Sewaktu saya membaca berita tentang seorang supir truk ugal-ugalan yang berujung kecelakaan dan banyak jatuh korban, bahkan ada yang sampai tewas.
Saat supir tersebut mendapatkan tindak lanjut, muncul narasi rakyat miskin ke permukaan, seolah membela sang supir yang bermasalah tersebut.
Di antara komentar yang menghiasi, ada satu komentar yang menyita perhatian saya.
“Miskin nyusahin.”
Saya membatin, “wow that’s new?!” Namun saya sendiri tidak menyanggah komentar tersebut. Terlebih, belum lama ini banyak orang yang membahas kemiskinan struktural yang terjadi di negeri ini.
Singkatnya, kemiskinan struktural itu terjadi karena struktur sosial dan finansial yang tidak memihak orang miskin. Seperti, akses pendidikan dan kesehatan yang mahal, kurangnya subsidi, dan sebagainya.
Tetapi, apa kemiskinan yang terjadi di negara tercinta ini kebanyakannya adalah kemiskinan struktural?
Setiap orang pernah mendapatkan pelajaran agar mengasihani orang-orang yang tidak beruntung di sekeliling mereka. Termasuk di antaranya adalah orang cacat, dan orang miskin.
Bahkan banyak sekali buku-buku dongeng hingga buku pelajaran anak sekolah yang kerap menunjukkan bahwa orang miskin tergambar sebagai orang baik dan orang kaya sebagai orang jahat.
Banyak orang miskin yang tidak mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang layak sebab orang kaya sudah merampas itu semua dari mereka.
Tetapi apakah hal itu berlaku di dunia nyata? Saya jawab ya.
Hanya saja, ada satu sebab lain yang menyebabkan seseorang menjadi miskin. Yakni, kemiskinan mental.
Kemiskinan secara mental ini jauh lebih banyak terjadi dan lebih berbahaya daripada kemiskinan struktural.
Belum lagi, masyarakat seringkali mengabaikan kemiskinan dengan sebab ini karena banyak dari mereka yang sedari kecil masih larut dalam drama bahwa rakyat miskin sudah pasti menjadi protagonis.
Sebelumnya, benar bahwa saya pribadi benar-benar simpati dan prihatin kepada orang-orang miskin yang memang murni karena kemiskinan struktural. Orang-orang miskin tersebut memiliki tekad untuk meraih mimpi mereka namun apa daya mereka tidak mampu. Itulah yang saya prioritaskan untuk saya bantu. Problematika kehidupan mereka tidak saya abaikan.
Berbeda halnya mereka yang memang mentalnya sudah miskin. Sebisa apa pun saya akan berusaha jauhi mereka. Tidak ada ruang untuk simpati sama sekali di dalam sanubari saya untuk orang-orang miskin yang dari mentalnya memang miskin.
Saya pun pada akhirnya setuju jika orang-orang yang miskin sebab mental mereka yang juga miskin kemudian mendapatkan julukan sebagai “miskin nyusahin”.
Saya pernah miskin sewaktu saya SD dan SMA. Benar-benar miskin hingga televisi dan kendaraan saja tidak punya, serta tidak memiliki lauk apa pun untuk kami makan.
Bahkan seringnya saya puasa.
Tetapi orang tua saya mengajari anak-anaknya agar senantiasa punya harga diri. Menjauhi kegiatan meminta-minta selagi tidak mendesak, hingga sebisa mungkin menjadi orang yang mengharumkan nama keluarga.
Di masa Covid kemarin, saya bahkan tidak menerima bantuan sosial. Terlebih, saya menolaknya karena masih banyak orang yang membutuhkan selain saya. Bantuan saya berikan kepada kenalan saya yang masuk kategori miskin namun tidak dengan mentalnya.
Dulu waktu saya SMA, saya pernah memperhatikan ketika pembagian zakat fitri di masjid di depan rumah saya, berjejer parkir sepeda motor penerima zakat yang bagi saya itu mentereng.
Pada saat itu hampir-hampir dengan polosnya saya bertanya apa sebab orang tersebut masuk kriteria mendapatkan zakat.
