Target Hidup

Siapa yang dulu waktu pernah merencanakan kalau usia segini harus jadi ini, atau usia segitu harus dapat itu?

Wajar, sebagai manusia. Saya pun seperti itu.

Beberapa ada yang terlaksana, namun sebagian besarnya justru berlari di tempat. Apalagi, waktu tidak pernah kenal belas kasih. Waktu menjadikan orang yang impiannya tak terwujudkan menjadi semakin jauh tertinggal.

Orang yang menginginkan kendaraan mewah di usianya yang ke 30, ternyata hingga usia 40 ia pun masih berkutat di kondisi finansialnya.

Begitu pun dengan orang yang menargetkan impian-impian mereka tercapai di usia ini dan itu, yang sebagian besar berupa benda berwujud semisal kendaraan atau tempat tinggal.

Masalahnya, beberapa dari kita mungkin ada yang merasakan bahwa kita mendambakan sesuatu yang tak kunjung kita dapatkan sampai kita kehilangan semangat dalam berusaha meraih itu semua. Kenyataan pun sepertinya semakin kemari, semakin tidak berpihak.

Bahkan beberapa orang yang pada akhirnya mengaku pasrah sekali pun, mereka tetap terbayang-bayangi horornya masa depan di atas kasur empuk mereka.

Bagaimana cara mengatasinya?


Memutus kabel

Sedari kecil, kita selalu mendapat pertanyaan ingin menjadi apa kita nanti. Hal inilah kemudian yang membuat kita merancang cita-cita kita sendiri.

Anak kecil memiliki pikiran yang lepas dan kreatif, meski tidak memulu berhubungan dengan seni. Hal yang sepele saja di mata mereka dapat menjadi luar biasa.

Seiring berjalannya waktu, impian dan cita-cita itu berubah-ubah karena dinamisnya. Tetapi, proses menargetkan impian tersebut justru semakin spesifik.

Sewaktu kecil, kita hanya melakukan penargetan umum, bahwa pencapaian impian itu adalah saat dewasa. Di sini tidak kita tentukan ingin tercapai di usia berapa, hanya baru sebatas “saat dewasa”.

Ketika kita mulai berkembang, kita melihat teman-teman kita dulu sudah berada di jalur mereka masing-masing, terutama selepas SMA.

Sesekali namun pasti, pertanyaan yang menuntut ingin menjadi apa kita nanti semakin jelas dan menghujam. Hal itu menjadikan kita semakin mengkhususkan target pencapaian impian kita, meski mungkin sudah jauh berbeda dari impian semasa kecil kita dahulu.

Di usia ini, saya akan punya kendaraan, punya rumah, lalu menikah, kemudian punya anak, lalu pergi haji, bla-bla-bla.

Jika tidak tergapai salah satu atau beberapa target tersebut, maka akan muncul setrum kecil dari setiap kabel impian yang telah kita tanam.

Dampaknya, beberapa orang akan lebih tertutup bahkan lebih tertekan dari sesuatu yang bahkan tidak berasal dari mana pun. Bahkan kabel-kabel tersebut akan menyetrum kita secara tiba-tiba tak kenal ruang dan waktu.

Saat sedang santai bersosial media, atau saat sedang santai di alam terbuka, terkadang ada saja yang bisa merangsang setrum kabel-kabel itu dan menghancurkan hari-hari kita, membuat kita sedih.

Mungkin suatu saat kita akan menjadi kebal dengan setrum semua kabel itu, namun risikonya bisa menjadi jauh lebih gawat. Bukan hanya saja setrum kabel tersebut membuat kita pasrah dan kehilangan ambisi, namun juga bisa menghilangkan hasrat untuk hidup karena sudah matinya saklar semangat.


Usia 30 itu menyeramkan

Bagi sebagian orang, masa transisi dari usia 20 ke 30 adalah hal yang cukup mengerikan.

Padahal apa yang sebenarnya kita khawatirkan dari peralihan usia tersebut? Kalau kita pikir secara alami, maka tidak ada yang perlu kita takuti. Hidup terus berjalan, waktu terus berputar.

Sayangnya manusia memiliki hawa nafsu yang berhubungan erat dengan kondisi mental mereka.

Hawa nafsu kita terkadang menuntut ini dan itu yang mungkin belum pasti kita capai, sedangkan manusia biasanya memiliki bayang-bayang dari tonggak waktu (milestone) yang dapat runtuh kapan pun siap tidak siap.

Usia 20-an adalah usia produktif yang enerjik dan sarat dengan masa muda. Beberapa remaja tidak siap kehilangan masa mudanya saat berhadapan dengan usia 30.

Ketakutan dengan masa tua adalah ketakutan yang cukup beralasan, karena kita menyadari banyak sekali kegiatan menyenangkan yang hanya dapat dilakukan di masa muda.

Terlebih saat kita mendengar mereka yang menyesal karena tidak menggunakan masa muda dengan sebaik-baiknya, walau itu adalah hal yang bagi kita sepele.

Contoh, saya pernah melihat seorang kakek menyesal karena waktu ia muda, ia tidak pernah merasakan naik gunung. Ia baru tahu keindahan puncak gunung di usianya yang sudah lanjut, dan mungkin ia tidak dapat mendaki lagi.

Begitu pun dengan bayang-bayang mereka yang belum menikah di usianya yang sudah di atas 30, mereka khawatir masih sibuk mengurusi sekolah anak mereka di penghujung usia mereka.

Maka tidak heran, banyak sekali ‘perlombaan’ untuk meraih sesuatu sebelum usia 30. Kebanyakan ‘peserta’ tidak ingin menginginkan konsekuensinya dahulu, yang penting tercapai di usia 30 atau kurang dari itu.

