Waktu itu saya pernah jadi pembicara, membahas masalah inovasi. Bersama dengan itu, ada beberapa pembicara lain juga yang mengisi acara tersebut.
Salah satunya ada pembicara, orang Indonesia juga yang sedang menempuh pendidikan di Jerman. Saya pun lumayan tertarik dengan pembahasannya.
Di sebuah pembahasannya, dia menyebutkan bahwa beberapa mahasiswa juga berasal dari Indonesia. Ia menyebutkan perbedaan mahasiswa Indonesia dengan mahasiswa Jerman itu sendiri.
Dari beberapa perbedaan yang ia sebutkan, ada satu yang paling mengklik saya.
Ia kagum dengan mahasiswa Jerman yang mana hasil penelitian mereka tidak mereka kunci.
Hasil penelitian mahasiswa-mahasiswa Jerman justru mereka biarkan terbuka, alasannya adalah agar hasil-hasil penelitian tersebut bermanfaat dan bisa jadi rujukan produk keilmuan lain.
Berbeda dengan para mahasiswa dari Indonesia yang begitu protektif dengan hasil peneilitian mereka. Agak cukup ia sayangkan.
Tetapi pertanyaannya adalah, mengapa beberapa orang justru begitu tidak merasa sayang dalam membagikan ilmu mereka? Itulah yang jadi pembahasan utama di artikel ini.
Kita mungkin memahami bahwa beberapa orang yang ‘pelit’ ilmu beralasan bahwa mereka telah bersusah-payah dalam mendapatkan ilmu tersebut.
Jadi menurut mereka, orang lain juga harus merasakan susah-payah jika ingin mendapatkan ilmu serupa.
Beberapa orang mengibaratkan seperti harta. Seseorang yang telah berjuang secara mati-matian dalam mendapatkan sebuah harta, maka ia harus memproteksi hartanya dari peminta-minta yang cenderung bermalas-malasan.
Sudah berapa banyak orang yang menghabiskan harta mereka demi mendapatkan sebuah ilmu untuk pekerjaan yang mereka idam-idamkan?
Tak jarang mereka harus menguras tabungan dan menempuh mendidikan ke luar negeri demi mendapatkan pendidikan yang menurut mereka lebih berkualitas.
Belum lagi masa muda mereka yang mereka lewatkan demi mengenyam pendidikan yang mereka idam-idamkan.
Sekarang dengan waktu, tenaga, dan harta yang telah banyak mereka korbankan, orang lain dapat menikmati ilmu mereka secara cuma-cuma? Terdengar seperti hal yang sangat tidak layak.
Tetapi nyatanya ada sebagian orang yang membagikan ilmu mereka kepada orang lain tanpa ada pikir panjang, seakan mereka menguras seluruh isi kepala mereka.
Apa rahasia mereka begitu dermawan dengan ilmu mereka?
Saya waktu itu pernah mendapat ‘nasihat’ dari seseorang agar saya tidak perlu membagikan ilmu saya kepada rekan kerja saya. Ia khawatir rekan kerja saya akan lebih menguasai dan lebih mendominasi pekerjaan daripada saya.
Sebenarnya saya antara suka dan tidak suka dengan wejangan orang itu. Alasan saya menyukainya karena saya bersyukur dengan perhatiannya. Dan alasan saya tidak menyukainya karena bukan seperti itu sebuah ilmu bekerja.
Bahkan di suatu kesempatan, seseorang heran dengan saya setelah saya beberkan pengetahuan-pengetahuan sebuah bidang.
Mereka mempertanyakan saya mengapa saya seperti tidak sayang dengan ilmu yang saya punya, saya sebarkan seolah-olah saya sedang memindahkan seluruh isi kepala saya kepada orang lain.
Padahal ilmu yang saya sebarkan itu saya akui telah saya dapatkan dengan ‘pengorbanan yang berdarah-darah dan linangan air mata’.
Mendengar pertanyaan itu, saya tersenyum.
Kapan seseorang dapat dikatakan telah memiliki banyak ilmu?