Pernah juga ada orang yang mengeluh kepada saya, bukan hanya satu atau dua, yang merasa penghasilannya tidak memenuhi kebutuhannya perbulan. Setelah saya ketahui, ternyata mereka memiliki cicilan sepeda motor besar (moge).
Saya marah, namun saya tidak bisa mengungkapkan kemarahan saya kepada mereka. Ternyata cicilannya itulah yang memakan sebagian besar penghasilan bulanannya.
Mengapa mereka tidak membeli sepeda motor yang lebih ekonomis? Padahal saat itu saya belum punya dan bahkan belum bisa mengendarai sepeda motor sama sekali.
Semasa saya belum bisa mengendarai sepeda motor itulah saya banyak menerima pandangan rendah dari orang-orang bermental miskin tersebut hanya karena tidak memiliki sepeda motor.
Mereka memaksakan mengambil sepeda motor secara kredit dengan jargon “kalau nggak kredit, kapan punyanya?”
Saya alhamdulillah termasuk yang berhasil membeli sepeda motor secara tunai dari tabungan saya selama tiga tahun. Padahal penghasilan saya pada saat itu setara UMR hari ini.
Di lain cerita, saya pun berulang kali mendengar cerita beberapa orang yang memberikan bantuan kepada anak-anak kaum marjinal, tetapi bantuannya justru dipakai orang tuanya untuk rokok, bahkan sebagiannya lagi untuk miras dan judi online.
Ada yang mencoba menjadi relawan dengan memberikan penyuluhan dan mengedukasi orang-orang seperti itu, yang pada akhirnya hanya dipandang sebelah mata. Mereka ternyata tidak ingin menghargai proses dan ingin yang lebih instan dari itu.
Maka dari itu saat ada orang yang menyarankan untuk memberi mereka edukasi, maka saya persilakan dia sendiri yang terjun ke lapangan agar tahu bagaimana kenyataannya.
Ada yang memberi konten edukasi di Youtube dan media sosial, tetapi berakhir mereka hanya ingin melihat konten dewasa atau joget-joget. Sisanya hanya senang memosting konten keluhan dan drama.
Betul bahwa ada beberapa yang tertarik dengan konten edukasi tersebut dan ingin menurut, tetapi rasionya tidak banyak bahkan terlalu sedikit.
Contoh lain lagi, ada pengendara yang merokok di jalan hingga asap dan apinya mengganggu pengendara lain.
Harapannya saat kita tegur dengan baik-baik, si pengendara kemudian menurut dan mematikan rokoknya. Tetapi justru kebanyakan yang terjadi adalah sebaliknya, yang menegur mendapatkan makian hingga teror. Belum lagi mendapatkan ancaman dari solidaritasnya.
Jadi, saya persilakan bagi yang mengentengkan jika orang-orang bermental miskin seperti itu cukup kita berikan edukasi kemudian “cling”, mereka jadi berubah menjadi lebih baik dengan mudahnya seperti sihir ibu peri.
Kemudian beberapa dari kenalan saya ada yang ingin berbaik hati memasukkan beberapa orang tidak mampu ke tempat-tempat kerja. Entah jadi buruh, atau janitor.
Ternyata tidak berhasil baik. Bahkan semua kenalan saya, benar, semuanya, trauma dan menghentikan itu. Mereka tidak lagi mencarikan orang-orang miskin tersebut pekerjaan.
Ada apa memangnya?
Ada yang jadi buruh, tertangkap CCTV mencuri bahan baku. Lalu ada yang menjadi janitor, cari perhatian dan menghajar temannya sendiri. Ada pula yang menjadi staf, mengambil uang rekan-rekan kerjanya sampai tertangkap basah oleh HRD.
Anehnya, orang-orang yang mentalnya miskin tersebut memiliki gengsi yang sangat tinggi. Mereka gemar menakut-nakuti orang lain. Semakin dapat mengambil hak orang lain, maka itu semakin membuat mereka bangga.
Saya pernah mendengar percakapan dari seorang ibu yang rajin membersihkan masjid,
“Kamu tahu anak muda yang suka pada nongkrong di masjid itu? (Mereka itu) pengangguran semua Nda, waktu mereka masih kerja suka foya-foya. Ibu waktu menyapu masjid sempat diejek oleh mereka, katanya ibu ini hanya pembantu. Terus anak muda yang di belakang itu, banyak yang (memakai) narkoba. Kamu lihat aja, abis mereka nongkrong nanti kotor lagi sampah berserakan semua.”
Pernah ada cerita, ada warga yang melaporkan kepada polisi tentang anak-anak muda yang terjerat narkoba tersebut, sang pelapor justru mendapatkan ancaman dengan sebilah pisau. Sangat mengerikan.
Dahulu pun sewaktu orang tua saya kecelakaan, kami menyewa pembantu untuk mengurus beliau yang selalu meminta tambahan biaya tetapi sering tidak di rumah.
Atau kenalan saya ada yang mengeluh sulitnya mencari asisten rumah tangga yang bisa kerja dengan baik. Padahal kenalan saya adalah orang yang loyal lagi royal.
Saya melihat sendiri lewat rekaman CCTV di rumahnya saat orang tuanya sedang sakit paru-paru, sang pembantu justru merokok di ruangan yang bisa memperparah penyakit orang tuanya. Padahal sudah mendapatkan peringatan sebelumnya.
Terakhir, masih seputar pembantu rumah tangga, ada yang mencuri uang majikannya karena istrinya terjerat pinjaman online. Istrinya itu membeli barang-barang mewah demi gengsi memanfaatkan kemudahan pinjaman lewat paylater.
Kemudahan pinjaman uang yang bertebaran hari ini, meski memiliki bunga, sayangnya banyak sekali yang menyalahgunakan.
Harapannya, jasa pinjaman entah pinjaman daring atau paylater ini bisa memudahkan orang-orang menengah ke bawah dalam memenuhi kebutuhan primer dan sekunder mereka.
Tetapi kenyataannya, alih-alih mereka memenuhi kebutuhan primer dengan jasa pinjaman tersebut, mereka lebih memilih memenuhi kebutuhan pamer (tersier).
Tidak jarang saya saksikan, orang-orang yang tidak mampu memiliki barang yang satu level dengan orang kaya.
Mungkin kita menganggap bahwa dengan kegiatan pamer tersebut, orang yang tidak mampu bisa menyamakan gengsi mereka dengan para konglomerat. Padahal sebenarnya, itu bisa melebarkan kesenjangan dengan skala yang abstrak.
Maksudnya, kesenjangan sosial yang terjadi sudah berada di tahap yang tidak lagi terlihat namun sangat merusak.
Contohnya, banyak sekali orang yang memiliki mobil mewah tetapi masih mengantri untuk mendapatkan bantuan. Sejujurnya, itu malah merendahkan derajat orang kaya.
Atau orang-orang yang meraih ke-glamor-an dengan cara yang menyusahkan orang lain.
Pada akhirnya, beberapa orang kaya yang saya kenal memilih membeli kendaraan yang biasa saja karena kemewahan mereka sudah tercoreng akibat perbuatan foya-foya dari kalangan menengah ke bawah yang mendapatkan kemudahan pinjaman.
Bukan sekali dua kali, orang-orang mendatangi teman-teman saya, meminjam uang untuk menutupi kewajiban mereka hingga bahkan ada yang sampai didatangi para penagih hutang akibat gengsi yang sebenarnya dengan mudahnya mereka bisa cegah.
Semakin hari, semakin sering pula saya melihat orang-orang, terutama pengemudi transportasi online yang kendaraannya terlihat baru tetapi tidak memiliki plat nomor di belakangnya.
Perilaku mereka di jalan menjadi banyak yang meresahkan. Klakson semaunya, lawan arah, terobos trotoar dan meneriaki pejalan kaki, hingga menendang pesepeda di jalur sepeda hingga tersungkur.
Usut punya usut, ada yang menyampaikan kepada saya bahwa para pengemudi transportasi online, terutama yang sepeda motor yang tidak memiliki plat nomor polisi di belakang, itu karena sengaja mereka sembunyikan agar tidak diintai oleh debt collector.
Tidak sedikit juga saya mendengar cerita jika para pengemudi online tersebut mengambil kendaraan dari dealer dan tidak berniat untuk melunasinya. Seorang karyawannya hingga bercerita, gaji dan bonusnya banyak mendapatkan potongan karena para pelanggan tidak membayar cicilan kendaraan mereka bahkan menghilang.