Belum lagi media-media yang semakin mendukung hal ini dengan memberi ruang khusus untuk mereka yang beruntung sebelum mereka berusia 30.

Meski saya masih berusia 20an, tetapi bukan berarti saya mengabaikan peristiwa seperti ini. Saya tidak lagi tertarik untuk bernafsu meraih kesuksesan sebelum usia 30, dan saya pernah membuat artikel khususnya tentang itu.


Lemak baik dan lemak jahat

Biasanya saat di iklan-iklan produk bahan makanan, yang sering menjadi target promosi adalah kemampuan produknya menjadi pengganti makanan yang lebih baik.

Gula yang lebih sehat, minyak yang rendah lemak, kacang yang baik untuk jantung, dan lain sebagainya.

Itu hanya berlaku untuk fisik, bagaimana untuk mental? Adakah alternatif yang lebih sehat dari impian-impian yang “berkolestrol tinggi” itu?

Saya berikan kabar gembira dengan mengangguk. Tentu.

Tahun kemarin, saya pernah menyinggung orang-orang yang senang menargetkan sesuatu setiap tahun baru. Saya sendiri semenjak 2020 sudah tidak lagi membuat target tahunan, dan menggantinya dengan yang lebih sehat dan lebih membuat saya bahagia.

Sekarang bagaimana jika saya katakan, bahwa target sejati itu bukanlah hal-hal yang pasif, melainkan yang aktif?

Sesuatu yang manusiawi jika kita ingin menikmati hasil. Semisal, kita akan lebih bahagia saat kita mendapatkan kendaraan mewah daripada berbahagia dengan cara yang kita lakukan untuk mendapatkannya.

Mulailah hari ini mengganti target pasif dengan target aktif. Bukan dari luar ke dalam, melainkan dari dalam diri kita ke luar.

Target pasif justru adalah hal yang begitu rawan karena akan dipengaruhi banyak faktor di luar kuasa kita. Tentu saja karena target pasif berasal dari luar.

Saat kita memimpikan ingin mendapatkan sebuah rumah, kenyataan akan menampar kita dengan memberikan fakta di lapangan. Harga rumah semakin melangit, ketersediaan rumah tapak semakin jauh dari tempat strategis, rawan terkena gusur, dan lain sebagianya.

Di satu sisi target aktiflah yang justru tidak akan berkurang selagi kita sendiri yang merawatnya.

Atau dalam bahasa lain, kita menargetkan usahanya, bukan hasilnya. Agak klise ya terdengarnya? Tetapi yang lebih sehat memang seperti itu.

Lalu bagaimana menargetkan usaha ini?


Pembelajaran berulang

“Kapan saya punya rumah?” Saya hanya memberi isyarat “No-No” dan menggantinya dengan pertanyaan “Apa hobi yang bisa saya lakukan saat saya senggang?”

Sejujurnya saya baru saja mengunduh aplikasi Duolingo dan belajar bahasa Jepang di penghujung tahun 2023 kemarin.

Efeknya? Bukan hanya saya dapat membaca dan sedikit mengerti media-media Jepang, saya juga terbebas dari stres memikirkan pencapaian hidup saya di setiap malam tahun baru.

Saya hanya menyibukkan diri saya dengan tantangan-tantangan yang lebih berpihak kepada diri saya sendiri daripada kepada nafsu dan tuntutan luar semata.

Sekarang saya lebih menyibukkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan seperti:

1. Apa bisa saya menulis di blog Anandastoon ini minimal seminggu sekali?

Karena meski penghasilan iklan sudah semakin anjlok, tapi dari awal memang bukan itu yang saya cari dari membangun Anandastoon ini.

2. Apa bisa saya menjadi relawan untuk peduli kepada alam?

Sebab sudah sering saya melihat pembukaan lahan, alam hijau sudah semakin berkurang, air terjun sudah semakin cepat kering, sungai yang semakin kotor, kualitas udara pagi tidak sesegar dulu, suara hewan sudah terkubur suara knalpot, dan lain sebagainya.

3. Apa bisa membuat hasil program/koding cuma-cuma yang tak terkait pekerjaan?

Pastinya jiwa saya memiliki ruang keingintahuan yang senantiasa harus selalu saya isi. Bereksperimen dengan yang kita suka dengan cuma-cuma bukan hanya menambah pengalaman kita, melainkan juga membuat kita lebih bahagia, terutama saat kita mendapatkan pengetahuan yang selama ini ternyata kita tidak ketahui.

4. Apa bisa saya menjadi efisien dan lebih peka terhadap sekeliling?

Saya mematikan lampu yang tidak terpakai, mematikan keran menetes yang tidak bocor, menumpuk piring dan gelas di restoran agar lebih mudah diambil pelayan restoran, memperhatikan masalah orang lain dan menebak-nebak solusinya, dan lain sebagianya.

5. Dan daftar terus berjalan dan berjalan, terus saya perbarui dan saya optimalkan.

Semua itu membuat saya lupa jika saya memiliki target hidup yang ternyata beberapanya sudah sangat meleset untuk saya raih. Namun saya justru lebih menerima apa adanya dan bahkan merasa jika saya menemukan sesuatu hal yang selama ini hilang dalam diri saya.

Dengan membangkitkan kemampuan diri, kita menjadi tahu apa yang selama ini membuat kita lebih unik daripada orang lain di sekeliling kita. Itulah yang menjadi identitas kita selama ini.

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Tips Bahagia 35: Yang Lebih Penting Dari Uang, Tanpa Kita Sadari

    Berikutnya
    Sulit Memulai Tugas & Suka Menunda? Belum Tentu Malas


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas