Jakarta Itu Keras

“Jakarta itu keras, bos!”

Saya sering mendengar itu dari banyak orang yang menjalani aktivitas keseharian mereka di Jakarta.

Katanya, ibukota itu keras, sadis, dan kejam.

Saya sudah hidup seorang diri bekerja di Jakarta selepas SMA mulai dari usia 17 tahun, yang waktu itu masih selalu menggunakan bus sedang (Kopaja & Metromini) dan bertukar moda di terminal Blok M.

Namun hingga kini, saya sendiri belum bisa mencerna apa maksud sebagian orang yang berkata bahwa Jakarta itu keras.

Ya, saya pernah mengalami pencopetan, berhadapan dengan preman terminal dan juga para pengamen yang meminta-minta dengan meresahkan di bus. Tetapi itu tidak saya jadikan sebab kerasnya Jakarta ini.

Ketika orang-orang berkata bahwa Jakarta itu keras, keras dari apa? Apakah lebih keras daripada kehidupan di daerah terpencil dengan infrastruktur yang minim sehingga wanita yang ingin melahirkan saja harus ditandu warga berkilo-kilo meter?

Saya mengetik artikel ini di sebuah gedung kantor yang nyaman, kursi kerja yang empuk, dan saya putar musik instrumental dengan melodi yang menenangkan.

Barangkali, Jakarta tidak pernah keras, tetapi anggapan itu muncul dari beberapa faktor.


Fast paced living?

Seringkali saya baca utas-utas di sosial media yang menyebutkan bahwa kehidupan di Jakarta semuanya serba cepat (fast paced).

Ada beberapa yang harus bangun pagi jika ingin tiba di kantor tepat waktu. Bahkan kondisi jalanan akan berubah total jika telat meski satu menit saja. Begitu pun dengan pulangnya.

Hanya berbeda satu menit, tiba-tiba bum! Jalanan langsung jadi macet tak terduga, kereta tiba-tiba jadi penuh sesak, tipikal kehidupan perkotaan yang padat penduduk.

Semua harus cepat, kalau perlu harus sikut-sikutan demi menghemat waktu di jalan.

Bagi sebagian orang, kehidupan fast paced ini lumayan membuat stres.

Tetapi apakah kehidupan masyarakat Jakarta benar-benar begitu cepat dan padat?

Masalahnya, meski sama-sama fast paced, tetapi kehidupan serba cepat di Jakarta berbeda dengan kota-kota maju lainnya semisal Tokyo dan Singapura.

Di kota-kota negara maju, kehidupan fast paced di sana sejajar dengan produktivitas warganya. Benar bahwa kehidupan serba cepat dan padat membuat stres, tetapi harmoni dan kedisiplinan warga negara maju masih membuat kota-kota besar mereka layak huni.

Sekarang, apa yang bisa kita dapat dari kehidupan yang cepat dan padat tersebut? Apakah itu membuat Jakarta menjadi kota yang produktif dan banyak menghasilkan? Jika tidak, kemana stres yang terbuang itu?

Stres adalah bibit dari produktivitas. Jangan sampai stres kita tercecer di tempat yang tidak seharusnya.

Stres yang baik adalah stres yang tertuang saat bekerja. Bekerja memerlukan stres atau tekanan agar mendapatkan hasil yang baik. Sayangnya, stres yang seharusnya terlimpah untuk pekerjaan kita justru terbuang sia-sia di jalanan. Sehingga, saat tiba di tempat kerja, bekal stres kita tidak tersisa lagi kecuali sedikit.

Motivasi bekerja sudah hilang karena terlalu lelah di jalan.

Apalagi kebanyakan orang mengartikan kehidupan cepat itu adalah ugal-ugalan di jalanan, klakson-klakson sembarangan yang mengganggu pengguna jalan lain, dan mendidihkan emosi sekitar di sepanjang jalan.

Itu bukanlah kehidupan fast paced, itu adalah perbuatan tercela yang mencari gara-gara.

Tetapi di satu sisi, jangan kita kesampingkan fakta bahwa ada segelintir orang yang memang sengaja mengulur-ulur waktu dan baru bersiap di menit-menit terakhir lalu kemudian terburu-buru.

Juga ada sebagian orang yang menggunakan lajur cepat atau lajur kanan dengan kecepatan yang begitu santai. Mereka benar-benar tidak memiliki pertimbangan dan kepedulian.

Dari sini, kita bisa menakar apakah kehidupan masyarakat Jakarta itu benar-benar fast paced, atau memang hanya sekadar berantakan.


Menelisik penyebab

Saya pernah menumpang seorang mobil teman jauh saya yang mengantar saya pulang.

