Gen Z Bermasalah

Akhir-akhir ini semakin banyak di Twitter saya saksikan orang-orang mengeluhkan sikap anak-anak muda zaman sekarang, terkhusus generasi Z.

Saya hanya menggeneralisasi gen Z adalah mereka yang rata-rata lahir pada akhir tahun 97, meski ada perbedaan jarak antara orang kota dengan orang desa.

Sebelum saya membahas lebih jauh tentang problematika gen Z ini, saya setidaknya ingin membuat tiga pernyataan terlebih dahulu.

1. Saya tahu tidak semua gen Z seperti itu, tetapi justru saya ingin membahas yang seperti itunya karena jumlahnya semakin mengkhawatirkan.

2. Saya tidak membenci gen Z, karena yang saya bahas ini adalah masalah sosial, bukan masalah pribadi. Artinya, masalah gen Z ini bukan saya saja yang merasakan.

3. Saya mencoba untuk merendahkan ego saat saya menulis ini, saya hanya ingin menyediakan fokus masalah yang adil dan tidak memihak.

Sejujurnya saya sendiri saat memilih calon karyawan, lebih memilih mereka yang masih dalam lingkup generasi Y yakni kelahiran tahun 97 atau lebih tua dari itu.

Pernah saya menurunkan standar dengan memilih calon karyawan dari gen Z, dengan alasan untuk memberdayakan generasi muda. Namun kenyataannya, softskillnya kurang baik dan bahkan ia ‘kabur’. Tiba-tiba saja tidak dapat kami hubungi, sempat kami khawatir dengannya.

Hingga pada akhirnya, karyawan saya yang lain memberitahukan jika ia masih bekerja dari jauh. Bahkan si karyawan baru merusak pekerjaan karyawan saya itu dengan meniban pekerjaannya. Saya dan rekan kerja benar-benar marah pada saat itu hingga mengeluarkan si karyawan baru dari grup kantor.

Padahal sudah saya wanti-wanti jika dia tidak menyanggupi tugas yang saya berikan, saya yang akan ambil alih. Itu pun saya berikan tugas termudah karena posisinya yang masih sangat baru dan belum memahami apa pun.

Sebab dia masih menyimpan aset perusahaan, saya dan partner langsung mendatangi rumahnya. Tanpa bersalah ia hanya berkata kalau ia tidak sanggup dengan pekerjaan termudah yang saya beri dan menghilang begitu saja.

Akibatnya, saya memperketat kebijakan penerimaan karyawan baru, seperti karyawan yang baru bergabung wajib memberikan nomor telepon orang terdekat yang bisa kami hubungi. Tentu saja ini sebagai antisipasi jika suatu saat kejadian seperti ini terulang.

Tidak perlu memberitahu saya jika tidak semua gen Z seperti itu. Trauma tetaplah trauma yang tidak dapat hilang sekejap. Banyak yang tidak memahami betapa berat dan lelahnya memroses lamaran kerja karyawan baru, belum lagi melatihnya setelah itu.

Maka dari itu, sengaja saya buat artikel ini untuk membahas “kenapa sih banyak gen Z seperti itu?” dengan harapan menjadi catatan bersama.


Teknologi pun menghela nafas

Sudah dari 2018 saya mulai mengkhawatirkan generasi-generasi mendatang.

Seluruh teknologi baru seakan tidak menjadi alat untuk mempermudah pekerjaan, namun justru menjadi tameng kemalasan dan ego.

Saya sempat melarang penggunaan Chat GPT di tempat saya kerja. Bukan karena saya ingin para karyawan saya buta akan teknologi, namun saya ingin para karyawan saya memahami konsepnya terlebih dahulu.

Saya baru menggunakan teknologi AI jika memang sudah benar-benar membutuhkan, selebihnya adalah murni dari kemampuan saya sendiri mengembangkan produk perusahaan saya.

Apakah penggunaan AI itu buruk? Secara bertentangan saya justru bilang tidak buruk sama sekali, bahkan sangat membantu.

Lalu mengapa saya melarang tim saya menggunakan AI di tempat kerja? Saya akan beri sebuah contoh mudah.