Saya tidak tahu, tetapi ada saat di mana ilmu yang saya dapatkan ini telah berubah menjadi sebuah beban.
Ibarat orang yang membawa harta karun yang sangat berlimpah, ada titik di mana ia akan tidak kuat jika membawanya sendiri.
Meski itu bukan analogi yang tepat, tetapi bagi saya yang mendekati kira-kira seperti itu.
Perbedaan berbagi ilmu dengan harta, membagi ilmu tidak akan mengurangi stok ilmu yang pernah kita dapatkan.
Lagipula, bukan berarti saat kita membagikan ilmu kepada seseorang kemudian orang tersebut akan menjadi sama ahlinya dengan kita.
Menuntut ilmu, atau lebih tepatnya menguasai sesuatu perlu waktu yang sangat tidak sebentar. Itu sebuah adalah prinsip dasar yang absolut.
Alasan lainnya, orang yang memiliki banyak ilmu tidak khawatir membagikan ilmunya karena saat ia membagian sebuah aspek keilmuannya, masih ada ratusan stok keilmuan yang masih tersimpan dalam kepalanya.
Misalnya, saat seseorang berbagi ilmu tentang fotografi, itu tidak cukup hanya dengan sehari. Fotografi bukan hanya pengetahuan tentang tombol-tombol di kamera, melainkan juga tentang komposisi, kecepatan dan pencahayaan, permainan eksposur, dan lain sebagainya.
Kecuali jika seseorang hanya memiliki sebuah aspek saja, misalnya dalam fotografi ia hanya mengetahui teknik komposisi saja, mungkin kita masih wajar apabila ia masih belum siap membagikan ilmunya.
Intinya, setidaknya bagi saya, memiliki ilmu itu semakin banyak maka akan menjadi beban tersendiri yang mana ada saatnya harus saya kucurkan kepada orang lain.
Namun sayangnya, berbagi ilmu juga harus memiliki ilmu tersendiri.
Beberapa orang yang merasa sudah ahli, terkadang kebablasan membagikan ilmu yang langsung berupa jalan pintas atau cara cepat kepada orang lain.
Bukannya tidak boleh, tetapi kita harus memahami kadar keilmuan orang lain sebelum kita turunkan ilmu kita kepadanya.
Mungkin karena seseorang kurang sabar ingin memiliki ‘anak didik’ yang cepat bisa, maka secara sembrono yang ia lakukan adalah langsung memberikan cara cepat dan bahkan template yang sudah jadinya.
Akibatnya, orang yang baru mempelajari sesuatu namun langsung mendapatkan tips dan trik serta cara cepat, ia tidak akan pernah menghargai ilmu tersebut bahkan menggampangkannya. “Ternyata cuma gitu doang.”
Cara cepat, tips dan trik, adalah sesuatu yang dapat kita berikan khusus bagi orang-orang yang sudah memahami konsep keilmuan terkait. Jadi jalan-jalan pintas itu bisa lebih memudahkan urusan-urusan mereka.
Sedangkan orang yang baru belajar, lebih baik bagi mereka agar memahami konsepnya terlebih dahulu. Cukup aneh jika seseorang mengetahui cara cepat menyelesaikan kalkulus tetapi aljabar saja tidak ia pahami.
Dan terakhir, kita yang ingin mempelajari suatu ilmu, sebaiknya agar tidak menuntut orang lain membagikan ilmu mereka secara gratis.
Kita pun harus menghargai perjuangan orang berilmu. Karena bisa jadi harga yang ia tawarkan masih jauh lebih murah daripada biaya pendidikannya.
Jika kita bertemu dengan orang yang siap membagikan ilmunya secara cuma-cuma, itu adalah keberuntungan.
Yang terpenting, kita sebaiknya peka dengan orang-orang yang ingin membagikan ilmu mereka, karena bisa jadi ilmu yang siap mereka bagikan bukan hanya bermanfaat bagi kita, namun juga bisa mengurangi beban di kepala mereka.