Di perjalanan, di daerah Pasar Minggu yang sedang macet, kami menyaksikan seorang bapak yang mengendarai sepeda motor menggebrak kap depan mobil teman saya sambil melotot.

Si pengendara yang sedang membonceng istri dan anaknya, merasa teman saya tidak memberikan dia tempat untuk menyelip. Itu bukan salah teman saya karena saya pun tidak melihat pengendara itu pada awalnya.

Sambil memberikan jalan, dengan marah teman saya berteriak, “Jakarta itu keras, bos!”

Apakah ia menyebut Jakarta itu keras karena perilaku orang-orang seperti itu?

Sejujurnya, saya banyak sekali melihat orang-orang yang tinggal di pemukiman kumuh, di bantaran kali, dan kebanyakannya ilegal. Saya pernah berkunjung ke beberapa pemukiman tersebut karena ingin bersilaturahmi ke rumah teman.

Saya tertegun, karena 80% lebih masyarakat di sana cukup menakutkan. Mereka berteriak-teriak dengan kata yang sangat kasar. Bahkan anak-anak di sana sudah mahir berucap dengan bahasa-bahasa dewasa.

Mereka tidak memiliki toilet kecuali hanya satu di tengah pemukiman. Meski siang hari, suasana begitu gelap karena padatnya. Bahkan rumah tetangga depan saja hampir menempel.

Teman saya yang termasuk ‘warga yang baik’ di sana bilang, di daerah seperti inilah banyak kriminal berasal.

Sayangnya, kaum-kaum marjinal ini sedikit sekali yang ingin berbenah. Kebanyakan mereka sudah sangat nyaman dengan kehidupan mereka yang semrawut itu.

Seolah mereka terlihat aktif bergotong-royong, tetapi di baliknya ada tekanan sosial (peer pressure) yang menyebabkan mereka mau melakukan itu. Pernah ada yang bercerita, bahwa ada gadis berusia hampir 30 tahun yang enggan keluar karena pasti akan dicemooh tetangga sebab masih melajang.

Dan pernah juga saya berbincang dengan seorang ibu yang tidak tega melihat salah seorang anak kaum marjinal tersebut. Si ibu memandikannya serta mengantarkannya mengaji di masjid.

Esoknya, si anak mengadu kepada ibu tersebut bahwa kemarin ia dimarahi oleh ayahnya karena tidak mengamen. Juga bukan sekali dua kali, bantuan untuk anak-anak di sana justru dipakai orang tuanya.

Sebagiannya habis untuk uang rokok dan judi online.


Kita yang menyuburkan?

Benar bahwa pemerintah harus tegas dengan keadaan kaum marjinal yang menempati lahan secara ilegal tersebut. Karena bukan hanya menjadi sarang kriminal, pemukiman seperti itu juga rentan terbakar.

Hanya saja, tidak bisa semulus yang kita kira.

Apakah kita mengira, bahwa masyarakat seperti itu akan dengan mudah pindah ke rumah susun yang telah pemerintah bangun dengan damai dan sentosa?

Perlawanan pasti ada, apalagi jika diiringi dengan drama.

Pemerintah hanya wajib menjalankan standar operasional prosedur (SOP) berupa peringatan tiga kali agar mereka yang hidup di pemukiman kumuh bersedia pindah ke rumah susun yang berfasilitas lengkap. Jika SOP telah dijalankan dan mereka tetap bersikeras, maka jalan terakhir yakni penggusuran paksa wajib dilakukan.

Masalahnya, di sinilah kita mengecam perbuatan pemerintah yang melakukan penggusuran dan menganggap orang-orang menengah ke bawah adalah yang tertindas.

Masih banyak dari kita yang memberikan toleransi berlebih kepada orang menengah ke bawah hingga mereka merasa kebal hukum. Anehnya, setelah itu kita menganggap Jakarta itu keras karena perbuatan orang-orang yang kita tolerir tersebut.

Benar, banyak dari masyarakat itu sendiri yang menihilkan masalah sosial ini. Menganggap seseorang bisa bebas berbuat apa pun selama mereka menyandang titel sebagai “rakyat kecil”.

Ingat dahulu sewaktu pak Jonan membereskan KRL, membasmi para atapers (penumpang di atap kereta) dan melarang orang yang berjualan di dalam kereta? Itu pun sempat mendapatkan pertentangan dari beberapa kalangan mahasiswa yang menurut mereka, mereka memikirkan nasib para pedagang kecil tersebut.

Atau ada lagi kasus pengemudi ugal-ugalan yang meresahkan banyak orang. Ketika ingin mendapatkan penertiban, pengemudi ugal-ugalan tersebut melayangkan drama bahwa dirinya adalah rakyat susah yang memiliki keluarga.

Di negara maju, hukuman tetaplah jatuh tidak peduli dari kalangan mana mereka berasal. Seharusnya jika mereka mengaku rakyat kecil, mereka bisa memikirkan bahwa perbuatan mereka bisa berakibat fatal bagi mereka dan keluarganya.

Orang lain yang mereka buat susah pun banyak yang berasal dari kalangan kecil juga. Jadi alasan “orang kecil” seakan merendahkan martabat orang-orang yang menengah ke bawah.

Nyatanya banyak rakyat kecil yang bisa tertib dan mengundang simpati. Apakah menjadi rakyat kecil yang memiliki akhlak itu sulit? Atau orang tua mereka tidak pernah mengajarkan itu kepada mereka?


Konklusi dan solusi

Tokyo pun termasuk kota besar yang memiliki kepadatan penduduk yang luar biasa. Tetapi karena masyarakatnya tertib dan saling memahami satu sama lain, maka kita tidak pernah mendengar Tokyo itu sadis, kejam, dan citra negatif lainnya.

Bahkan Tokyo adalah termasuk kota yang banyak dikunjungi turis. Padahal itu hanya kota dengan penduduk yang sangat padat, para warganya yang pun lelah dengan aktivitas mereka.

Ya, para pekerja sudah lelah dengan perjalanan mereka ke tempat kerja. Namun pengertian dan empati yang sama-sama terulur akan meringankan beratnya aktivitas mereka di hari itu.

Mengenai apa yang terjadi di Jakarta, kita bisa mulai menggerus sifat naif kita dan memahami bahwa kita pun memerlukan kedamaian dan keteraturan, bukan drama dari orang-orang yang tidak bermanfaat.

Apakah kita tidak lelah jika pajak dari potongan penghasilan kita dikorupsi oleh pihak atas dan menjadi bantuan sosial untuk pihak bawah yang tidak ingin berusaha lebih, sedangkan kita tidak mendapatkan bagian dari pajak itu kecuali sedikit?

Kita pastinya ingin menyejahterakan setiap orang. Tetapi sayangnya, tidak setiap orang layak sejahtera, terkhusus mereka yang enggan.

Saya pernah mendengar seorang tukang parkir liar yang menganggap daripada lelah-lelah bekerja formal, menarik uang dari setiap kendaraan parkir lebih menyenangkan. Bagaimana kita bisa menghilangkan mentalitas seperti itu?

Betul kata sebagian orang, bahwa tidak apa seseorang itu miskin selama mental mereka tidak miskin.

Yang menjadi perhatian di sini adalah, orang-orang dengan mentalitas miskin tersebut justru pandai berdrama karena mereka tahu banyak orang yang akan menaruh iba pada mereka. Itulah yang membuat pembinaan menjadi sangat sulit.

Memanusiakan manusia adalah tantangan bukan hanya bagi pemerintah, melainkan masyarakatnya itu sendiri.

Jakarta tidaklah keras selagi masing-masing bisa memanusiakan manusia.

Seperti misalnya macet. Tidak perlu yang program yang muluk-muluk untuk mengentaskan kemacetan, terkadang beberapa orang hanya ingin akses kendaraan umum yang lebih mudah.

Kuala Lumpur, ibukota negara Malaysia, memiliki banyak jaringan kereta yang meski tidak sebagus Singapura, tetapi banyak akses masuk stasiunnya yang langsung menjorok ke pemukiman warga.

Bukankah hal yang membahagiakan jika pintu masuk stasiun MRT/LRT hanya beberapa langkah dari pintu rumah kita? Kuala Lumpur sudah memiliki itu. Jakarta jangan sampai tertinggal hanya karena terlewat hal yang sangat manusiawi seperti ini.

Kemudian terakhir, mulailah agar meminimalisir drama karena ini untuk kita juga. Tidak perlu memberi pengertian berlebih kepada para pelanggar dan pengganggu dengan alasan “orang kecil”. Mereka itulah yang membuat orang lain di sekitarnya menderita.

Mengapa istilah Jakarta itu keras masih terlayangkan di negara yang katanya menjunjung budi pekerti luhur ini?

Suka
Komentar
pos ke FB
pos ke X
🤗 Selesai! 🤗
Punya uneg-uneg atau saran artikel untuk Anandastoon?
Yuk isi formulir berikut. Gak sampe 5 menit kok ~

  • Sebelumnya
    Berbuat Baik Tanpa Menjadi People Pleaser


  • 0 Jejak Manis yang Ditinggalkan

    Minta Komentarnya Dong...

    Silakan tulis komentar kalian di sini, yang ada bintangnya wajib diisi ya...
    Dan jangan khawatir, email kalian tetap dirahasiakan. 😉

    Kembali
    Ke Atas