Saya lebih menyukai orang yang memahami rumus luas persegi panjang daripada mereka yang secara blak-blakan langsung meminta AI menghitung luas persegi panjang. Kedengarannya jauh lebih buruk daripada hanya menggunakan kalkulator.

Di tahap seleksi karyawan baru, saya biasanya memberikan beberapa soal yang langsung berkenaan dengan kenyataan di lapangan kepada calon karyawan. Tidak ada teori dan tidak dapat mencari di internet karena semuanya murni opini.

Namun sempat saya temukan seseorang yang menggunakan ChatGPT untuk menjawab seluruh soal tersebut. Saya tahu dari kesempurnaan tata bahasa dan jawaban yang seolah berasal dari penelitian. Padahal awalnya saya kagum dengan jawaban itu.

Lebih parah lagi, saya banyak menemukan calon karyawan gen Z yang portfolionya secara serta-merta mengambil dari internet.

Bayangkan, dari 100 lebih pelamar, saya frustasi, pada akhirnya memilih dari jalur kenalan yang ternyata ada satu atau dua orang dan sudah terbukti kemampuannya.


Yang krusial, yang krusial

Apa yang lebih penting dari sebuah kemampuan (hard skill)? Benar, etika (soft skill).

Saya tidak peduli sedewa apa pun kemampuan seseorang jika dia tidak memiliki sopan santun sama sekali. Hal itu akan membuat saya bertanya-tanya apakah kemampuan orang yang tidak beretika itu benar-benar baik atau hanya polesan trik semata.

Ilmu dan adab adalah hal yang sejajar dan saling menopang satu sama lain. Tidak ada yang lebih dahulu antara keduanya.

Orang yang merasakan lelahnya mendapatkan ilmu dan kemampuan pasti memahami esensinya sehingga tidak ada gunanya meninggikan egonya kepada orang lain seakan-akan dia lebih baik.

Gen Z yang banyak saya temukan, justru sepertinya meremehkan adab atas ilmu mereka yang ternyata hanya terlihat wah. Dari sini saya tahu jika mereka masih berada di tahap terrendah dalam hal menuntut ilmu.

Bahkan dalam sosial bermasyarakat, etika beberapa dari gen Z pun ikut mengkhawatirkan, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar. Pernah saya kupas tuntas di artikel yang saya tulis belum lama ini.

Di dunia kerja, rekan-rekan saya dari perusahaan lain seringkali mengeluhkan perilaku para gen Z yang menginginkan kerja minimal dengan bayaran maksimal. Belum lagi etika mereka yang menjawab pertanyaan wawancara dengan slengean dan seakan tidak butuh kerja.

Setidaknya para gen Y yang saya wawancara masih menjawab pertanyaan dengan hati-hati dan manut. Mungkin karena mereka sudah merasakan tanggungjawab kehidupan dan tidak lagi berada di tahap main-main.


Preteli asap, ada api terselubung

Nah, sekarang adalah inti dari yang kita tunggu, yakni alasan mengapa banyak gen Z yang bermasalah.

Saya yang sering memperhatikan gerak-gerik masyarakat, baik di kendaraan umum atau pribadi, baik sedang berjalan atau terdiam, baik di dunia nyata atau maya, mencoba memberikan beberapa kesimpulan.

Salah satu yang seringkali saya perhatikan, beberapa anak zaman sekarang memiliki ‘keistimewaan’ untuk mengakses telepon genggam canggih yang mana mereka belum siap akannya.

Tidak jarang saya temukan anak yang masih jauh di bawah umur bermain game online yang terdapat fitur chat yang sarat kata-kata kotor. Orang tuanya seakan tidak peduli dengan itu, yang penting anak gueh anteng.

Saya dan teman saya dulu baru mendapatkan ponsel saat SMP dan itu dalam lingkup penggunaan yang sangat terbatas. Bahkan orang tua saya masih aktif memeriksa isi ponsel anak-anaknya.

Maka dengan aman saya katakan, banyak anak zaman sekarang yang mendapatkan pendidikan lewat jejaring sosial daripada lewat orang tuanya.

Banyak anak-anak muda yang tiba-tiba menyalahgunakankan istilah psikologi seperti insecure, anxiety, dan sebagainya.

Misal, ada kasus di mana karyawan baru, gen Z, tidak masuk kerja berhari-hari karena insecure ponsel iPhone-nya terlihat lebih ‘jadul’ daripada ponsel rekan-rekan sejawatnya.

Bahkan mereka yang terbiasa melihat kemewahan para artis akan menganggap pekerja kantoran biasa sebagai kehidupan depresi, jangankan melihat pekerjaan yang ‘lebih rendah’ dari itu.

Karena itulah para gen Z mulai terbiasa dengan standar hidup yang mungkin tidak akan dapat mereka raih. Misalnya menginginkan pekerjaan santai yang sarat pamer di media sosial dengan bayaran fantastis.

Ditambah kenyataannya, banyak gen Z yang masih hidup di bawah naungan orang tua mereka yang masih berkecukupan sehingga mereka tidak sempat merasakan arti dari beban kehidupan yang memerlukan kesungguh-sungguhan.

Belum lagi para orang tua yang mungkin mendapatkan trauma masa lalu berupa perlakuan tidak menyenangkan dari orang-orang sekitarnya. Sehingga, mereka menurunkan dendam tersebut kepada anak-anak mereka.

Seperti, ada orang tua yang dulunya sering dipukuli oleh gurunya, dan tidak rela anaknya mendapatkan perlakuan serupa seperti dirinya lagi.


Lebih dalam, hingga dasar palung

Internet adalah tempat yang berantakan. Setiap orang bebas mengakses dari setiap kalangan, setiap usia.

Jika dahulu kita mendapatkan pelajaran tata krama bagaimana menghormati yang lebih tua, saya kini melihat tidak sedikit anak-anak muda yang lumayan kurang ajar di internet.

Sudah sangat sering anak-anak muda yang masih dini dan hijau berkata kasar dan mendebat orang-orang yang jauh lebih tua dan lebih berpengalaman di internet.

Hal-hal seperti ini yang luput dari orang tua para anak muda mengkhawatirkan itu. Para orang tua hanya menganggap anaknya sudah keren sebab dapat mengoperasikan kecanggihan teknologi.

Padahal semenjak tahun 2012, fenomena ini sudah mulai bermunculan meski masih jarang. Tetapi karena tidak acuhnya sebagian kita, pada akhirnya yang terjadi saat ini justru sudah semakin mengkhawatirkan.

Gen Z yang mengkhawatirkan seperti ini tidak akan terjadi jika banyak dari kita yang mau merendahkan ego dan mau memikirkan masalah bersama, bukan hanya masalah pribadi.

Sayangnya, banyak dari kita yang ternyata masih terlalu mengedepankan ‘aku, aku, dan aku’ saat ada topik pembicaraan masalah sosial.

Misalnya, saya pernah melihat di Twitter Transjakarta tentang perpendekan sebuah rute.

Selalu ada satu atau beberapa balasan yang bilang, “Kalau saya sih nggak masalah (orang bukan rute saya).”

Tetapi saat rute yang biasa ia gunakan juga ikut terkena perpendekan, ia justru paling terdepan dalam hal protes.

Ya mau bagaimana lagi, kita tidak dapat mengharapkan pemerintah untuk mengatasi masalah SDM yang seperti ini. Pemerintah yang kita salahkan toh dulunya hidup dan tinggal di antara kita juga.

Jadi siapa pahlawan yang dapat memberikan penyuluhan untuk masalah sosial ini? Siapa ya kira-kira?

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Anemoia, Sebuah Teka-Teki Nostalgia

    Berikutnya
    Tips Bahagia 35: Yang Lebih Penting Dari Uang, Tanpa Kita Sadari


  • 2 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    1. Banyak ngangguk2 baca posting ini. Saya juga pernah bimbing anak baru di kantor yang Gen-z.
      Bener sih, mereka udah awal banget kenal teknologi. Saat disuruh ngerjain tugas, mereka pakai tool2 AI, gak sekedar googling. Sayangnya jadi kurang baca jadi pondasinya gak dapet. Dan kadang attitudenya agak nyeleneh emang wkwkwk

    2. Sependapat. Serta ditambah dengan permisifnya masyarakat membuat semakin mengkuatirkan.

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas