekerjaan mereka, terkhusus yang lajang dan masih hidup di bawah naungan orang tua.
Karena banyak orang-orang usia 20an yang masih terbebas dari tanggung jawab orang dewasa, pertemanan masih sangat kukuh pada saat itu.
Waktu berbincang dan berkumpul masih begitu berlimpah hingga satu per satu dari mereka memutuskan untuk memulai kehidupan baru seperti berumah tangga.
Tidak banyak orang tahu bahwa fantasi atau imajinasi adalah salah satu kebutuhan tersier manusia. Bahkan Nabi dan Rasul zaman dahulu mendapat asupan ini sebagai hiburan mereka, seperti bayangan surga atau kisah Nabi dan Rasul sebelumnya.
Seluruh kemudahan yang kita nikmati hari ini adalah hasil dari fantasi orang-orang terdahulu.
Seperti, orang zaman dulu tidak pernah ada yang membayangkan jika suatu saat nanti akan ada besi yang dapat terbang atau besi yang tidak tenggelam seperti yang kita nikmati hari ini.
Permasalahannya adalah, karena usia 20an masih minim terkena masalah dan tanggung jawab di dunia nyata, kemampuan imajinasi mereka masih sangat liar dan itu sebenarnya adalah salah satu aset manusia.
Sayangnya, semua imajinasi itu terpaksa harus luntur di usia-usia berikutnya sebab realita di dunia nyata yang harus dihadapi juga semakin intens.
Kebanyakan orang di usia 30an merasa sedih karena mereka seperti belum siap kehilangan diri mereka yang pernah seceria dulu.
Perhatikan komik strip berikut yang saya temukan dari internet:
Bukankah cukup menyedihkan melihat fakta seperti ini?
Inilah pentingnya investasi self care agar kemampuan berfantasi manusia pada usia 30 atau setelahnya tetap terjaga. Bahkan pikiran yang aktif dengan imajinasi positif dapat mencegah penyakit otak di masa tua seperti pikun atau alzheimer.
Kemampuan berimajinasi atau berfantasi pun akan membuahkan hal-hal baik jika kita iringi dengan perbuatan positif. Imajinasi dalam perbuatan baik seseorang akan menghasilkan dampak ekstra hingga dapat berkontribusi dalam perdamaian dunia.
Ya, usia 30, 40, dan seterusnya masih sangat normal menonton film kartun, bermain video game, dan travelling. Mereka membutuhkan semua itu untuk kebaikan diri mereka sendiri.
Ada charm atau pesona sendiri untuk para kaum 20an. Mereka masih bebas bermain seperti anak-anak, dan sudah dapat diajak berpikir selayaknya dewasa.
Tenaga mereka masih mumpuni untuk menjelajah hingga naik gunung.
Waktu mereka masih sangat kredibel untuk mencoba hal-hal baru yang gila.
Mereka pun masih menolerir banyak kesalahan dengan menganggap bahwa mereka masih sangat muda dan masih begitu banyak waktu untuk belajar.
Saya sendiri pun merasakan ketika berpergian ke suatu tempat seorang diri dan orang-orang begitu kagum bahwa saya masih begitu muda untuk berkelana. Saya mungkin tidak akan mendapatkan decak kagum seperti itu lagi di usia saya 30an nanti.
Tidak heran di usia 20an banyak orang yang berambisi besar mengejar impian mereka hingga ke tahap yang paling tidak mungkin. Media pun memberikan panggung khusus untuk mereka yang sukses sebelum usia 30.
Di era teknologi ini, ambisi sukses sebelum usia 30 begitu menggebu-gebu meski itu tidak terlalu sehat. Kemudahan teknologi membuat banyak orang tidak lagi memiliki standar kesuksesan.
Bagi banyak orang hari ini adalah, “saat saya mendapatkan sorotan positif dari media, artinya saya sudah sukses.”
Dampak negatifnya adalah, banyak orang yang menyangka bahwa jika mereka tidak sukses atau memiliki pencapaian sebelum usia tertentu, maka mereka mencap diri mereka telah gagal permanen.
Ini adalah masalah yang sangat membuat orang takut akan jalannya usia.
Manusia pada dasarnya gemar melakukan gamifikasi. Mereka banyak yang membuat sendiri pos-pos kehidupan mereka, salah satunya adalah pengelompokan usia berdasarkan dekade.
Karenanya lah, setiap 10 tahun sekali manusia akan berhadapan dengan tonggak sejarah mereka masing-masing. Tak terkecuali beberapa orang yang harus bersiap memasuki usia 30 mereka dan melepaskan dengan terpaksa masa-masa 20an mereka.
Itu menakutkan bagi orang-orang yang sudah terlalu nyaman di dekade tersebut.
Banyak orang yang merasa bahwa semakin tua usia mereka, mereka tidak lagi sebebas dulu. Belum lagi dibayang-bayangi dengan masalah yang semakin menumpuk dan kesehatan yang tidak seprima dahulu.
Meski itu benar, tetapi saya tidak bisa hanya berkata bahwa kita harus dengan pasrah menerima kenyataan seperti ini.
Kehidupan tanpa ambisi dan fantasi akan menghilangkan warna-warni dalam diri seseorang yang menyebabkan mereka ‘mati muda’.
Perlu kita ketahui, dalam kumpulan emosi manusia, ada kesedihan, amarah, kebahagiaan, ketakutan, dan kecemasan. Benar, manusia memiliki rasa cemas (anxiety) dengan kehidupan yang akan mereka jalani.