Padahal, karyawan dealer tersebut juga termasuk kategori menengah ke bawah.
Sayangnya, masyarakat banyak yang enggan mengetahui hal ini dan cenderung meromantisasi kemiskinan, menjual bebas rasa kasihan. Saya akui saya dahulu pun seperti itu.
Maka dari itu sungguh wajar saat bermunculan peraturan dari orang-orang kaya yang seolah menyudutkan orang miskin. Padahal sebenarnya ada alasan yang sangat masuk akal mengapa peraturan seperti itu ada.
Misalnya, ada peraturan di daerah elit, sepeda motor dilarang masuk.
Menurut mereka, banyak orang yang memakai sepeda motor yang tidak taat peraturan dan meresahkan. Mereka memahami bahwa tidak semua pengendara sepeda motor seperti itu, tetapi yang seperti itunya sudah sangat banyak. Apalagi banyak dari mereka tidak bisa mendapatkan teguran. Istilahnya, saat ditegur “justru galakan dia.”
Ada cerita lucu. Saya pernah mengunjungi hotel mewah di tengah Jakarta yang ada taman dan wahana air di tengahnya. Saya kagum ternyata Jakarta bisa sehijau dan setenang ini. Para pengunjung hotel antri dan saling menyapa dengan hangat satu sama lain.
Dan taman hotel itu semuanya terlihat bersih tanpa ada sampah yang terlihat padahal tidak saya jumpai petugas kebersihan satu pun.
Lalu ada yang berceletuk, “Itu karena tidak ada orang kumuh terlihat”. Saya hanya menyeringai mendengar itu.
Sekali lagi, benar bahwa kemiskinan struktural itu nyata adanya. Namun jangan kita kesampingkan pula bahwa kemiskinan karena mental pun juga sangat banyak terjadi.
Orang-orang miskin karena mentalnya sudah miskin tersebut hanya ingin bekerja yang mudah-mudah saja dan berharap penghasilan yang berlimpah. Tidak jarang pula pada akhirnya bergabung ke dalam ormas tertentu lalu membuat masyarakat tidak aman, entah menjadi pak ogah, tukang parkir liar, hingga murni preman pemalak.
Sebagiannya lagi bergabung ke dalam ormas-ormas yang kita tidak paham bagaimana regulasinya, atau menjadi pegawai negeri sipil lewat jalur “orang dalam” dan melayani masyarakat setengah hati juga cenderung korupsi. Mereka itulah yang nantinya menjadi salah satu calon wakil rakyat yang akan kita pilih.
Sangat kita sayangkan pula, justru dari masyarakatnya itu sendiri yang enggan melihat hal seperti ini dan baru bergerak saat pemimpin yang mereka pilih itu mengeluarkan kebijakan yang menyulitkan.
Bahkan orang miskin sungguhan pun membenci perilaku orang-orang bermental miskin tersebut. Karena orang bermental miskin itulah, orang-orang yang benar-benar miskin seringkali tidak mendapatkan jatah bantuan mereka kecuali sangat sedikit.
Bantuan orang-orang yang benar-benar miskin dan membutuhkan seringkali sudah direbut oleh orang-orang miskin yang juga bermental miskin.
Tidak heran orang-orang bermental miskin tersebut tetap mengantri subsidi dan bantuan sosial meski mereka terlihat mampu. Itu jelas karena budaya mereka sudah seperti itu sedari mereka miskin.
Para kaum menengah banyak yang tidak menyadari jika uang pajak mereka habis dikorupsi oleh orang-orang di atas mereka, dan habis untuk bantuan sosial untuk orang-orang di bawah mereka. Sedangkan, para kaum menengah hanya mendapatkan sedikit sekali dan terlihat seolah bertahan atau berusaha tegar yang tidak perlu.
Pertanyaannya, bisakah kemiskinan yang terjadi karena mental ini hilang? Apakah kita akan mengandalkan pemerintah yang juga sama-sama berasal dari kalangan-kalangan itu juga?
Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.
– Ir. Soekarno
Oh, saya juga pernah menulis artikel serupa di sini.