Lebih Penting

Apa yang lebih penting dari uang? Banyak dari kita yang akan menjawab kesehatan, perhatian dari keluarga, waktu, dan jawaban umum lainnya.

Saya pun tak menyangkal dan akan menjawab dengan jawaban serupa. Cuma jika artikel ini hanya membahas hal yang sudah banyak orang ketahui, saya mungkin hanya akan membuang waktu saja.

Di zaman modern ini, segala sesuatunya menjadi lebih mudah untuk kita raih, dalam hal ini adalah yang berhubungan dengan uang atau harta.

Kebutuhan tersier yang selalu kita dambakan karena ‘racun’ jejaring sosial, telah menjadi pembelajaran para pengusaha agar membuka peluang bisnis untuk mewujudkan kebutuhan hiburan kita itu meski saldo rekening kita sedang tidak menyanggupinya.

Benar, banyak orang menyebutnya dengan fintech, pinjaman online, kredit 0%, hingga paylater, semua menjadi jalan termudah kita untuk meraih kebahagiaan lewat uang atau harta.

Tiket pesawat dan kereta mahal, kendaraan mewah, ponsel canggih, dapat kita genggam dengan sekejap mata dengan semua fasilitas produk finansial tersebut.

Yah, meski risiko adalah urusan nanti.

Kita telah melihat betapa bahagianya orang-orang yang berhasil membeli segala sesuatunya dengan uang, baik uang aktif mau pun uang pasif, baik uang pribadi mau pun uang pinjaman.

Makanya tak heran ada pepatah nyeleneh bilang, “Kebahagiaan tidak melulu berasal dari uang, masih ada kartu debit dan kredit.” 😉

Tetapi serius, apakah yang lebih penting dari uang, tetapi juga bukan hal yang selama ini kita sadari?


Kebutuhan muasal

Jika dulu di sekolah dasar kita mendapat pengetahuan mengenai kebutuhan primer seperti sandang, pangan, dan papan, namun perlu kita ketahui itu hanyalah kebutuhan fisik.

Mental pun memiliki kebutuhan primer.

Ya, orang-orang religius pasti akan mengatakan bahwa kebutuhan mental primer atau yang paling utama adalah kebutuhan spiritual. Benar, dan saya adalah yang paling setuju tentang itu. Bahkan di Anandastoon ini ada kategori sendiri yang membahas masalah spiritual terkhusus untuk para muslim seperti saya ini.

Tetapi sekali lagi, yang saya tekankan di sini adalah sebuah kebutuhan yang mungkin hampir tidak pernah kita sadari sebelumnya.

Sering kita dengar, namun jarang kita lakukan, setidaknya sebagian besar dari kita, di era modern ini.

Berbuat baik kepada diri sendiri, fisik dan mental, adalah yang sering kita lupakan karena terkubur oleh nafsu dan gengsi.

Sebutannya adalah “self-care” atau perawatan diri, merupakan sebuah kebutuhan mental yang nyata-nyata jauh lebih penting daripada uang.

Bagaimana bisa? Bukankah dengan adanya uang, self care bisa jauh lebih mudah?

Secara teori global, benar, dengan adanya uang, self care bisa jauh lebih mudah. Yang artinya, uang tetap lebih penting daripada self care.

Namun faktanya di lapangan, semakin hari justru sedikit sekali orang yang melakukan self care padahal uang sudah lebih mudah untuk didapatkan, meski dalam bentuk pinjaman.


Memicingkan mata

Seorang kenalan sempat keluar dari tempat kerjanya yang menggajinya tinggi.

Ceritanya sederhana, awalnya memang dia bangga dengan pekerjaannya karena gajinya itu membuatnya merasa lebih baik daripada teman-temannya.

Tetapi setahun kemudian, malamnya justru ia jalani dengan rentetan air mata karena ia tidak sanggup dengan beban kerjanya. Ia keluar, dan berbahagia dengan pekerjaan yang gajinya jauh lebih rendah.

Atau kenalan lain yang sudah berkeluarga, memiliki gaji yang sudah dua digit, ternyata dia tidak serta-merta menikmatinya. Beban yang ia tanggung dengan mertuanya yang sedikit keras mengatur-atur hidupnya membuatnya gagal merasakan tingginya gaji yang ia raih.

Saya berkata seperti ini bukan berarti menyuruh kita agar memiliki pekerjaan dengan bayaran yang biasa saja. Bukan sama sekali.

Saya pun mengangguk dan membenarkan bahwa uang merupakan sumber kebahagiaan. Namun jangan lupa bahwa itu hanyalah salah satunya.

Nyatanya, self care berlaku bagi kaya mau pun miskin, kalangan menengah ke atas atau pun menengah ke bawah, semuanya memiliki jatah self care yang sama.

Ingin melakukan liburan entah dengan pesawat atau angkutan kota, tidak ada yang mempermasalahkan.

Yang menjadi masalah adalah terkadang kita lebih mendengarkan hawa nafsu kita daripada diri kita sendiri.

Akibatnya, banyak sekali rasa bimbang yang tidak perlu, yang justru menggerogoti kebahagiaan hidup banyak orang.

Ego kitalah yang mempermasalahkan gengsi jika kita berlibur naik angkutan umum, dan ego kita jualah yang mempermasalahkan anggaran jika kita berlibur naik pesawat.


Yang lebih paham

Kita melihat banyak sekali orang yang berbahagia di media sosial saat mereka telah mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Hal itu membuat sebagian dari kita tersiksa oleh rasa iri. Itu normal.