Inilah alasan banyak sekali kampanye untuk “Live in the moment” demi mengalihkan rasa cemas orang-orang yang berada di ambang dekade mereka.
Lucu, sekaligus menyedihkan, bahwa di tengah kecanggihan teknologi yang kita dapat, kita semakin kebingungan dalam melakukan sesuatu sesuai apa yang kita gemari.
Sangat berbeda saat teknologi masih begitu kuno, monokrom, dan terlalu berpiksel. Hampir tidak saya temukan orang-orang tua kita zaman dahulu yang memiliki masalah seperti anak-anak muda sekarang ini.
Hasilnya, banyak anak-anak muda yang sangat tidak siap memasuki jenjang dekade usia mereka berikutnya.
Bahkan beberapa teman saya yang sudah menikah seringkali mengendap-endap dari istri atau suami mereka hanya demi melampiaskan sisa-sisa masa muda yang tidak mereka dapatkan setelah memiliki tanggung jawab lebih.
Hal ini semakin diperparah dengan lingkaran setan di masyarakat yang juga tidak mengetahui eksistensi mereka itu sendiri.
Beberapa prinsip beracun seperti “budak korporat”, “hidup untuk bertahan, bertahan untuk hidup”, telah membuat banyak anak muda stuck dan seolah terpaksa menjalani kehidupan yang begitu-begitu saja.
Perlu kita ketahui, sangat tidak masalah jika seseorang menjadi “budak korporat” atau karyawan yang bekerja 8 jam karena masyarakat negara maju hingga presiden pun demikian. Yang saya permasalahkan adalah pola pikir yang mengekang bahwa menjadi budak korporat adalah akhir dari dinamika kehidupan seseorang.
Banyak orang yang tidak ingin jujur jika bukan seperti itu kehidupan yang mereka inginkan. Padahal dengan jujur dan mengakui permasalahan dasar ini, seseorang bisa menjadi sadar dan mencoba mencari celah untuk mulai memperbaiki jalan hidupnya.
Tidak sedikit pula yang pada akhirnya memilih untuk terombang-ambing dalam lautan “mayat hidup” dan mengikuti kemana mereka menuju.
Saya hanya peduli kepada mereka yang di dalam batinnya masih ada kemauan untuk melawan arus para zombi sosial tersebut.
Benar bahwa usia 30an itu merupakan transisi menyeramkan bagi sebagian besar anak-anak muda.
Kita semua sudah memahami bahwa setiap orang itu unik dengan takdir mereka masing-masing. Tetapi banyak dari kita yang tidak ingin memahami hal ini dan cenderung mengikuti apa yang sedang menjadi tren.
Pada akhirnya, ketika individual sudah menyadari ini, mereka sudah berada di masa yang sudah berbeda dari apa yang mereka inginkan.
Solusi dari saya secara garis besar, yakni pungutlah kembali warna-warna kita yang sudah tercecer itu.
Takut keluar dari zona nyaman? Tidak masalah, perluas saja zona nyaman kita untuk mengambil apa yang tercecer tersebut.
Tersesat? Tenang, kalian tidak sendiri. Kesepian? Wajar, itu merupakan sinyal untuk mencari orang-orang yang levelnya sudah sejalan dengan ambisi kalian. Setidaknya kalian sudah terbebas dari lautan “mayat hidup” yang hanya mengikuti arus itu.
Jika kalian harus menangis karena menyesal, menangislah yang kencang karena dengan itu pikiran kalian menjadi tersapu kembali.
Balaslah dendam masa muda kalian. Mainkanlah video game yang kalian ingin tamatkan. Pesanlah tiket kereta api atau pesawat terbang untuk melihat warna-warni kembali yang selama ini kalian lewatkan. Berkebunlah, hematlah listrik, dan banyak sekali cara kalian untuk kembali bernafas.
Ya, tidak ada batasan usia untuk “kembali muda”. Perusahaan besar seperti Nintendo dan Disney terbukti melakukan ini di usia lanjut dan mereka masih bisa sukses besar.
Cobalah tanamkan bahwa usia 30 dan selanjutnya adalah versi matang dari masa 20an kita. Fantasi dan hobi menjadi jauh lebih terkelola di masa ini.
Lalu, gangguan sosial sudah pasti akan selalu terjadi, itu risiko. Namanya kita hidup di tengah lautan zombi yang mungkin tidak dapat lagi kita kontrol mereka.
Selamatkanlah diri kalian masing-masing, karena saya pribadi pun sekarang sedang melakukan itu. Tetap waspada dan saling berpegangtanganlah di antara kalian yang masih ‘tersisa’.
Dan jangan lupa, catatlah kemajuan atau progres dari kegiatan kalian, walaupun itu hanya sekadar menang satu level dari video game yang ingin kalian mainkan. Itu membuat kalian lebih baik dari para zombi sosial tersebut.
Lihat, di saat banyak orang yang berlomba mencari kerja hanya sebatas level staf dan terbentur banyak persyaratan, maka catatan kemajuan kalian bisa mengantarkan kepada level yang lebih tinggi di mana banyak lowongan kerja yang kosong dengan gaji yang lebih baik, yang sedang menanti kalian.
Kabar gembiranya, di usia 30an, kalian mulai tidak lagi tertarik dengan validasi atau pengakuan sosial. Jadi, kalian bisa melakukan hal yang kalian suka secara lebih bebas. π