Persoalannya adalah yang kemudian itu, mengenai bagaimana kita menanggapi rasa iri yang kita dapatkan dari media sosial.

Namun jangan khawatir, istirahatlah sejenak dari huru-hara dunia baik yang nyata atau maya. Tariklah nafas dan dengarkanlah diri kita sendiri. Pastikan sekarang jiwa kitalah yang berbicara, bukan nafsu.

Merupakan bentuk self care saat kita mempersilakan jiwa kita berbicara. Jiwa kita lebih tahu apa yang harus kita lakukan.

Inilah mengapa ruang personal itu begitu penting, sebab diri kita sendiri merupakan aset yang sering kita abaikan. Bukan hanya aset fisik, melainkan juga aset mental.

Jiwa kitalah yang paling peduli dengan bagaimana kita mengarungi kehidupan kita sendiri.

Mungkin kita akan berpikir bahwa dengan bekerja jauh lebih keras, kita akan lebih mendapatkan apa yang kita inginkan. Saya tidak mempermasalahkan itu.

Namun saat diri kita berkata, “cukup”, cobalah untuk mendengarkannya. Diri kita akan berterima kasih untuk itu.


Sebuah sinyal lemah

Saat kita bosan, kehilangan motivasi, atau tidak lagi bersemangat melakukan sesuatu, mungkin itu adalah sebuah sinyal bahwa tubuh kita ingin berkomunikasi dengan kita.

Hanya saja, mungkin banyak dari kita yang tidak memahami bahasanya, terkadang pun termasuk saya.

Jika memang seperti itu, cobalah untuk duduk sejenak, mungkin sembari mendengarkan musik santai, jarakilah tempat duduk kita dari apa pun yang membuat mental kita lelah.

Jauhkanlah diri kita dari pekerjaan, media sosial, atau hanya sekadar melihat tugas harian.

Saat tubuhmu menyuruhmu untuk istirahat, artinya ia menolak untuk berdekatan dengan sesuatu yang dapat merangsang bagian apa pun darinya.

Tidak perlu khawatir bersantainya kita akan identik dengan kemalasan atau lari dari tanggung jawab. Sekali lagi, tubuh kita paling memahami hal ini.

Mungkin bagus juga jika suatu hari di akhir pekan, kita mengunjungi sebuah bianglala dan menaikinya sendirian di salah satu kapsulnya. Apa pun yang akan kita lihat, cerah atau mendung, atau keduanya, mungkin akan berbekas di hati kita.

Terkadang kita stuck karena kita kerap berada di dua posisi yang tidak produktif. Kita berada di antara kegiatan bermalas-malasan di rumah, atau berada di tempat liburan yang kita hanya menikmatinya sangat sebentar.

Atau berada di posisi menunda pekerjaan yang kita hanya menikmati penundaan itu beberapa saat saja, atau berada di posisi menggeluti pekerjaan yang tiada habisnya.

Bisa jadi kebosanan dan kehilangan motivasi yang kita alami merupakan sinyal dari mental kita yang kesehatannya mulai drop.

Kesehatan mental yang sudah berada di tahap terendah, bisa membuat orang menjadi depresi hingga kehilangan hasrat untuk hidup.


Titik sadar

Pernahkah kita menyadari jika kita sering melihat anak-anak kecil di sekeliling kita selalu riang berlari kesana-kemari seakan mereka tidak pernah ada lelahnya?

Jawabannya simpel, bahkan sangat simpel, mereka mendapatkan apa yang tubuh mereka inginkan dengan segera.

Saat mereka ingin bermain, mereka bermain. Saat ingin menggambar, mereka menggambar. Bahan bakar mental mereka selalu mereka isi setiap saat.

Maka dari itu tidak heran mengapa banyak anak kecil yang sedikit sekali atau bahkan hampir tidak pernah terkena masalah kesehatan mental.

Semakin dewasa, sosialita membatasi setiap aktivitas kita dengan standar masing-masing, membuat orang dewasa sedikit sekali mendapatkan asupan gizi mental mereka yang lebih bervariasi.

Kita boleh saja bekerja seminggu penuh, namun tidak ada yang melarang kita untuk menonton film kartun yang dituding hanya untuk anak-anak jika kita sedang ingin.

Nyatanya, asupan hiburan mental paling sehat adalah mereka yang family friendly. Namun sayangnya, sedikit sekali hiburan yang berada di kategori tersebut. Beberapa orang akan ‘terpaksa’ menyukai yang lebih keren dan lebih sadis supaya mereka dapat mengikuti tren sekitarnya.

Jangan dapatkan saya salah, saya pun menyenangi hiburan aksi dan ‘gelap’. Namun ada masanya saya lelah dan ingin bersantai dengan hiburan yang lebih ringan.

Ingat waktu zaman televisi masih kita gemari karena banyak tayangan bervariasi? Dari mulai kartun, fantasi, hingga horor masih menghiasi layar kaca? Atau masa lockdown di mana sebagian para gamer bermain bersama di pagi hari saat tidak dapat kemana pun?

Rasa bahagia yang kita dapat pada saat itu seakan jauh lebih murni. Tidak ada kebahagiaan artifisial yang harus melibatkan penilaian orang lain.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Mengapa Banyak Gen Z Bermasalah? Apa Sebabnya?

    Berikutnya
    Depresi Karena Target Hidup Tak Kunjung Tercapai?


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas